Pendahuluan
Birokrasi sebagai lembaga
pemerintahan dan administrasi tertua dalam sejajarah, memiliki peran penting
dalam pengelolaan pemerintahan disetiap peradaban, baik itu di Cina, Mesir,
maupun Romawi, bahkan hingga kini di era globalisasi. Seiring dengan prosesnya,
birokrasi menjadi rentan akan penyalahgunaan, sehingga timbul banyak patologi
yang membuatnya perlu diperbaharui. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme menjadi
permasalahan klasik dalam birokrasi, selain itu, tidak efektif dan efisiennya
kinerja dari birokrasi menyebabkan berbagai macam permasalahan terkait dengan
aspek pelayanan publik, begitupun dengan pengelolaan anggaran. Dengan demikian,
muncullah konsep baru dalam tata kelola pemerintahan, melalui ‘reformasi birokrasi’
yang bertujuan untuk mewujudkan konsep good
governance.
Firtz Morstein berpendapat bahwa “setengah dari kata
birokrasi berasal dari kata burrus,
dalam bahasa Latin berarti sebuah warna gelap dan sedih. Dengan demikian,
tersirat makna sebaik-baiknya tata kelola birokrasi dalam suatu pemerintahan,
maka akan senantiasa memiliki kekurangan dalam pelaksanaannya. Selain itu, Riggs
berpendapat bahwa birokrasi dapat dilihat dari tiga aspek, salah satunya adalah
birokrasi sebagai sifat atau perilaku pemerintahan
yang buruk (patologis), seperti rigid, mahal, korup,dst.[1]
Begitu pun dengan Indonesia, sebagai
negara yang menggunakan birokrasi dalam proses pemerintahannya, memiliki begitu
banyak kekurangan dalam pengelolaannya. Selain itu, keterikatannya dengan IMF
menjadikannya menerapkan sistem baru dalam teta kelola birokrasi, melalui
reformasi birokrasi yang diharapkan dapat mewujudkan pemerintahan yang baik.
Reformasi birokrasi di Indonesia senantiasa mengandung
unsur kepentingan di dalamnya, namun sejatinya sebagai lembaga pemerintahan
yang rentan akan berbagai macam kepentingan, maka bukan hal aneh bila terjadi
politisasi birokrasi. Oleh karena itu, selayaknya kita mencoba memahami arah
orientasi dari reformasi birokrasi yang telah dicanangkan oleh pemerintah,
bahkan di beberapa negara berkembang. Jika, terdapat indikasi yang kuat akan
keberpihakan pada segilintir golongaan, maka hendaknya Indonesia melakukan
reorientasi dari reformasi birokrasi itu sendiri. Melalui program-program yang
sesuai dengan amanah UUD 1945 untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
Selain itu, pada era globalisasi, birokrasi memiliki
tantangan lain dalam prosesnya, sehingga dituntut untuk lebih baik dari
sebelumnya. Begitu pun dengan birokrasi di Indonesia. Disamping menyelesaikan
permasalahan klasik dalam ruang lingkup birokrasinya, Indonesia dituntut untuk
menyikapi arus globalisasi yang begitu deras, sehingga birokrasi di Indonesia
dapat memainkan peran yang signifikan dalam memajukan negara. Dengan demikian,
selayaknya kita reorientasi kembali reformasi birokrasi di Indonesia, sehingga
dapat menjadi lembaga pemerintahan yang menjalankan peran dan fungsinya dengan
efektif dan efisien.
Tinjauan Pustaka
Memahami permasalahan
reorientasi reformasi birokrasi di Indonesia, maka hendaknya kita pahami konsep
birokrasi terlebih dahulu. Melalui pemaknaan, perbedaan perspektif, serta
konsep birokrasi ideal. Dengan demikian, pembahasan dan analisis akan
berlandaskan pada konsep birokrasi yang jelas.
Memaknai
Birokrasi
Secara etimologis, kata bureaucratie diperoleh melalui kombinasi bureau dan kratein dalam
bahasa Yunani yang berarti tipe atau bentuk peratutan. Kata ini dibuat oleh
Vincentt de Gournay (Menteri Perdagangan Perancis pada abad ke-18) yang
berkeinginan untuk menjadikan kata ini sebagai cara untuk menggambarkan
pemerintahan dengan sistem administrasi di dalamnya.
