Sabtu, 18 Maret 2017

Merunut Akar Pemikiran Politik Kritis di Indonesia dan Penerapan Critical Discourse Analysis sebagai Alternatif Metodologi

Buku ini merupakan pengantar memahami suatu metode untuk menganalisis wacana khususnya wacana politik. Bagi ilmuan politik, wacana bukan objek teliti yang sebenarnya, tetapi objek teliti antara untuk menguraikan dimensi politik dibalik wacana tersebut. Keunikan tersebut, menjadi penyebab pengkhususan metodologi sebagai instrumen penelitian bagi ilmuan politik.
            Kajian politik saat ini telah berkembang begitu pesat. Bahkan, setelah teori elit berkembang, perilaku politik menjadi bagian dari analisa kebijakan publik. Saat ini, indikator lain yang dijadikan pijakan untuk membaca politik, yakni teks and talks. Pergumulan kepentingan, bagi ilmu poltik, merupakan objek kajian yang abadi. Pergumulan tersebut dapat saja terjadi pada level atomis, yakni keluarga, hingga pada level makro, yakni hubungan internasional. Tujuan akhirnya akan menjelaskan suatu peradaban manusia menuju kesempurnaan atau kehancurannya.
            Pemikiran politik tidak lepas dari sejarah dan filsafat politik itu sendiri, seperti etika, moralitas, dan idealisme. Terdapat dua istilah yang familiar, yakni political thought dan political theory. Pemikiran politik memiliki ciri khas dan kedudukan tersendiri dalam ilmu politik. Pemikiran politik adalah suatu bagian dari ilmu politik di mana norma, nilai, moral dan etika selalu menjadi pokok pembahasan yang tidak pernah hilang dalam ilmu politik.  Kondisi tersebut menyebabkan pemikiran politik memiliki unsur relevansi yang lestari terhadap kehidupan manusia.
            Di dalam ilmu politik, khususnya pemikiran politik, dikenal spectrum yang menggambarkan corak dan ideologi pemikiran. Sarjana politik menggunakan peta spectrum ini untuk membaca karakter pemikiran politik seseorang. Sarjana politik barat menyusun rentang spectrum dalam dua kutub, yakni kiri dan kanan. Pada sisi kanan diletakan ideology politik konservatisme, teokrasi, dan fasisme, sedangkan pada sisi kiri terletak sosialisme dan komunisme. Axis diametrical tersebut, merujuk pada historistas yang terjadi di masa Revolusi Perancis. Pengertian lain juga berkaitan dengan perilaku ideologis dari kelompok ancien Regime, pengertian “kanan” merujuk pada kaum aristokrat dan bangsawan yang cenderung membela dan mendukung kepentingan penguasa, sedangkan “kiri” mengacu pada kelompok yang menentang atau beroposisi terhadap regime.
Tipe selanjutnya, model american federalis journal, menawarkan hubungan kontrol politik, meletakan pada sisi ekstrem satu, totalitarianisme dan titik yang lain, anarkisme. Basis lain yang dijadikan dasar menentukan axis diametris, antara lain : pengaruh gereja memunculkan diametrik klericalisme vs anti klericalisme, urban vs rural, kebijakan luar negeri yang merujuk pada intervensionisme vs isolasionisme, kebijakan pasar yang merujuk pada sosialisme vs laissez fair dan ditengahnya terdapat korporasi, kejahatan politik yang merujuk pada pasifisme vs militansi, perdagangan luar negeri yang merujuk pada globalisasi vs autarky, pluralisme yang merujuk pada multikulturalisme vs assimilasi atau nasionalisme, partisipasi yang merujuk pada kebebasan positif vs oligarky, paradigma pemikiran yang merujuk pada tradisionalisme vs moderismel postmodemmisme, fundamentalisme vs liberalisme, atau revivalisme vs transformatif.
Pengkajian terhadap pemikiran politik yang komprehensif di Indonesia, secara sistematis dilakukan oleh Herbert Feith dan Lance Castles, Indonesian Political Thinking 1945-1965. Dalam tulisan tersebutn menghimpun berbagai tulisan dari para tokoh politik Indonesia antara tahun 1920-1965. Hasilnya merupakan pemetaan pemikiran politik, dengan demikian mereka mampu menguraikan argumen-argumen, nilai dasar, dan perjuangan dari para tokoh politik Indonesia pada waktunya.
Untuk melihat peta pemikiran politik Indonesia era 1930-1960an. Feith menemukan akar ideologi dari pemikiran politik di Indonesia, antara lain nasionalisme radikal dimotori oleh intelektualisme Soekarno, dan aktivisme dari PNI, sedangkan Tradisionalisme Jawa, diwakili oleh para priyai Jawa seperti Supomo, sedangkan Islam diwakili oleh pemikiran Muhammad Natsir. Sosialisme demokrat diwakili oleh kubu  Sutan Sjahir, dan Komunisme diwakili oleh Aidit. Sarjana Indonesia umumnya berpendapat bahwa ada 3 aliran politik di Indonesia, yang berkembang selama masa revolusi, yakni Nasionalisme, Islam, dan Marxisme. Departemen Penerangan periode 1950-1955, membagi aliran pemikiran politik yang dimiliki oleh partai-partai di Indonesia, yakni kategori kelompok Agama meliputi partai Islam yang besar, dan partai Protestan, Katolik, yang kecil tetapi aktif. Partai-partai Marxisme mencakup partai Komunis Indonesia, yang ortodoks, dan partai sosialis Indonesia yang Sosialisme Demokrasi, serta partai Murba. Kelompok Nasionalisme diwakili oleh partai Nasionalisme Indonesia, sebagian aliran Nasionalisme radikal, partai Indonesia Raya, partai nasionalisme yang lebih bersifat ningrat, dan sederetan partai yang mengacu pada dua partai tersebeut. Selanjutnya di bawah pemerintahan demokrasi terpimpin, muncul ideologi baru, yakni NASAKOM, merupakan ideologi hibridasi dari tiga ideologi model pemerintah, yakni Nasionalisme, Agama dan Komunisme. Hal ini justru memunculkan ideologi ke empat, yakni kelompok-kelompok yang bersebrangan dengan ide Soekarno, seperti Masyumi dan partai Sosialis Indonesia.
Feith menempatkan PKI , representasi   dari komunisme, pada sisi kiri paling atas. Penempatan ini tampaknya menggunakan axis diametrikal kiri-kanan, komunisme vs islam. Pemikiran politik yang mendasar PKI dianggap hampir seluruhnya berasal dari pengaruh barat. Tanpa memiliki akar pada tradisi. Sedangkan untuk Masyumi dianggap sebagai Islam yang bersentuhan dengan sosialisme demokrasi, sehingga peta pemikiran dan gerakannya sangat berbeda dengan kelompok NU. NU justru ditempatkan pada posisi kental dengan tradisi, dan sedikit pengaruh nasionalisme radikal.
Peta yang ditemukan Feith dan Castles ini dikemudian hari menjadi cair ketika secara legal PKI dibekukan oleh Orde Baru. Maka peta pemikiran politik menjadi menciut. Kelompok nasionalis radikal dibawah PDI, sedangkan kelompok agama, dibawah naungan PPP, sedangkan kekuatan politik lainnya berhaluan nasionalis moderat, yakni menjadi kekuatan baru mesin politik Orde Baru, yakni Golkar. Di dalam tubuh Golkar muncul pemikiran politik militerisme. Hal ini disebabkan kekuatan militer semakin mantap menjadi leader dalam perpolitikan Indonesia. 
Pemikiran politik era 1960-1980an lebih banyak dipengaruhi oleh dinamika politik semasa orde baru dan akhir dari orde lama. Kebijakan Soekarno untuk memaksakan ideologi NASAKOM yang revolusioner, menyebabkan terjadinya bentrok politik dengan pemikir-pemikir yang kritis, termasuk dengan teman-teman seperjuangannya, seperti Hatta, Natsir, Sjahrir, dan lainnya. Sehingga perang terbuka yang bersifat ideologis tidak terelakan lagi, khususnya antara kelompok Islam vs nasionalisme radikal.
Kemampuan orde baru untuk mengintroduksir Pancasila sebagai ideologi tunggal dalam perpolitikan, menyebabkan pemikiran politik mengalami kondisi surut. Kebijakan pemerintah Soeharto pada era 1960-1980an, diarahkan kepada developmentalisme, yakni orientasi pada pembangunan fisik dan mental. Sehingga perhatian terfokus bagaimana membangun dan memberdayakan segenap potensi yang di miliki Indonesia. Selain itu, era ini juga merupakan era diterapkannya kebijakan fusi atau penyederhanaan partai-partai politik melalui UU No.3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar.
Peta pemikiran era 1980-2000 sebenarnya merupakan episodik lanjutan dari peta pemikiran di era sebelumnya. Namun menjelang tahun 1990an, muncul suatu sikap pemberontakan terhadap regime orge baru, yang telah menunjukan gejala repressif terhadap kebebasan berfikir. Setelah presiden Soeharto dilengserkan dari kekuasaannya pada tanggal 21 Mei 1998 jabatan presiden digantikan oleh wakil presiden Bacharuddin Jususf Habibie. Pada masa ini penyelenggaraan pemilu dipercepat. Setelah UU tentang Pemilu disahkan, presiden membentuk Komisi Pemilihan Umum yang anggotanya wakil dari partai politik dan pemerintah. Peserta pemilu pada masa ini sebanyak 48 partai. Kelahiran berbagai partai politik tersebut mencerminkan suatu apresiasi politik pada bangsa indonesia semakin meningkat, walaupun dicurigai bahwa kondisi tersebut sebagai bentuk euphoria politik. Peta partai politik pada masa itu mengisyaratkan pertarungan antara kelompok sekuler dan Islam.
Semenjak era reformasi digulirkan , maraknya aliran ekspresi dari pemikir-pemikir politik Indonesia mencerminkan bahwa era reformasi telah membuka peluang hidup dan kebebasan ekspresif dari berbagai corak pemikiran, mulai dari komunisme, sosialisme, liberalisme, konservatisme, hingga postmodernisme.
Critical Discourse Analysis
Metode CDA dipengaruhi oleh metodologi dekonstruksi dari kaum postmodern.  Melalui CDA dapat ditemukenali pemikiran politik, perilaku politik, serta rentang control dalam sistem ketatanegaraan, baik suatu negara maupun hubungan anternegara. Melalui situs-situs tekstual, seorang ilmuan politik dapat melakukan eksplanatory, deskripsi, maupun prediksi terhadap gejala-gejala politik. Metode ini menawarkan pandangan bahwa untuk memahami politik, pengamat politik tidak harus selalu tergantung gejala politik langsung, namun juga dapat juga dibidik dari berbagai ekspresi simiotic, seperti bahasa, seni, gambar, karikatur, musik, dan lain-lain, yang tidak ada kaitannya secara langsung dengan politik itu sendiri.
Langkah-langkah metodik dari CDA ini, pada tahap awal menggunakan pendekatan strukturalis, yakni memberi perhatian penuh terhadap korelasional antara makna dan proses pemaknaan dari konstruksi dan struktur simbolik nyata. Proses ini dinamakan Dijk, sebagai makro analisis. Tahap selanjutnya merupakan analisa makro, pemaknaan bukan hanya berasal dari peneliti, namun juga sinkronisasi atau kontektualisasi dengan rentang historitas dan sosialitasnya, yang melingkupi simbol-simbol tersebut. Sejauh ini metode CDA mampu menggugat relasi politik secara bertanggungjawab dan lugas, karena CDA mampu menembus kebohongan-kebohongan yang diselubungi oleh perilaku-perilaku nyata. Melalui simbol, yang dianggap lebih jujur, yakni teks dan talks, CDA berupaya membongkar motif-motif yang tersembunyi dibalik formalitas sosial.

Penerapan metode ini dapat digunakan pada berbagai item produk budaya atau peradaban yang diasumsikan mengandung kepentingan, baik ditujukan kepada negara, kelompok, atau pun berbagai pihak yang secara eksplisit maupun implisit dikandung oleh item tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Lowell Barrington, Comparative Politics Structures and Choices (Australia: Wadsworth, 2013), 227-257. & Peter Calvert, Comparative Politics: An Introduction (Harlow: Pearson, 2002), 297-320.

Bagaimanakah menghubungkan elite dan massa dalam proses politik? Literatur kali ini membahas dan mengeksplorasi konsep-konsep mengenai el...