Minggu, 19 Maret 2017

Metode Politik Perbandingan

umumnya terdapat tiga pendekatan dalam perbandingan politik, ketiganya adalah pendekatan trasisional, behavioral, daan paskabehavioral. Pendekatan tradisional yang secara historis saling menghubungkan fakta dan nilai dalam studi politik perbandingan. Pendekatan ini memfokuskan analisis pada struktur negara, pemilihan umum, dan partai-partai politik. Ia cenderung menggambarkan institusi-institusi politik tanpa mencoba memperbandingkannya, bukannya mengidentifikasi tipe-tipenya, misalnya institusi parlementer terhadap institusi presidensial. Studi-studi tradisional biasanya membatasi pengujian mereka pada institusi-institusi Eropa Barat, khususnya apa yang disebut demokrasi-demokrasi perwakilan Inggris Raya, Perancis, Jerman, dan Swiss.
Kedua adalah pendekatan perilaku yang merupakan sebuah reaksi terhadap spekulasi teori yang memberikan uraian penjelasan, kesimpulan, dan penilaian berdasarkan norma-norma atau aturan-aturan dan standar-standar kekuasaan maupun etnosentrisme, formalisme, dan deskripsi barat yang menjadi karakteristik pendekatan tradisional kontemporer. Kecenderungan riset behavioral dalam politik telah menuju pada pembentukan model-model yang konsisten secara logika di mana ‘kebenaran’ diturunkan secara deduktif.
Dalam upaya untuk membedakan antara penelaahan mode-mode behavioral dan tradisional, telah diidentifikasi adanya doktrin utama ‘kredo behavioral’, yaitu : 1. Keteraturan atau keseragaman perilaku politik; 2. Verifikasi atau pengujian validitas generalisasi atau teori tersebut; 3. Teknik-teknik pencarian atau interpretasi data, 4. Kuantifikasi dan pengukuran dalam rekaman data; 5.  Nilai-nilai yang membedakan antara dalil-dalil yang berhubungan dengan evaluasi etis dan yang berkaitan dengan penjelasan empiris; 6. Sistematisasi riset, ilmu murni, atau pencarian pemahaman dan penjelasan perilaku sebelum menggunakan pengetahuan sebagai solusi permasalahan sosial; 8. Integrasi riset politik dengan riset-riset ilmu sosial lainnya.
Dalam menentang pendekatan tradisional, para ilmuan politik merujuk alternatif mereka sebagai revolusi behavioral. Terdapat sejumlah besar ketidakpuasan atas riset dan pengajaran yang diorientasikan pada pembentukan studi politik untuk menjadikannya disiplin ilmiah yang kokoh. Ketidakpuasaan ini menghasilkan pendukung utama revolusi behavioral sebagai revolusi paskabehavioral. Berorientasi ke masa depan menuju ‘relevansi’ dan ‘tindakan’, kredo paska behavioral terdiri dari sejumlah doktrin. Pertama, substansi mendahului teknik sehingga permasalahan sosial yang mendesak menjadi lebih penting daripada peralatan investisigasi. Kedua, behavioralisme bersifat konservatif dan terbatas pada abstraksi, bukannya kenyataan saat-saat krisis. Ketiga, ilmu tidak dapat bersikap netral ketika dilakukan evaluasi, fakta tidak dapat dipisahkan dari nilai dan alasan-alasan nilai harus dikaitkan dengan pengetahuan. Keempat, kaum intelektual harus mengemban tanggung jawab masyarakat mereka, mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan dalam peradaban dan tidak semata-mata menjadi sekelompok teknisi yang terisolisasi dan terlindung dari isu-isu dan permasalahan yang melingkupi pekerjaan mereka. Kelima, para intelektual harus menerapkan pengetahuan dan terlibat dalam pembentukan ulang masayarakat, dan keenam, para intelektual harus memasuki kancah perjuangan mutakhir dan berpartisipasi dalam politisasi institusi-institusi profesi dan akademik.
Pergerakan menuju perumusan paradigma ortodoks dapat ditelusuri dari tradisi positivisnya, khususnya empirisme logis yang memikat banyak pemikir positivis di akhir abad ke sembilan belas dan para behavioralis di pertengahan abad ke dua puluh.  Paradigma ortodoks berkembang sebagai reaksi terhadap pendekatan tradisional yang berkarakter tidak kompartif, deskriptif, sempit, dan statik, yang berfokus pada aspek-aspek legal dan formal pemerintah. Sedangkan, paradigma radikal dapat ditelusuri dari asal usul historisnya dan reaksi-reaksi antipositivis terhadap paskabehavioralisme di pertengahan abad ke dua puluh. Historisme berposisi bahwa ilmu hanya dapat dipahami dalam pengertian sejarah, dan paradigma radikal menarik asumsi-asumsi historisnya dari pemikiran marxis.
Terdapat enam karakteristik umum membedakan paradigma ortodoks dan radikal. Pertama, paradigma ortodoks cenderung bersifat aristokrat dalam interpretasi analisis, konsekuensi dari orientasi mikronya, wawasan terhadap masyarakat yang terkompartemen, orientasi rasionalnya, dan fokusnya terhadap permasalahan yang dibatasi oleh batas-batas disipliner. Sebaliknya, paradigma radikal bersifat holistik dalam interpretasi dan analisis. Persperktif-perspektif makronya memandang masyarakat sebagai kesatuan dan tidak rasionalis dalam berperilaku, serta analisisnya bersifat interdisipliner. Kedua, sementara paradigma ortodoks berfokus pada sistem-sistem stabil yang elemen-elemennya berada dalam kesetimbangan, paradigma radikal menghubungkan politik dengan konsepsi negara yang menghadapi perseteruan satu hirarki para pemberi suara dengan kelompok-kelompok massa dalam masyarakat. Ketiga, paradigma ortodoks membayangkan suatu budaya partisipasi dan interaksi sipil ideal di antara beragam kelompok yang memperebutkan kekuasaan dan pengaruh dalam pengambilan keputusan. Sebaliknya, paradigma radikal memberikan sebuah analisis kelas dalam masyarakat. Kelas-kelas dan konflik di antara mereka ditentukan oleh hubungan mereka dengan mode dan kekuatan-kekuatan produksi. Keempat, kedua paradigma berkaitan dengan kewenangan, dengan paradigma ortodoks menekankan sentralisasi orde dalam masyarakat yang semakin terkhususkan, sedangkan paradigma radikal menekankan sentralisasi kewenangan dengan suatu basis yang umum dan luas. Kelima, paradigma ortodoks memandangan penguasa bersifat tersebar dan terbagi-bagi di antara banyak pusat kekuasaan atau sebagai perwakilan dari beragam segmen dalam masyarakat, sementara paradigma radikal memandang penguasa bersifat dominan, terkonsentrasi secara sosial, dan dipersatukan dalam kepentingan-kepentingan politik maupun ekonomi. Keenam, paradigma ortodoks mendefinisikan perkembangan bersifat evolusioner, umumnya unilinier, materialistik, dan progresif. Sebaliknya, paradigma radikal memahami perkembangan bersifat revolusioner dan multilinier, serta memperhatikan seluruh kebutuhan semua orang.

Perlunya kajian politik perbandingan yang sistematis, sehingga menghasilkan generalisasi yang membantu membangun teori. Dengan demikan, perbandingan politik dari negara-negara dan generalisasi yang dihasilkan memungkinkan prediksi mendasar dan pelajaran bagi negara lain. Secara umum, terdapat tiga alasan mendasar mengapa diperlukannya kajian mengenai politik perbandingan, yaitu : pengklasifikasian, pengetesan hipotesis, dan prediksi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Lowell Barrington, Comparative Politics Structures and Choices (Australia: Wadsworth, 2013), 227-257. & Peter Calvert, Comparative Politics: An Introduction (Harlow: Pearson, 2002), 297-320.

Bagaimanakah menghubungkan elite dan massa dalam proses politik? Literatur kali ini membahas dan mengeksplorasi konsep-konsep mengenai el...