B. Guy Peters berpendapat bahwa birokrasi merupakan
organisasi dengan struktur kewenangan yang pyramidal, menggunakan penerapan
aturan yang universal dan impersonal untuk memilihara struktur dan menekankan
pada aspek administrasi yang nondiscreationary[2].
Selain itu, Ferrel berpendapat bahwa birokrasi adalah
organisasi-organisasi berskala besar yang umum ditemui pada sektor publik
maupun privat dalam masyarakat modern, dengan demikian birokrasi dapat
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu : Sektor Privat (korporasi, NGO, dll) dan Sektor
Publik (pemerintah pusat, pemerintah daerah, organisasi departemen, dll).[3]
Pandangan
Terhadap Birokrasi
Farazman menjelaskan beragam perspektif birokrasi ke
dalam tiga aspek, yaitu :
Pertama,
memandang birokrasi secara positif sebagai mesin pemerintah : sebuah sistem
yang penting dan esensial untum mengorganisasikan dan mejalankan urusan
pemerintahan, sebagai bentuk terbaik untuk efektivitas, ketertiban dan
stabilitas, serta sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah yang tidak
tergantikan. Imparsialitas birokrasi dalam penerapan hukum, pengambilan
keputusan dan kinerja yang professional, stabilitas dan keberlanjutan melawan
berbagai ketidaktertiban, dan daya tahan keahliannya serta kapasitasnya yang
luas untuk menyelenggarakan tugas berskal besar, yang tentunya tidak dapat
dilakukan oleh organisasi lain.
Kedua,
memandang birokrasi secara negarif : kaku, lambat, patologis, disfungsional,
penghalang, penekan, tidak manusiawi dan membebani kehidupan sosial manusia. Timbul
banyak kritik bahwa birokrasi tidak demokratis dan tidak akuntabel kepada para
pemilih. Sehingga, terdapat opini untuk membubarkan birokrasi dan privatisasi
fungsi-fungsi pemerintahan melalui privatisasi dengan skala besar, marketisasi,
komersialisasi, contracting dan outsurcing.
Ketiga,
memandang birokrasi lebih realias dan seimbang : birokrasi sebagai sebuah
institusi pemerintahan dan administrasi publik, dengan karakteristik positid di
satu sisi dan karakteristik negatif di sisi lainnya. [4]
Birokrasi dipandang baik ketika secara berimbang
melakukan pemberian layanan untuk kepentingan publik yang luas, bebas dari
korupsi, penekanan-penekanan dan kekakuan. Birokrasi dipandang buruk jika hanya melayani kepentingan kelompok
tertentu saja, bertentanfan dengan kepentinfan masyarakat yang lebih luas.
Konsep
Birokrasi Ideal
Konsepsi birokrasi ideal menurut Max Weber :
1. Aparat
secara personal bebas dan hanya diatur berkenaan dengan tugas resminya.
2. Aparat
diorganisasikan dalam sebuah posisi hirarkis yang jelas.
3. Setiap
posisi memiliki kompetensi yang jelas dalam makna hukum peraturan yang jelas.
4. Jabatan
diisi dengan hubungan kontrak yang bebas. Karenanya terdapat ptoses seleksi
yang bebas.
5. Kandidat
diseleksi berdasarkan kualifikasi teknis. Mereka diangkat tidak dipilih.
6. Aparat
dibayar dengan sistem penggajian yang pasti dan hak pensiun. Skala penggajian
didasarkan pada tingkat hirarki, ditambah dengan besaran tanggungjawab dan
permintaan status sosial pemegang jabatan.
7. Karir
dalam birokrasi merupakan karir satu-satunya atau paling tidak merupakan karir
yang paling utama.
8. Karena
merupakan karir, terdapat sistem promosi berdasarkan senioritas atau capaian,
atau keduanya, prestasi. Promosi bergantung pada penilaian atasan.
9. Pekerjaan
resmi terpisah sama sekali dari kepemilikan saran administrasi dan penyalah
gunaan posisinya.
10. Seorang
aparat dikenai aturan disiplin dan pengawasan yang ketat dalam melaksanakan
tugas-tugasnya.
Selain itu, terdapat konsepsi
birokrasi menurut Hegel, yaitu :
1. Memiliki
sebuah pembagian fungsional berdasarkan tugas-tugas berbeda.
2. Cabang-cabang
yang terbagi daiatur dalam prinsip hirarkis.
3. Jabatan
terpisah dari pemegang jabatan : tidak ada ikatan diantara keduanya.
4. Karena
aktifitas birokrasi sudah diformulasi dengan jelas, maka birokrat tidak perlu
jenius. Kriteria rekrutmen berdasarkan kemampuan melalui pengujian, bukan
karena status atau kelahiran.
5. Birokrasi
modern cenderung menghilangkan stratifikasi sosial, karena bakat dan kemampuan
menjadi kriteria utama dalam rekrutmen. Birokrasi ini merupakan organisasi
administrasi yang paling tepat dalam masyarakat egaliter.
6. Birokrat
dibayar melalui sistem pembayaran yang pasti dalam rangka menjaga independensi
dai pengaruh luar.
7. Keuntungan
utama dari sebuah birokrasi yang tersentralisasi adalah kesederhanaan,
kecepatan, dan efisiensi dalam menangani berbagai urusan pemerintahan.[5]
Pembahasan
Reorientasi
birokrasi pada era globalisasi
Terjadinya pergeseran yang fundamental terhadap
prinsip dan orientasi ekonomi yang bertumpu pada Keynesian Economic Theory[6]. John
Maynard Keynes mengajarkan akan dorongan pertumbuhan ekonomi harus diciptakan
melalui permintaan yang efektif, karena akan mendorong terbentuknya penawaran,
dan pada akhirnya menciptakan peluang kerja, hal tersebut yang berfungsi dengan
baik dalam kerangka ekonomi tertutup. Selanjutnya, mitos ekonomi tertutup telah
mengalami erosi dan tergantikan dengan wawasan ekonomi terbuka. Melalui pembangunan
satu dunia, dan pemanfaatan sumber-sumber global makin mendominasi pemikiran
para cendikiawan. Maka dengan demikian tebentuk lah beberapa organisasi
internasional, seperti halnya World Trade Organization (WTO) serte muncul
kesepakatan-kesepakatan regional, seperti halnya Asia Pacific Economic
Cooperation (APEC) bertumpu pada konsep ekonomi terbuka yang diwujudkan melalui
liberalisasi ekonomi.
Secara
umum, terdapat empat prinsip mengenai hal yang disepakati dalam asosiasi
tersebut, yaitu sebagai berikut :
1. Prinsip
cross-border supply. Prinsip ini
mengandung arti pemasok jasa asing bebas untuk menjual jasanya di negara tuan
rumah.
2. Prinsip
consumtion abroad. Dalam hal ini
pemakai jasa di negara tuan rumah bebas membeli jasa dari pemasok asing.
3. Prinsip
commercial presence. Berdasar pada
prinsip ini, pemodal asing boleh memiliki saham sampai 100 persen.
4. Prinsip
presence of natural person. Artinya
pemasok jasa asing bebas untuk mengirimkan tenaga kerjanya untuk bekerja di
negara tuan rumah.[7]
Pola-pola tersebut menggambarkan
persaingan ekonomi yang lebih kompleks dalam konteks global. Konsekuensi
mendasar dari perjanjian internasional tersebut, tiada lain akan berdampak
horinzontal maupun vertikal. Arus globalisasi akan semakin intens, khususnya
dalam sektor ekonomi. Sehingga birokrasi harus mengantisipasi tantangan ini,
sehingga diperlukan reformasi yang diperlukan, agara dapat tetap fungsional
ditengah persaingan ekonomi yang semakin ketat.
State
of The Art Birokrasi Indonesia
Pada masa pemerintahan orde baru telah mencanangkan
sistem ekonomi terbuka menggantikan sistem ekonomi terpimpin yang menjadi ciri
utama orde lama. Namun dalam prosesnya, upaya sistem ekonomi terbuka mengalami
involusi ang disebabkan oleh soso bureaucratic polity yang amat dominan.
Prinsip market driven yang seharusnya mewarnai sistem ekonomi terbuka,
terbayangi oleh rule driven. Birokrasi dan dinamika perkembangan ekonomi
terbelenggu oleh rule of thumb. Distorsi mekanisme pasar terjadi melalui proteksi,
lisensi, Fasilitasi, dan sebagainya. Kreativitas dan daya inovasi birokrasi
terbelenggu oleh petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis serta sentralisme
hubungan pusat dan daerah. Sehingga dengan demikian memberikan kesempatan
terjadinya kolusi dan korupsi, sehingga menjadikan birokrasi di Indonesia
menjadi birokrasi yang tidak efisien dan memiliki anggaran biaya yang tinggi.
Dengan demikian, secara normatif hendaknya birokrasi dirancang untuk menyikapi
era globalisasi dan regionalisasi yang kini semakin intens.[8]
Sosok Birokrasi dalam Era
Globalisasi
Agar dapat melakukan kombinasi dari berbagai fungsi
yang tekanannya bervariasi antara negara satu dan lainnya, secara umum terdapat
beberapa fungsi birokrasi, yaitu :
1. Fungsi
instrumental, yaitu menjabarkan perundang-undangan dan kebijakan publik ke
dalam kegiatan-kegiatan rutin untuk memproduksi jasa, pelayanan, komoditas,
atau mewujudkan situasi tertentu.
2. Fungsi
politik, yaitu memberi input berupa saran, informasi, visi dan profesionalisme
untuk mempengaruhi sosok penentu kebijakan.
3. Fungsi
katalis public interest, yaitu mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan
publik serta mengintegrasikan atau mencukupkannya dalam kebijakan dan keputusan
pemerintah.
4. Fungsi
enterpreneurial, yaitu memberi inspirasi bagi kegiatan-kegiatan inovatif dan
non-rutin, mengaktifkan sumber-sumber potensial yang idle, dan menciptakan
resource mix yang optimal untuk mencapai tujuan.
Pada umumnya, fungsi instrumental
lebih mewarnai pelaksanaan birokrasi di Indonesia. Rambu-rambu petunjuk
pelaksanaan dan petunjuk tknis seringkali diinterpretasikan secara sempit dan
tegar sehingga margin of manuverinf untuk menyesuaikan dengan variasi
kontenstual serta kekhususan lokal menjadi terbatas. Kecenderungan ini
diperparah dengan sikap mendulukan keselamatan jabatan atau safety-first
philosophy sehingga menimbulkan birokrasi dalam arti patologis sebagaimana
digambarkan oleh Harold J. Laski bahwa birokrat hanya mau bertindak dengan
berpegang pada perintah atasan atau peraturan untuk mempertahankan keselamatan
jabatan. Mereka menjadi tidak tanggap dan tidak peka terhadap perubahan yang
terjadi.
Dalam menghadapai tantangan
globalisasi dan regionalisasi yang mensyaratkan liberalisasi ekonomi, penekanan
pada fungsi instrumental menjadi tidak cukup. Fungsi enterpreneurial haruslah
lebih dijiwai dalam pelaksanaan fungsi birokrasi. Para ahli menggambarkan
karakteristik dari etos enterpreneurial sebagai berikut :
1. Kejelian
untuk melihat peluang dalam mendapatkan keuntungan.[9]
2. Selalu
mencari perubahan, merespon pada perubahan dan mengeksploitasinya sebagai
peluang.[10]
3.
Kemampuan untuk mengalihkan sumber dari
kegiatan berproduktivitas rendah ke kegiatan yang produktivitas tinggi.[11]
Dengan demikian wujud birokrasi yang
diperlukan dalam era globalisasi adalah enterpreneurial bureaucracy. Hal ini dikarenakan
beberapa faktor, yaitu sebagai berikut :
1. Sensitif
dan responsif terhadap peluang-peluang dan tantangan baru yang timbul sebagai
akibat dari liberalisasi perdagangan,
2. Tidak
terpaku pada kegiatan-kegiatan yang terkait dengan fungsi instrumental, tetapi
mampu melakukan terobosan melalui pemikiran yang kreatif dan inovatif,
3. Mempunyai
wawasan yang futuristik dan sistemik,
4. Mampu
memperhitungkan resiko dan meminimumkannya,
5. Jeli
akan sumber-sumber baru yang potensial,
6. Mampu
mengkombinasikan sumber menjadi resource mix yang mempunyai produktivitas
tinggi,
7.
Mampu mengoptimalkan sumber yang tersedia
dengan menggeser sumber dari kegiatan yang berproduktivitas rendah menuju
kegiatan yang berproduktivitas tinggi.[12]
Kesimpulan
birokrasi adalah organisasi-organisasi berskala besar
yang umum ditemui pada sektor publik maupun privat dalam masyarakat modern.
Farazman menjelaskan beragam perspektif birokrasi ke
dalam tiga aspek, yaitu : Pertama,
memandang birokrasi secara positif sebagai mesin pemerintah. Kedua, memandang birokrasi secara
negarif. Ketiga, memandang birokrasi
lebih realias dan seimbang
Secara umum, terdapat empat prinsip mengenai hal yang
disepakati dalam asosiasi tersebut, yaitu sebagai berikut: Prinsip cross-border supply, Prinsip
consumtion abroad, Prinsip
commercial presence, Prinsip
presence of natural person.
Agar dapat melakukan kombinasi dari berbagai fungsi
yang tekanannya bervariasi antara negara satu dan lainnya, secara umum terdapat
beberapa fungsi birokrasi, yaitu : Fungsi instrumental,
Fungsi
politik, Fungsi katalis public interest, Fungsi
enterpreneurial
Para ahli menggambarkan karakteristik dari etos
enterpreneurial sebagai berikut : Kejelian untuk melihat peluang dalam
mendapatkan keuntungan. Selalu mencari perubahan, merespon pada perubahan dan
mengeksploitasinya sebagai peluang. Kemampuan untuk mengalihkan sumber dari
kegiatan berproduktivitas rendah ke kegiatan yang produktivitas tinggi.
Daftar Pustaka
Prokopenko, Joseph dan
Igor Pavin (Eds).1991. Enterpreneurship Development
In Public Enterprise. Geneve: International Labour Office
Kirzner, I.M. 1973. Competition and Enterpreneurship. Chicago: University of Chicago.
Drucker, Peter F. 1985. Innovation and Enterpreneurship: Practices and Principles. London:
Heinemann.
Ndraha (mengutip Riggs 1971; Gibson, Ivancevisch dan Donnelly 1974;
Kramer 1977) mengemukakan tiga makna
birokrasi. Ndraha, Taliziduhu. 2003, Kybernology (Ilmu
Pemerintahan Baru), Rineka Cipta, Jakarta
Shaw, Carl K. Y. 1992, Hegel's Theory of Modern Bureaucracy,
in The American Political Science
Review, Vol. 86, No. 2 (Jun., 1992), pp. 381-389
Farazmand, Ali, 2009. ‘Bureaucracy,
Administration, and Politics: An Introduction’, in Bureaucracy and Administration, edn A. Farazmand, CRC Press, Taylor & Francis
Group, Boca Raton.
Heady, Ferrel.
1992, ‘Bureaucracies’, Encyclopedia of Government and Politics, eds M.
Hawkesworth & M. Kogan, Routledge, London & New York, pp. 304-315.
Miftah Toha, Agus D. 1999. Menyoal Birokrasi Publik. Jakarta: Balai Pustaka
[1] Ndraha (mengutip Riggs 1971; Gibson, Ivancevisch dan
Donnelly 1974; Kramer 1977) mengemukakan
tiga makna birokrasi. Ndraha,
Taliziduhu. 2003, Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru), Rineka Cipta,
Jakarta
[2] nondiscreationary:
aparat hanya melaksanakan aturan yang sudah ditetapkan tanpa adanya kesempatan
untuk melakukan improvisasi atas peraturan tersebut
[3] Heady, Ferrel. 1992, ‘Bureaucracies’, Encyclopedia of
Government and Politics, eds M. Hawkesworth & M. Kogan, Routledge, London
& New York, pp. 304-315.
[4] Farazmand, Ali, 2009. ‘Bureaucracy, Administration, and Politics: An Introduction’, in Bureaucracy and Administration,
edn A. Farazmand, CRC Press, Taylor
& Francis Group, Boca Raton.
[5] Shaw, Carl K.
Y. 1992, Hegel's Theory of Modern
Bureaucracy, in The American Political
Science Review, Vol. 86, No. 2 (Jun., 1992), pp. 381-389
[6] Mengajarkan model ekonomi tertutup
dan kedaulatan negara secara absolut terdesak oleh wawasan ekonomi baru yang
menggariskan sistem ekonomi terbuka.
[7] Miftah Toha, Agus D. 1999. Menyoal Birokrasi Publik. Jakarta: Balai
Pustaka
[8]
Ibid
[9] Kirzner, I.M. 1973. Competition and Enterpreneurship.
Chicago: University of Chicago.
[10] Drucker, Peter F. 1985. Innovation and Enterpreneurship: Practices
and Principles. London: Heinemann.
[12] Prokopenko, Joseph dan Igor Pavin
(Eds).1991. Enterpreneurship Development
In Public Enterprise. Geneve: International Labour Office
Tidak ada komentar:
Posting Komentar