Dalam buku The Original Debate,
dijelaskan bahwa ada beberapa aliran pemikiran dalam ilmu politik, yaitu :
-
Positivism
Pergerakan dalam investisigasi empiris sudah dilakukan sejak middle
ages yaitu saat kebangkitan renaisans. Pada awalnya konsep ini diambil dari Aristoteles
mengenai metode percobaan induktif yang mengutamakan asas empiris dalam
mengkaji suatu permasalahan. Dalam sejarahnya Aristoteles merupakan pilsuf yang
begitu memperhatikan asas empirik dalam mengambil keputusan, sehingga suatu
objek kajian tidak hanya menggunakan nalar dan rasionalitas manusia sebagai
landasan awalnya, melainkan aspek empiris sangat ia perhatikan dan menjadi
salah satu faktor penentu suatu kebijakan.
Tokoh yang mempelopori pemahaman ilmu
manusia dalam sains adalah Thomas Hobbes. Ia memberikan konsep dasar positifis
bahwa aspek-aspek kajian harus dilakukan generalisasi, sehingga dapat diakui
oleh semua kalangan. Lalu mulai berkembang berkat gagasan Auguste Comte tentang
“filsafat positif”, ia mendeskripsikan evolusi pemikiran manusia terbagi
menjadi tiga tahap, yaitu :
Pertama, theological stage
tahapan pemikiran manusia yang begitu terkonsentrasi pada agama. Sehingga
aspek-aspek ketuhanan begitu melakat dalam kehidupan manusia dan mempengaruhi
kebijakan-kebijakan pemerintah.
Kedua, metaphisycal stage
tahapan pemikiran metafisis yang begitu abstrak sehingga menjadikan manusia
berfikir animistik.
Ketiga, stage of positive knowledge
tahapan pemikiran yang menjadikan ilmu sebagai konsep kebenaran.
Pada poin
ketiga tertulis filsafat positif Comte yang bertujuan mencari fakta atau
sebab-sebab dari gejala sosial, dengan menggunakan perspektif yang lebih umum
serta luas dan menemukan kaidah-kaidah yang universal. Sehingga sesuatu yang
telah digeneralisasi dikatakan sebagai kebenaran, dan pola ini menyampingkan
aspek-aspek kajian yang terkhusus pada prakarsa dan kehendak individu, sehingga
tidak memiliki arti. Oleh sebab itu, dalam perspektif ini ilmu memiliki peran untuk
mencari “kaidah-kaidah yang bersifat universal” yang berfungsi sebagai pengatur
tingkah laku manusia. Metode yang dianggap positif karena terkesan “lebih
ilmiah”, hal ini dapat dibuktikan karena hasil dari metode ini adalah generalisasi
mengenai gejala sosial, melalui metode yang bersifat kuantitatif.
-
The Anti-Positivist Response
Awalanya konsep ini mulai berkembang di German pada tahun 1880 dan
dipelopori oleh beberapa tokoh, yaitu : di Jerman Wilhelm Dilthey, Wilhelm Wundt,
Franz Brentano, Edmund Husserl, Max Weber dan di Amerika : William James. Pada
intinya, mereka memiliki argumentasi yang membela hak individu untuk berfikir,
sehingga pikiran manusia dijadikan seagai indikator utama dalam menciptakan
makna dari realita sosial yang ada.
Pemikiran manusia merupakan
indikator utama dalam pespektif ini, proses-proses yang terjadi secara
perorangan dan subyektif, karena dipengaruhi oleh pengalaman dan persepsi
masing-masing individu menjadikan suatu realita tidak bisa di generalisasi
dengan menggunakan angka. Sehingga persepsi individu sangatlah berpengaruh
dalam menentukan pola pandang terhadap suatu realita sosial. Karena pada
hakikatnya pengetahuan individu mengenai keadaan sekitarnya itu dibentuk oleh
penafsiran atau interpretasi individual. Dikarenakan masyarakat bersifat
dinamis, maka tidk mungkin menemukan kaidah-keidah universal yang dapat
menjelaskan dan meramalkan gejala sosial seperti di dalam ilmu-ilmu alam.
Sehingga dalam perspektif ini ilmu berperan mencari pemahaman melalui
penafsiran atau interpretasi melalui penghayatan dan analisis yang mendalam
terhadap pengalaman dan perilaku individu yang ingin kita fahami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar