Minggu, 19 Maret 2017

Reorientasi Reformasi Birokrasi Indonesia di Era Globalisasi

Pendahuluan
Birokrasi sebagai lembaga pemerintahan dan administrasi tertua dalam sejajarah, memiliki peran penting dalam pengelolaan pemerintahan disetiap peradaban, baik itu di Cina, Mesir, maupun Romawi, bahkan hingga kini di era globalisasi. Seiring dengan prosesnya, birokrasi menjadi rentan akan penyalahgunaan, sehingga timbul banyak patologi yang membuatnya perlu diperbaharui. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme menjadi permasalahan klasik dalam birokrasi, selain itu, tidak efektif dan efisiennya kinerja dari birokrasi menyebabkan berbagai macam permasalahan terkait dengan aspek pelayanan publik, begitupun dengan pengelolaan anggaran. Dengan demikian, muncullah konsep baru dalam tata kelola pemerintahan, melalui ‘reformasi birokrasi’ yang bertujuan untuk mewujudkan konsep good governance.
            Firtz Morstein berpendapat bahwa “setengah dari kata birokrasi berasal dari kata burrus, dalam bahasa Latin berarti sebuah warna gelap dan sedih. Dengan demikian, tersirat makna sebaik-baiknya tata kelola birokrasi dalam suatu pemerintahan, maka akan senantiasa memiliki kekurangan dalam pelaksanaannya. Selain itu, Riggs berpendapat bahwa birokrasi dapat dilihat dari tiga aspek, salah satunya adalah birokrasi sebagai sifat atau perilaku pemerintahan yang buruk (patologis), seperti rigid, mahal, korup,dst.[1] Begitu pun dengan Indonesia, sebagai negara yang menggunakan birokrasi dalam proses pemerintahannya, memiliki begitu banyak kekurangan dalam pengelolaannya. Selain itu, keterikatannya dengan IMF menjadikannya menerapkan sistem baru dalam teta kelola birokrasi, melalui reformasi birokrasi yang diharapkan dapat mewujudkan pemerintahan yang baik.
            Reformasi birokrasi di Indonesia senantiasa mengandung unsur kepentingan di dalamnya, namun sejatinya sebagai lembaga pemerintahan yang rentan akan berbagai macam kepentingan, maka bukan hal aneh bila terjadi politisasi birokrasi. Oleh karena itu, selayaknya kita mencoba memahami arah orientasi dari reformasi birokrasi yang telah dicanangkan oleh pemerintah, bahkan di beberapa negara berkembang. Jika, terdapat indikasi yang kuat akan keberpihakan pada segilintir golongaan, maka hendaknya Indonesia melakukan reorientasi dari reformasi birokrasi itu sendiri. Melalui program-program yang sesuai dengan amanah UUD 1945 untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
            Selain itu, pada era globalisasi, birokrasi memiliki tantangan lain dalam prosesnya, sehingga dituntut untuk lebih baik dari sebelumnya. Begitu pun dengan birokrasi di Indonesia. Disamping menyelesaikan permasalahan klasik dalam ruang lingkup birokrasinya, Indonesia dituntut untuk menyikapi arus globalisasi yang begitu deras, sehingga birokrasi di Indonesia dapat memainkan peran yang signifikan dalam memajukan negara. Dengan demikian, selayaknya kita reorientasi kembali reformasi birokrasi di Indonesia, sehingga dapat menjadi lembaga pemerintahan yang menjalankan peran dan fungsinya dengan efektif dan efisien.
Tinjauan Pustaka
Memahami permasalahan reorientasi reformasi birokrasi di Indonesia, maka hendaknya kita pahami konsep birokrasi terlebih dahulu. Melalui pemaknaan, perbedaan perspektif, serta konsep birokrasi ideal. Dengan demikian, pembahasan dan analisis akan berlandaskan pada konsep birokrasi yang jelas.
Memaknai Birokrasi
Secara etimologis, kata bureaucratie diperoleh melalui kombinasi bureau dan kratein dalam bahasa Yunani yang berarti tipe atau bentuk peratutan. Kata ini dibuat oleh Vincentt de Gournay (Menteri Perdagangan Perancis pada abad ke-18) yang berkeinginan untuk menjadikan kata ini sebagai cara untuk menggambarkan pemerintahan dengan sistem administrasi di dalamnya.
B. Guy Peters berpendapat bahwa birokrasi merupakan organisasi dengan struktur kewenangan yang pyramidal, menggunakan penerapan aturan yang universal dan impersonal untuk memilihara struktur dan menekankan pada aspek administrasi yang nondiscreationary[2].
Selain itu, Ferrel berpendapat bahwa birokrasi adalah organisasi-organisasi berskala besar yang umum ditemui pada sektor publik maupun privat dalam masyarakat modern, dengan demikian birokrasi dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu : Sektor Privat (korporasi, NGO, dll) dan Sektor Publik (pemerintah pusat, pemerintah daerah, organisasi departemen, dll).[3]
Pandangan Terhadap Birokrasi
Farazman menjelaskan beragam perspektif birokrasi ke dalam tiga aspek, yaitu :
Pertama, memandang birokrasi secara positif sebagai mesin pemerintah : sebuah sistem yang penting dan esensial untum mengorganisasikan dan mejalankan urusan pemerintahan, sebagai bentuk terbaik untuk efektivitas, ketertiban dan stabilitas, serta sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah yang tidak tergantikan. Imparsialitas birokrasi dalam penerapan hukum, pengambilan keputusan dan kinerja yang professional, stabilitas dan keberlanjutan melawan berbagai ketidaktertiban, dan daya tahan keahliannya serta kapasitasnya yang luas untuk menyelenggarakan tugas berskal besar, yang tentunya tidak dapat dilakukan oleh organisasi lain.
Kedua, memandang birokrasi secara negarif : kaku, lambat, patologis, disfungsional, penghalang, penekan, tidak manusiawi dan membebani kehidupan sosial manusia.  Timbul banyak kritik bahwa birokrasi tidak demokratis dan tidak akuntabel kepada para pemilih. Sehingga, terdapat opini untuk membubarkan birokrasi dan privatisasi fungsi-fungsi pemerintahan melalui privatisasi dengan skala besar, marketisasi, komersialisasi, contracting dan outsurcing.
Ketiga, memandang birokrasi lebih realias dan seimbang : birokrasi sebagai sebuah institusi pemerintahan dan administrasi publik, dengan karakteristik positid di satu sisi dan karakteristik negatif di sisi lainnya. [4]
Birokrasi dipandang baik ketika secara berimbang melakukan pemberian layanan untuk kepentingan publik yang luas, bebas dari korupsi, penekanan-penekanan dan kekakuan. Birokrasi dipandang buruk  jika hanya melayani kepentingan kelompok tertentu saja, bertentanfan dengan kepentinfan masyarakat yang lebih luas.
Konsep Birokrasi Ideal
Konsepsi birokrasi ideal menurut Max Weber :
1.      Aparat secara personal bebas dan hanya diatur berkenaan dengan tugas resminya.
2.      Aparat diorganisasikan dalam sebuah posisi hirarkis yang jelas.
3.      Setiap posisi memiliki kompetensi yang jelas dalam makna hukum peraturan yang jelas.
4.      Jabatan diisi dengan hubungan kontrak yang bebas. Karenanya terdapat ptoses seleksi yang bebas.
5.      Kandidat diseleksi berdasarkan kualifikasi teknis. Mereka diangkat tidak dipilih.
6.      Aparat dibayar dengan sistem penggajian yang pasti dan hak pensiun. Skala penggajian didasarkan pada tingkat hirarki, ditambah dengan besaran tanggungjawab dan permintaan status sosial pemegang jabatan.
7.      Karir dalam birokrasi merupakan karir satu-satunya atau paling tidak merupakan karir yang paling utama.
8.      Karena merupakan karir, terdapat sistem promosi berdasarkan senioritas atau capaian, atau keduanya, prestasi. Promosi bergantung pada penilaian atasan.
9.      Pekerjaan resmi terpisah sama sekali dari kepemilikan saran administrasi dan penyalah gunaan posisinya.
10.  Seorang aparat dikenai aturan disiplin dan pengawasan yang ketat dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
Selain itu, terdapat konsepsi birokrasi menurut Hegel, yaitu :
1.      Memiliki sebuah pembagian fungsional berdasarkan tugas-tugas berbeda.
2.      Cabang-cabang yang terbagi daiatur dalam prinsip hirarkis.
3.      Jabatan terpisah dari pemegang jabatan : tidak ada ikatan diantara keduanya.
4.      Karena aktifitas birokrasi sudah diformulasi dengan jelas, maka birokrat tidak perlu jenius. Kriteria rekrutmen berdasarkan kemampuan melalui pengujian, bukan karena status atau kelahiran.
5.      Birokrasi modern cenderung menghilangkan stratifikasi sosial, karena bakat dan kemampuan menjadi kriteria utama dalam rekrutmen. Birokrasi ini merupakan organisasi administrasi yang paling tepat dalam masyarakat egaliter.
6.      Birokrat dibayar melalui sistem pembayaran yang pasti dalam rangka menjaga independensi dai pengaruh luar.
7.      Keuntungan utama dari sebuah birokrasi yang tersentralisasi adalah kesederhanaan, kecepatan, dan efisiensi dalam menangani berbagai urusan pemerintahan.[5]
Pembahasan
Reorientasi birokrasi pada era globalisasi
Terjadinya pergeseran yang fundamental terhadap prinsip dan orientasi ekonomi yang bertumpu pada Keynesian Economic Theory[6]. John Maynard Keynes mengajarkan akan dorongan pertumbuhan ekonomi harus diciptakan melalui permintaan yang efektif, karena akan mendorong terbentuknya penawaran, dan pada akhirnya menciptakan peluang kerja, hal tersebut yang berfungsi dengan baik dalam kerangka ekonomi tertutup. Selanjutnya, mitos ekonomi tertutup telah mengalami erosi dan tergantikan dengan wawasan ekonomi terbuka. Melalui pembangunan satu dunia, dan pemanfaatan sumber-sumber global makin mendominasi pemikiran para cendikiawan. Maka dengan demikian tebentuk lah beberapa organisasi internasional, seperti halnya World Trade Organization (WTO) serte muncul kesepakatan-kesepakatan regional, seperti halnya Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) bertumpu pada konsep ekonomi terbuka yang diwujudkan melalui liberalisasi ekonomi.
            Secara umum, terdapat empat prinsip mengenai hal yang disepakati dalam asosiasi tersebut, yaitu sebagai berikut :
1.      Prinsip cross-border supply. Prinsip ini mengandung arti pemasok jasa asing bebas untuk menjual jasanya di negara tuan rumah.
2.      Prinsip consumtion abroad. Dalam hal ini pemakai jasa di negara tuan rumah bebas membeli jasa dari pemasok asing.
3.      Prinsip commercial presence. Berdasar pada prinsip ini, pemodal asing boleh memiliki saham sampai 100 persen.
4.      Prinsip presence of natural person. Artinya pemasok jasa asing bebas untuk mengirimkan tenaga kerjanya untuk bekerja di negara tuan rumah.[7]
Pola-pola tersebut menggambarkan persaingan ekonomi yang lebih kompleks dalam konteks global. Konsekuensi mendasar dari perjanjian internasional tersebut, tiada lain akan berdampak horinzontal maupun vertikal. Arus globalisasi akan semakin intens, khususnya dalam sektor ekonomi. Sehingga birokrasi harus mengantisipasi tantangan ini, sehingga diperlukan reformasi yang diperlukan, agara dapat tetap fungsional ditengah persaingan ekonomi yang semakin ketat.
State of The Art Birokrasi Indonesia
Pada masa pemerintahan orde baru telah mencanangkan sistem ekonomi terbuka menggantikan sistem ekonomi terpimpin yang menjadi ciri utama orde lama. Namun dalam prosesnya, upaya sistem ekonomi terbuka mengalami involusi ang disebabkan oleh soso bureaucratic polity yang amat dominan. Prinsip market driven yang seharusnya mewarnai sistem ekonomi terbuka, terbayangi oleh rule driven. Birokrasi dan dinamika perkembangan ekonomi terbelenggu oleh rule of thumb. Distorsi mekanisme pasar terjadi melalui proteksi, lisensi, Fasilitasi, dan sebagainya. Kreativitas dan daya inovasi birokrasi terbelenggu oleh petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis serta sentralisme hubungan pusat dan daerah. Sehingga dengan demikian memberikan kesempatan terjadinya kolusi dan korupsi, sehingga menjadikan birokrasi di Indonesia menjadi birokrasi yang tidak efisien dan memiliki anggaran biaya yang tinggi. Dengan demikian, secara normatif hendaknya birokrasi dirancang untuk menyikapi era globalisasi dan regionalisasi yang kini semakin intens.[8]
Sosok Birokrasi dalam Era Globalisasi
Agar dapat melakukan kombinasi dari berbagai fungsi yang tekanannya bervariasi antara negara satu dan lainnya, secara umum terdapat beberapa fungsi birokrasi, yaitu :
1.      Fungsi instrumental, yaitu menjabarkan perundang-undangan dan kebijakan publik ke dalam kegiatan-kegiatan rutin untuk memproduksi jasa, pelayanan, komoditas, atau mewujudkan situasi tertentu.
2.      Fungsi politik, yaitu memberi input berupa saran, informasi, visi dan profesionalisme untuk mempengaruhi sosok penentu kebijakan.
3.      Fungsi katalis public interest, yaitu mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan publik serta mengintegrasikan atau mencukupkannya dalam kebijakan dan keputusan pemerintah.
4.      Fungsi enterpreneurial, yaitu memberi inspirasi bagi kegiatan-kegiatan inovatif dan non-rutin, mengaktifkan sumber-sumber potensial yang idle, dan menciptakan resource mix yang optimal untuk mencapai tujuan.
Pada umumnya, fungsi instrumental lebih mewarnai pelaksanaan birokrasi di Indonesia. Rambu-rambu petunjuk pelaksanaan dan petunjuk tknis seringkali diinterpretasikan secara sempit dan tegar sehingga margin of manuverinf untuk menyesuaikan dengan variasi kontenstual serta kekhususan lokal menjadi terbatas. Kecenderungan ini diperparah dengan sikap mendulukan keselamatan jabatan atau safety-first philosophy sehingga menimbulkan birokrasi dalam arti patologis sebagaimana digambarkan oleh Harold J. Laski bahwa birokrat hanya mau bertindak dengan berpegang pada perintah atasan atau peraturan untuk mempertahankan keselamatan jabatan. Mereka menjadi tidak tanggap dan tidak peka terhadap perubahan yang terjadi.
Dalam menghadapai tantangan globalisasi dan regionalisasi yang mensyaratkan liberalisasi ekonomi, penekanan pada fungsi instrumental menjadi tidak cukup. Fungsi enterpreneurial haruslah lebih dijiwai dalam pelaksanaan fungsi birokrasi. Para ahli menggambarkan karakteristik dari etos enterpreneurial sebagai berikut :
1.      Kejelian untuk melihat peluang dalam mendapatkan keuntungan.[9]
2.  Selalu mencari perubahan, merespon pada perubahan dan mengeksploitasinya sebagai peluang.[10]
3.      Kemampuan untuk mengalihkan sumber dari kegiatan berproduktivitas rendah ke kegiatan yang produktivitas tinggi.[11]
Dengan demikian wujud birokrasi yang diperlukan dalam era globalisasi adalah enterpreneurial bureaucracy. Hal ini dikarenakan beberapa faktor, yaitu sebagai berikut :
1.      Sensitif dan responsif terhadap peluang-peluang dan tantangan baru yang timbul sebagai akibat dari liberalisasi perdagangan,
2.  Tidak terpaku pada kegiatan-kegiatan yang terkait dengan fungsi instrumental, tetapi mampu melakukan terobosan melalui pemikiran yang kreatif dan inovatif,
3.      Mempunyai wawasan yang futuristik dan sistemik,
4.      Mampu memperhitungkan resiko dan meminimumkannya,
5.      Jeli akan sumber-sumber baru yang potensial,
6.      Mampu mengkombinasikan sumber menjadi resource mix yang mempunyai produktivitas tinggi,
7.      Mampu mengoptimalkan sumber yang tersedia dengan menggeser sumber dari kegiatan yang berproduktivitas rendah menuju kegiatan yang berproduktivitas tinggi.[12]
Kesimpulan
birokrasi adalah organisasi-organisasi berskala besar yang umum ditemui pada sektor publik maupun privat dalam masyarakat modern.
Farazman menjelaskan beragam perspektif birokrasi ke dalam tiga aspek, yaitu : Pertama, memandang birokrasi secara positif sebagai mesin pemerintah. Kedua, memandang birokrasi secara negarif. Ketiga, memandang birokrasi lebih realias dan seimbang
Secara umum, terdapat empat prinsip mengenai hal yang disepakati dalam asosiasi tersebut, yaitu sebagai berikut: Prinsip cross-border supply, Prinsip consumtion abroad, Prinsip commercial presence, Prinsip presence of natural person.
Agar dapat melakukan kombinasi dari berbagai fungsi yang tekanannya bervariasi antara negara satu dan lainnya, secara umum terdapat beberapa fungsi birokrasi, yaitu : Fungsi instrumental, Fungsi politik, Fungsi katalis public interest, Fungsi enterpreneurial
Para ahli menggambarkan karakteristik dari etos enterpreneurial sebagai berikut : Kejelian untuk melihat peluang dalam mendapatkan keuntungan. Selalu mencari perubahan, merespon pada perubahan dan mengeksploitasinya sebagai peluang. Kemampuan untuk mengalihkan sumber dari kegiatan berproduktivitas rendah ke kegiatan yang produktivitas tinggi.

Daftar Pustaka
Prokopenko, Joseph dan Igor Pavin (Eds).1991. Enterpreneurship Development In Public Enterprise. Geneve: International Labour Office
Kirzner, I.M. 1973. Competition and Enterpreneurship. Chicago: University of Chicago.
Drucker, Peter F. 1985. Innovation and Enterpreneurship: Practices and Principles. London: Heinemann.
Ndraha (mengutip Riggs 1971; Gibson, Ivancevisch dan Donnelly 1974; Kramer 1977)  mengemukakan tiga makna birokrasi.  Ndraha, Taliziduhu. 2003, Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru), Rineka Cipta, Jakarta
Shaw,  Carl K. Y.  1992, Hegel's Theory of Modern Bureaucracy, in  The American Political Science Review, Vol. 86, No. 2 (Jun., 1992), pp. 381-389
Farazmand, Ali, 2009. ‘Bureaucracy, Administration, and Politics: An Introduction’, in Bureaucracy and Administration, edn A.  Farazmand, CRC Press, Taylor & Francis Group, Boca Raton.
Heady, Ferrel. 1992, ‘Bureaucracies’, Encyclopedia of Government and Politics, eds M. Hawkesworth & M. Kogan, Routledge, London & New York, pp. 304-315.
Miftah Toha, Agus D. 1999. Menyoal Birokrasi Publik. Jakarta: Balai Pustaka




[1] Ndraha (mengutip Riggs 1971; Gibson, Ivancevisch dan Donnelly 1974; Kramer 1977)  mengemukakan tiga makna birokrasi.  Ndraha, Taliziduhu. 2003, Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru), Rineka Cipta, Jakarta
[2] nondiscreationary: aparat hanya melaksanakan aturan yang sudah ditetapkan tanpa adanya kesempatan untuk melakukan improvisasi atas peraturan tersebut
[3] Heady, Ferrel. 1992, ‘Bureaucracies’, Encyclopedia of Government and Politics, eds M. Hawkesworth & M. Kogan, Routledge, London & New York, pp. 304-315.
[4] Farazmand, Ali, 2009. ‘Bureaucracy, Administration, and Politics: An Introduction’, in Bureaucracy and Administration, edn A.  Farazmand, CRC Press, Taylor & Francis Group, Boca Raton.
[5] Shaw,  Carl K. Y.  1992, Hegel's Theory of Modern Bureaucracy, in  The American Political Science Review, Vol. 86, No. 2 (Jun., 1992), pp. 381-389
[6] Mengajarkan model ekonomi tertutup dan kedaulatan negara secara absolut terdesak oleh wawasan ekonomi baru yang menggariskan sistem ekonomi terbuka.
[7] Miftah Toha, Agus D. 1999. Menyoal Birokrasi Publik. Jakarta: Balai Pustaka
[8] Ibid
[9] Kirzner, I.M. 1973. Competition and Enterpreneurship. Chicago: University of Chicago.
[10] Drucker, Peter F. 1985. Innovation and Enterpreneurship: Practices and Principles. London: Heinemann.
[11] ibid
[12] Prokopenko, Joseph dan Igor Pavin (Eds).1991. Enterpreneurship Development In Public Enterprise. Geneve: International Labour Office

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Lowell Barrington, Comparative Politics Structures and Choices (Australia: Wadsworth, 2013), 227-257. & Peter Calvert, Comparative Politics: An Introduction (Harlow: Pearson, 2002), 297-320.

Bagaimanakah menghubungkan elite dan massa dalam proses politik? Literatur kali ini membahas dan mengeksplorasi konsep-konsep mengenai el...