Buku ini merupakan pengantar memahami suatu metode
untuk menganalisis wacana khususnya wacana politik. Bagi ilmuan politik, wacana
bukan objek teliti yang sebenarnya, tetapi objek teliti antara untuk
menguraikan dimensi politik dibalik wacana tersebut. Keunikan tersebut, menjadi
penyebab pengkhususan metodologi sebagai instrumen penelitian bagi ilmuan
politik.
Kajian
politik saat ini telah berkembang begitu pesat. Bahkan, setelah teori elit
berkembang, perilaku politik menjadi bagian dari analisa kebijakan publik. Saat
ini, indikator lain yang dijadikan pijakan untuk membaca politik, yakni teks
and talks. Pergumulan kepentingan, bagi ilmu poltik, merupakan objek kajian
yang abadi. Pergumulan tersebut dapat saja terjadi pada level atomis, yakni
keluarga, hingga pada level makro, yakni hubungan internasional. Tujuan
akhirnya akan menjelaskan suatu peradaban manusia menuju kesempurnaan atau
kehancurannya.
Pemikiran
politik tidak lepas dari sejarah dan filsafat politik itu sendiri, seperti
etika, moralitas, dan idealisme. Terdapat dua istilah yang familiar, yakni
political thought dan political theory. Pemikiran politik memiliki ciri khas
dan kedudukan tersendiri dalam ilmu politik. Pemikiran politik adalah suatu
bagian dari ilmu politik di mana norma, nilai, moral dan etika selalu menjadi
pokok pembahasan yang tidak pernah hilang dalam ilmu politik. Kondisi tersebut menyebabkan pemikiran
politik memiliki unsur relevansi yang lestari terhadap kehidupan manusia.
Di
dalam ilmu politik, khususnya pemikiran politik, dikenal spectrum yang
menggambarkan corak dan ideologi pemikiran. Sarjana politik menggunakan peta
spectrum ini untuk membaca karakter pemikiran politik seseorang. Sarjana
politik barat menyusun rentang spectrum dalam dua kutub, yakni kiri dan kanan.
Pada sisi kanan diletakan ideology politik konservatisme, teokrasi, dan
fasisme, sedangkan pada sisi kiri terletak sosialisme dan komunisme. Axis
diametrical tersebut, merujuk pada historistas yang terjadi di masa Revolusi
Perancis. Pengertian lain juga berkaitan dengan perilaku ideologis dari
kelompok ancien Regime, pengertian “kanan” merujuk pada kaum aristokrat dan
bangsawan yang cenderung membela dan mendukung kepentingan penguasa, sedangkan
“kiri” mengacu pada kelompok yang menentang atau beroposisi terhadap regime.
Tipe selanjutnya, model
american federalis journal, menawarkan hubungan kontrol politik, meletakan pada
sisi ekstrem satu, totalitarianisme dan titik yang lain, anarkisme. Basis lain
yang dijadikan dasar menentukan axis diametris, antara lain : pengaruh gereja
memunculkan diametrik klericalisme vs anti klericalisme, urban vs rural,
kebijakan luar negeri yang merujuk pada intervensionisme vs isolasionisme,
kebijakan pasar yang merujuk pada sosialisme vs laissez fair dan ditengahnya
terdapat korporasi, kejahatan politik yang merujuk pada pasifisme vs militansi,
perdagangan luar negeri yang merujuk pada globalisasi vs autarky, pluralisme
yang merujuk pada multikulturalisme vs assimilasi atau nasionalisme,
partisipasi yang merujuk pada kebebasan positif vs oligarky, paradigma
pemikiran yang merujuk pada tradisionalisme vs moderismel postmodemmisme,
fundamentalisme vs liberalisme, atau revivalisme vs transformatif.
Pengkajian terhadap
pemikiran politik yang komprehensif di Indonesia, secara sistematis dilakukan
oleh Herbert Feith dan Lance Castles, Indonesian Political Thinking 1945-1965.
Dalam tulisan tersebutn menghimpun berbagai tulisan dari para tokoh politik
Indonesia antara tahun 1920-1965. Hasilnya merupakan pemetaan pemikiran
politik, dengan demikian mereka mampu menguraikan argumen-argumen, nilai dasar,
dan perjuangan dari para tokoh politik Indonesia pada waktunya.
Untuk melihat peta
pemikiran politik Indonesia era 1930-1960an. Feith menemukan akar ideologi dari
pemikiran politik di Indonesia, antara lain nasionalisme radikal dimotori oleh
intelektualisme Soekarno, dan aktivisme dari PNI, sedangkan Tradisionalisme
Jawa, diwakili oleh para priyai Jawa seperti Supomo, sedangkan Islam diwakili
oleh pemikiran Muhammad Natsir. Sosialisme demokrat diwakili oleh kubu Sutan Sjahir, dan Komunisme diwakili oleh
Aidit. Sarjana Indonesia umumnya berpendapat bahwa ada 3 aliran politik di
Indonesia, yang berkembang selama masa revolusi, yakni Nasionalisme, Islam, dan
Marxisme. Departemen Penerangan periode 1950-1955, membagi aliran pemikiran
politik yang dimiliki oleh partai-partai di Indonesia, yakni kategori kelompok
Agama meliputi partai Islam yang besar, dan partai Protestan, Katolik, yang
kecil tetapi aktif. Partai-partai Marxisme mencakup partai Komunis Indonesia, yang
ortodoks, dan partai sosialis Indonesia yang Sosialisme Demokrasi, serta partai
Murba. Kelompok Nasionalisme diwakili oleh partai Nasionalisme Indonesia,
sebagian aliran Nasionalisme radikal, partai Indonesia Raya, partai
nasionalisme yang lebih bersifat ningrat, dan sederetan partai yang mengacu
pada dua partai tersebeut. Selanjutnya di bawah pemerintahan demokrasi
terpimpin, muncul ideologi baru, yakni NASAKOM, merupakan ideologi hibridasi
dari tiga ideologi model pemerintah, yakni Nasionalisme, Agama dan Komunisme.
Hal ini justru memunculkan ideologi ke empat, yakni kelompok-kelompok yang
bersebrangan dengan ide Soekarno, seperti Masyumi dan partai Sosialis Indonesia.
Feith menempatkan PKI ,
representasi dari komunisme, pada sisi
kiri paling atas. Penempatan ini tampaknya menggunakan axis diametrikal
kiri-kanan, komunisme vs islam. Pemikiran politik yang mendasar PKI dianggap
hampir seluruhnya berasal dari pengaruh barat. Tanpa memiliki akar pada
tradisi. Sedangkan untuk Masyumi dianggap sebagai Islam yang bersentuhan dengan
sosialisme demokrasi, sehingga peta pemikiran dan gerakannya sangat berbeda
dengan kelompok NU. NU justru ditempatkan pada posisi kental dengan tradisi,
dan sedikit pengaruh nasionalisme radikal.
Peta yang ditemukan Feith
dan Castles ini dikemudian hari menjadi cair ketika secara legal PKI dibekukan
oleh Orde Baru. Maka peta pemikiran politik menjadi menciut. Kelompok
nasionalis radikal dibawah PDI, sedangkan kelompok agama, dibawah naungan PPP,
sedangkan kekuatan politik lainnya berhaluan nasionalis moderat, yakni menjadi
kekuatan baru mesin politik Orde Baru, yakni Golkar. Di dalam tubuh Golkar
muncul pemikiran politik militerisme. Hal ini disebabkan kekuatan militer
semakin mantap menjadi leader dalam perpolitikan Indonesia.
Pemikiran politik era
1960-1980an lebih banyak dipengaruhi oleh dinamika politik semasa orde baru dan
akhir dari orde lama. Kebijakan Soekarno untuk memaksakan ideologi NASAKOM yang
revolusioner, menyebabkan terjadinya bentrok politik dengan pemikir-pemikir
yang kritis, termasuk dengan teman-teman seperjuangannya, seperti Hatta,
Natsir, Sjahrir, dan lainnya. Sehingga perang terbuka yang bersifat ideologis
tidak terelakan lagi, khususnya antara kelompok Islam vs nasionalisme radikal.
Kemampuan orde baru untuk
mengintroduksir Pancasila sebagai ideologi tunggal dalam perpolitikan,
menyebabkan pemikiran politik mengalami kondisi surut. Kebijakan pemerintah
Soeharto pada era 1960-1980an, diarahkan kepada developmentalisme, yakni
orientasi pada pembangunan fisik dan mental. Sehingga perhatian terfokus
bagaimana membangun dan memberdayakan segenap potensi yang di miliki Indonesia.
Selain itu, era ini juga merupakan era diterapkannya kebijakan fusi atau
penyederhanaan partai-partai politik melalui UU No.3 Tahun 1975 tentang Partai
Politik dan Golkar.
Peta pemikiran era
1980-2000 sebenarnya merupakan episodik lanjutan dari peta pemikiran di era
sebelumnya. Namun menjelang tahun 1990an, muncul suatu sikap pemberontakan
terhadap regime orge baru, yang telah menunjukan gejala repressif terhadap
kebebasan berfikir. Setelah presiden Soeharto dilengserkan dari kekuasaannya
pada tanggal 21 Mei 1998 jabatan presiden digantikan oleh wakil presiden
Bacharuddin Jususf Habibie. Pada masa ini penyelenggaraan pemilu dipercepat. Setelah
UU tentang Pemilu disahkan, presiden membentuk Komisi Pemilihan Umum yang
anggotanya wakil dari partai politik dan pemerintah. Peserta pemilu pada masa
ini sebanyak 48 partai. Kelahiran berbagai partai politik tersebut mencerminkan
suatu apresiasi politik pada bangsa indonesia semakin meningkat, walaupun
dicurigai bahwa kondisi tersebut sebagai bentuk euphoria politik. Peta partai
politik pada masa itu mengisyaratkan pertarungan antara kelompok sekuler dan
Islam.
Semenjak era reformasi
digulirkan , maraknya aliran ekspresi dari pemikir-pemikir politik Indonesia
mencerminkan bahwa era reformasi telah membuka peluang hidup dan kebebasan
ekspresif dari berbagai corak pemikiran, mulai dari komunisme, sosialisme,
liberalisme, konservatisme, hingga postmodernisme.
Critical Discourse
Analysis
Metode CDA dipengaruhi
oleh metodologi dekonstruksi dari kaum postmodern. Melalui CDA dapat ditemukenali pemikiran
politik, perilaku politik, serta rentang control dalam sistem ketatanegaraan,
baik suatu negara maupun hubungan anternegara. Melalui situs-situs tekstual,
seorang ilmuan politik dapat melakukan eksplanatory, deskripsi, maupun prediksi
terhadap gejala-gejala politik. Metode ini menawarkan pandangan bahwa untuk
memahami politik, pengamat politik tidak harus selalu tergantung gejala politik
langsung, namun juga dapat juga dibidik dari berbagai ekspresi simiotic,
seperti bahasa, seni, gambar, karikatur, musik, dan lain-lain, yang tidak ada
kaitannya secara langsung dengan politik itu sendiri.
Langkah-langkah metodik
dari CDA ini, pada tahap awal menggunakan pendekatan strukturalis, yakni
memberi perhatian penuh terhadap korelasional antara makna dan proses pemaknaan
dari konstruksi dan struktur simbolik nyata. Proses ini dinamakan Dijk, sebagai
makro analisis. Tahap selanjutnya merupakan analisa makro, pemaknaan bukan
hanya berasal dari peneliti, namun juga sinkronisasi atau kontektualisasi
dengan rentang historitas dan sosialitasnya, yang melingkupi simbol-simbol
tersebut. Sejauh ini metode CDA mampu menggugat relasi politik secara
bertanggungjawab dan lugas, karena CDA mampu menembus kebohongan-kebohongan
yang diselubungi oleh perilaku-perilaku nyata. Melalui simbol, yang dianggap
lebih jujur, yakni teks dan talks, CDA berupaya membongkar motif-motif yang
tersembunyi dibalik formalitas sosial.
Penerapan metode ini
dapat digunakan pada berbagai item produk budaya atau peradaban yang
diasumsikan mengandung kepentingan, baik ditujukan kepada negara, kelompok,
atau pun berbagai pihak yang secara eksplisit maupun implisit dikandung oleh
item tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar