Plato menyatakan bahwa kesanggupan dalam meyakinkan orang lain, serta
membuatnya melakukan apa yang telah kita yakinkan kepadanya disebut kekuasaan.
Bagi Plato kekuasaan diperoleh dari pengetahuan sehingga para pilsuf haruslah
diposisikan sebagai orang yang terhomat dalam sistem pemerintahan. Karena
dengan pengetahuan lah orang dapat mengetahui yang benar. Namun, Plato dalam
konteks ini tidak membedakan kekuasaan dalam tingkatannya, baginya kekuasaan
itu sama saja baik tingkat negara ataupun keluarga.
Aristoteles tidak sependapat dengan
apa yang dikemukakan Plato mengenai sumber kekuasaan, menurutnya sumber
kekuasaan itu adalah politeia (pemerinahan yang berkonstitusi) atau dalam kata
lain kekuasaan itu adalah konstitusi yang dapat diasumsikan sebagai hukum.
Dengan hukum sebagai sumber kekuasaan, maka semestinya setiap penguasa
berpedoman dan berpegang teguh pada apa yang telah dituliskan. Sehingga jelas
hukum menjadi puncak kedaulatan dan kekuasaan tertinggi.
Plato dan Aristoteles memiliki perbedaan pendapat dalam memaknai demokrasi. Plato merupakan seorang pilsuf yang dapat dikatakan anti demokrasi. Secara sosio-historis Plato beranggapan demikian karena kehancuran Athena yang diakibatkan oleh serangan tentara Sparta. Menurut Plato kehancuran tersebut diakibatkan oleh sistem pemerintah demokrasi yang menyebabkan terjadinya disintegrasi dan disorientasi politik.Demokrasi merupakan sistem yang sangat kental dengan hak-hak individu yang harus dijunjung tinggi, dan jelas itu bertentangan dengan plato yang mengasumsikan pemerintahan terbaik berideologi kolektivisme bukan individualisme. Plato mengatakan demokrasi itu, dipenuhi oleh individu-individu yang merdeka dengan menyuarakan kehendak hatinya dikarenakan asas persamaan hak. Berbeda halnya dengan Aristoteles yang mengasumsikan kepentingan individualis itu penting, hal ini dibuktikan dengan dukungan Aristoteles terhadap konsep hak milik.
Menurut Aristoteles hak milik itu penting dikarenakan dapat memberikan seseorang tanggungjawab dalam mempertahankan keberlangsungan kehidupan sosial. Selain itu, hak milik juga memungkinkan orang untuk berfikir mengenai persoalan negara. Konsep kepemilikan yang merupakan bagian dari demokrasi tidak semata-mata mengubah paradigma Aristoteles untuk menganggapnya sebagai sistem pemerintahan yang baik. Aristoteles beranggapan bahwa demokrasi seakan memiliki stigma negatif dan tentunya bukan bentuk negara ideal baginya.
Plato dan Aristoteles memiliki perbedaan pendapat dalam memaknai demokrasi. Plato merupakan seorang pilsuf yang dapat dikatakan anti demokrasi. Secara sosio-historis Plato beranggapan demikian karena kehancuran Athena yang diakibatkan oleh serangan tentara Sparta. Menurut Plato kehancuran tersebut diakibatkan oleh sistem pemerintah demokrasi yang menyebabkan terjadinya disintegrasi dan disorientasi politik.Demokrasi merupakan sistem yang sangat kental dengan hak-hak individu yang harus dijunjung tinggi, dan jelas itu bertentangan dengan plato yang mengasumsikan pemerintahan terbaik berideologi kolektivisme bukan individualisme. Plato mengatakan demokrasi itu, dipenuhi oleh individu-individu yang merdeka dengan menyuarakan kehendak hatinya dikarenakan asas persamaan hak. Berbeda halnya dengan Aristoteles yang mengasumsikan kepentingan individualis itu penting, hal ini dibuktikan dengan dukungan Aristoteles terhadap konsep hak milik.
Menurut Aristoteles hak milik itu penting dikarenakan dapat memberikan seseorang tanggungjawab dalam mempertahankan keberlangsungan kehidupan sosial. Selain itu, hak milik juga memungkinkan orang untuk berfikir mengenai persoalan negara. Konsep kepemilikan yang merupakan bagian dari demokrasi tidak semata-mata mengubah paradigma Aristoteles untuk menganggapnya sebagai sistem pemerintahan yang baik. Aristoteles beranggapan bahwa demokrasi seakan memiliki stigma negatif dan tentunya bukan bentuk negara ideal baginya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar