umumnya terdapat tiga pendekatan dalam perbandingan
politik, ketiganya adalah pendekatan trasisional, behavioral, daan
paskabehavioral. Pendekatan tradisional yang secara historis saling
menghubungkan fakta dan nilai dalam studi politik perbandingan. Pendekatan ini memfokuskan
analisis pada struktur negara, pemilihan umum, dan partai-partai politik. Ia
cenderung menggambarkan institusi-institusi politik tanpa mencoba
memperbandingkannya, bukannya mengidentifikasi tipe-tipenya, misalnya institusi
parlementer terhadap institusi presidensial. Studi-studi tradisional biasanya
membatasi pengujian mereka pada institusi-institusi Eropa Barat, khususnya apa
yang disebut demokrasi-demokrasi perwakilan Inggris Raya, Perancis, Jerman, dan
Swiss.
Kedua adalah pendekatan
perilaku yang merupakan sebuah reaksi terhadap spekulasi teori yang memberikan
uraian penjelasan, kesimpulan, dan penilaian berdasarkan norma-norma atau
aturan-aturan dan standar-standar kekuasaan maupun etnosentrisme, formalisme,
dan deskripsi barat yang menjadi karakteristik pendekatan tradisional
kontemporer. Kecenderungan riset behavioral dalam politik telah menuju pada
pembentukan model-model yang konsisten secara logika di mana ‘kebenaran’
diturunkan secara deduktif.
Dalam upaya untuk
membedakan antara penelaahan mode-mode behavioral dan tradisional, telah
diidentifikasi adanya doktrin utama ‘kredo behavioral’, yaitu : 1. Keteraturan
atau keseragaman perilaku politik; 2. Verifikasi atau pengujian validitas generalisasi
atau teori tersebut; 3. Teknik-teknik pencarian atau interpretasi data, 4.
Kuantifikasi dan pengukuran dalam rekaman data; 5. Nilai-nilai yang membedakan antara
dalil-dalil yang berhubungan dengan evaluasi etis dan yang berkaitan dengan
penjelasan empiris; 6. Sistematisasi riset, ilmu murni, atau pencarian
pemahaman dan penjelasan perilaku sebelum menggunakan pengetahuan sebagai
solusi permasalahan sosial; 8. Integrasi riset politik dengan riset-riset ilmu
sosial lainnya.
Dalam menentang
pendekatan tradisional, para ilmuan politik merujuk alternatif mereka sebagai
revolusi behavioral. Terdapat sejumlah besar ketidakpuasan atas riset dan
pengajaran yang diorientasikan pada pembentukan studi politik untuk
menjadikannya disiplin ilmiah yang kokoh. Ketidakpuasaan ini menghasilkan
pendukung utama revolusi behavioral sebagai revolusi paskabehavioral.
Berorientasi ke masa depan menuju ‘relevansi’ dan ‘tindakan’, kredo paska
behavioral terdiri dari sejumlah doktrin. Pertama, substansi mendahului teknik
sehingga permasalahan sosial yang mendesak menjadi lebih penting daripada
peralatan investisigasi. Kedua, behavioralisme bersifat konservatif dan
terbatas pada abstraksi, bukannya kenyataan saat-saat krisis. Ketiga, ilmu
tidak dapat bersikap netral ketika dilakukan evaluasi, fakta tidak dapat
dipisahkan dari nilai dan alasan-alasan nilai harus dikaitkan dengan
pengetahuan. Keempat, kaum intelektual harus mengemban tanggung jawab
masyarakat mereka, mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan dalam peradaban dan
tidak semata-mata menjadi sekelompok teknisi yang terisolisasi dan terlindung
dari isu-isu dan permasalahan yang melingkupi pekerjaan mereka. Kelima, para
intelektual harus menerapkan pengetahuan dan terlibat dalam pembentukan ulang
masayarakat, dan keenam, para intelektual harus memasuki kancah perjuangan
mutakhir dan berpartisipasi dalam politisasi institusi-institusi profesi dan
akademik.
Pergerakan menuju
perumusan paradigma ortodoks dapat ditelusuri dari tradisi positivisnya,
khususnya empirisme logis yang memikat banyak pemikir positivis di akhir abad
ke sembilan belas dan para behavioralis di pertengahan abad ke dua puluh. Paradigma ortodoks berkembang sebagai reaksi
terhadap pendekatan tradisional yang berkarakter tidak kompartif, deskriptif,
sempit, dan statik, yang berfokus pada aspek-aspek legal dan formal pemerintah.
Sedangkan, paradigma radikal dapat ditelusuri dari asal usul historisnya dan
reaksi-reaksi antipositivis terhadap paskabehavioralisme di pertengahan abad ke
dua puluh. Historisme berposisi bahwa ilmu hanya dapat dipahami dalam
pengertian sejarah, dan paradigma radikal menarik asumsi-asumsi historisnya
dari pemikiran marxis.
Terdapat enam
karakteristik umum membedakan paradigma ortodoks dan radikal. Pertama,
paradigma ortodoks cenderung bersifat aristokrat dalam interpretasi analisis,
konsekuensi dari orientasi mikronya, wawasan terhadap masyarakat yang
terkompartemen, orientasi rasionalnya, dan fokusnya terhadap permasalahan yang
dibatasi oleh batas-batas disipliner. Sebaliknya, paradigma radikal bersifat
holistik dalam interpretasi dan analisis. Persperktif-perspektif makronya
memandang masyarakat sebagai kesatuan dan tidak rasionalis dalam berperilaku,
serta analisisnya bersifat interdisipliner. Kedua, sementara paradigma ortodoks
berfokus pada sistem-sistem stabil yang elemen-elemennya berada dalam
kesetimbangan, paradigma radikal menghubungkan politik dengan konsepsi negara
yang menghadapi perseteruan satu hirarki para pemberi suara dengan
kelompok-kelompok massa dalam masyarakat. Ketiga, paradigma ortodoks
membayangkan suatu budaya partisipasi dan interaksi sipil ideal di antara
beragam kelompok yang memperebutkan kekuasaan dan pengaruh dalam pengambilan
keputusan. Sebaliknya, paradigma radikal memberikan sebuah analisis kelas dalam
masyarakat. Kelas-kelas dan konflik di antara mereka ditentukan oleh hubungan
mereka dengan mode dan kekuatan-kekuatan produksi. Keempat, kedua paradigma
berkaitan dengan kewenangan, dengan paradigma ortodoks menekankan sentralisasi
orde dalam masyarakat yang semakin terkhususkan, sedangkan paradigma radikal
menekankan sentralisasi kewenangan dengan suatu basis yang umum dan luas.
Kelima, paradigma ortodoks memandangan penguasa bersifat tersebar dan terbagi-bagi
di antara banyak pusat kekuasaan atau sebagai perwakilan dari beragam segmen
dalam masyarakat, sementara paradigma radikal memandang penguasa bersifat
dominan, terkonsentrasi secara sosial, dan dipersatukan dalam
kepentingan-kepentingan politik maupun ekonomi. Keenam, paradigma ortodoks
mendefinisikan perkembangan bersifat evolusioner, umumnya unilinier,
materialistik, dan progresif. Sebaliknya, paradigma radikal memahami perkembangan
bersifat revolusioner dan multilinier, serta memperhatikan seluruh kebutuhan
semua orang.
Perlunya kajian politik
perbandingan yang sistematis, sehingga menghasilkan generalisasi yang membantu
membangun teori. Dengan demikan, perbandingan politik dari negara-negara dan
generalisasi yang dihasilkan memungkinkan prediksi mendasar dan pelajaran bagi
negara lain. Secara umum, terdapat tiga alasan mendasar mengapa diperlukannya
kajian mengenai politik perbandingan, yaitu : pengklasifikasian, pengetesan hipotesis,
dan prediksi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar