Sejarah perkembangan
partai politik di Indonesia menurut Miriam Budiardjo terbagi menjadi beberapa,
yaitu :
a. Zaman kolonial
Partai politik di masa
kolonial sebagai manifestasi bangkitnya kesadaran nasional. Beberapa bertujuan
ke arah sosial, seperti halnya Budi Utomo dan Muhammadiyah. Selain itu,
terdapat pula yang menganut asas politik dan agama, seperti Sarekat Islam dan
Partai Katolik. Begitu pun dengan asas politik sekuler, seperti PNI dan PKI,
memainkan peran penting dalam pergerakan nasional.
Pada tahun 1918 pihak Belanda mendirikan Volksraad yang berfungsi sebagai badan
perwakilan. Ada beberapa partai serta organisasi yang memanfaatkan kesempatan
untuk bergerak melalui badan ini (dinamakan ko,
namun ada pula yang menolak masuk di dalamnya yang dinamakan non-ko). Pada awalnya partisipasi
organisasi Indonesia sangat terbatas. Dari 38 anggota, di samping ketua seorang
Belanda, hanya ada 15 orang Indonesia, di antaranya 6 anggota Budi Utomo dan Sarekat
Islam. Komposisi baru berubah pada Tahun 1931 waktu diterima prinsip “mayoritas
pribumi”, sehingga dari 60 orang ada 30 orang pribumi.[1] Pada Tahun 1939 Fraksi
Pribumi terpenting dalam Volksraad antara lain Fraksi Nasional Indonesia
(FRANI) yang merupakan gabungan dari beberapa fraksi, di antaranya Parinda dan
Perhimpunan Pegawai Bestuur Bumiputra (PPBB). Ket Volksraad tetap orang
Belanda.
Di samping itu, ada usaha untuk meningkatkan persatuan
nasional melalui penggabungan partai-partai politik dan memperjuangakan
“Indonesia Berparlemen”. Dalam rangka itu, pada tahun 1939 Gabungan Politik
Indonesia (GAPI, yang merupakan gabungan partai-partai beraliran nasional) dan
Majelisul Islamil a’laa Indonesia (MIAI, yang merupakan gabungan partai-partai
beraliran Islam yang terbentuk pada tahun 1937) bersepakat untuk bersama-sama
membentuk Komite Rakyat Indonesia (KRI). Karena KRI kurang aktif, maka pada
tahun 1941 dibentuk Majelis Rakyat Indonesia (MRI) yang mencakup tidak hanya
partai politik tetapi juga organisasi serikat sekerja dan organisasi non-partai
lainnya.
Nyatanya organisasi-organisasi kemasyarakatan dan partai
mengalami kesukaran untuk bersatu dan membentuk satu front untuk menghadapi
pemerintah kolonial. Keadaan ini berlangsung sampai pemerintah Hindia Belanda
ditaklukkan oleh tentara Kerajaan Jepang. Akan tetapi pola kepartaian yang
telah terbentuk di Zaman Kolonial kemudian dilanjutkan dan menjadi landasan
utnuk terbentuknya pola sistem multi-partai di Zaman Merdeka.
b. Zaman Pendudukan Jepang (1942-1945)
Rezim pemerintah Jepang
yang sangat represif bertahan sampai tiga setengah tahun. Semua sumber daya,
baik kekayaan alam maupun tenaga manusia, dikerahkan untuk menungjang perang
“Asia Timur Raya”. Dalam rangka itu pula semua partai dibubarkan dan setiap
kegiatan politik dilarang. Hanya golongan Islam diperkenankan membentuk suatu
organisasi sosial yang dinamakan masyumi, di samping beberapa organisasi yang
diprakarsai penguasa.
c. Zaman Demokrasi Indonesia
1. Masa Perjuangan Kemerdekaan (1945-1949)
Menyerahnya tentara
Hindia Belanda kepada tentara Jepang, yang disusul dengan kalahnya tentara
Jepang, membulatkan tekad kita untuk melepaskan diri baik dari kolonialisme
Belanda maupun dari fasisme Jepang, dan mendirikan suatu negara modern yang
demokratis.
Sesudah proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 agustus
1945 keadaan ini berubah total. Pada tanggal 18 agustus, Soekarno dan Moh.
Hatta dipilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden oleh Panitia Persiapan dan
Wakil Presiden oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan pada
tanggal 22 Agustus 1945 Panitia tersebut dalam sidang terakhirnya menetapkan
Aturan Peralihan UUD 1945 selama UUD 1945 belum dapat dibentuk secara sempurna.
Selain itu, panitia menetapkan berdirinya Badan Keamanan Rakyat (BKR yang
kemudian menjadi TNI) dan Komite Nasional Indonesia (KNI yang kemudian menjadi
KNIP).
BKR dan KNIP segera dibentuk dan langsung memainkan peran
yang penting. Keanggotaan KNIP diambil dari pemuka masyarakat dari berbagai
golongan dan daerah agar seluruh Indonesia terwakili, ditambah dengan anggota
PPKI yang tidak diangkat menjadi menteri. KNI Daerah juga dibentuk di
daerah-daerah. Karena kesibukan membentuk KNID, maka pembentukan PNI utk
sementara ditunda.
Pada awal revolusi fisik, partai-partai politik memainkan
peran penting dalam proses pembuatan keputusan yang menentukan nasib masyarakat
Indonesia. Wakil-wakil partai duduk dalam kabinet. Akan tetapi ternyata
stabilitas politik tidak tercapai. Tidak adanya partai dengan mayoritas yang
jelas (masyumi dan PNI sama kuatnya) menyebabkan pemerintah harus selalu
berdasarkan koalisi antara partai besar dengan partai-partai kecil.
Koalisi-koalisi ini tidak langgeng dan pemerintah rata-rata hanya bertahan
selama kira-kira satu tahun. Dengan demikian, tidak ada satu kabinet pun yang
berhasil melaksanakan program yang telah dicanangkan. Karena ulah partai
koalisi berubah, sampai aksi militer II pada saat Presiden, Wakil Presiden,
serta beberapa menteri ditangkap oleh pihak Belanda, sudah terjadi delapan kali
pergantian kabinet.[2]
Masyumi yang merupakan satu-satunya organisasi yang dalam
masa rezim jepang dibolehkan mengadakan kegiatan sosial telah memanfaatkan
kesempatan tersebut untuk berorganisasi secara efektif. Hal ini menyebabkan
masumi muncul sebagai partai yang paling besar pada awal revolusi. Beberapa
organisasi zaman kolonial yang tergabung misalnya muhammadiyah dan nahdatul
ulama.
Selain masyumi, Partai Nasional Indonesia (PNI) dapat
dianggap sebagai salah satu partai besar pula. Partai-partai lama seperti
Partindo, Gerindo, dan Parinda bergabung dalam PNI. Akan tetapi Parinda, pada
bulan November 1949 keluar dari PNI. Setahun sebelumnya, tahun 1948, beberapa
tokoh yang visi politiknya lebih konservatif dari pimpinan PNI mendirikan
Partai Indonesia Raya (PIR).
Di samping partai-partai besar tersebut, partai yang
memiliki peran besar pada awal revolusi adalah golongan sosialis. Pada awalnya,
partai sosialis yang diketuai oleh Sjahrir menyetujui penandatanganan
Persetujuan Linggarjati. Akan tetapi partai itu pecah menjadi dua, yaitu partai
sosialis, diketuai oleh Amir Sjarifudin, dan partai sosialis indonesia, yang
dipimpin oleh Sjahrir. Alasan perpecahan ini ialah karena Amir dengan sebagian
besar anggota partai sosialis lebih bergerak ke sikap radikal, mendekati
komunisme, sedangkan sjahrir tetap pada ideologi demokrat-sosial yang moderat.
Partai besar lain yang memainkan peran penting dalam
dunia politik Indonesia adalah Partai Komunis Indonesia. Partai itu berhasil
menguasai sayap kiri, suatu gabungan dari partai-partai yang orientasi
politiknya kekiri-kirian. Akan tetapi partai itu memperoleh pukulan berat
sebagai akibat dari pemberontakan madiun pada tahun 1948. Begitu pula suara
kelompok-kelompok oposisi yang telah bergabung dengan partai komunis indonesia
seperti partai buruh.
2. Zaman Republik Indonesia Serikat (1949-1950)
Pada masa ini
partai-partai politik secara aktif mendukung usaha menggabungkan negara-negara
bagian ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Konstelasi partai politik
tidak banyak berubah.
3. Masa Pengakuan Kedaulatan (1949-1959)
Sesudah kedaulatan de
jure pada bulan Desember 1949 kita akhirnya diakui oleh dunia luar, dan sesudah
berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara pada bulan Agustus 1950, pola kabinet
koalisi berjalan terus. Semua koalisi melibatkan kedua partai besar yaitu
Masyumi dan PNI, masing-masing dengan partai-partai pengikutnya. Koalisi
partai-partai besar ini menyebabkan kabinet terus silih berganti.
Dengan terbentuknya kabinet pertama yang dipimpin oleh
Masuimi (dengan Natsir sebagai pemimpinnya) bangsa Indonesia mulai membangun
suatu negara modern. Salah satu usaha ialah menyusun suatu UU Pemilihan Umum
sebagai simbol persepsi bansa Indonesia mengenai demokrasi. pada waktu itu
persepsi masyarakat indonesia ialah bahwa pemilihan umum merupakan wahana
demokrasi yang sangat krusial. Diharapkan pemilihan umum akan mengakiri
pertikaian antara partai dan di dalam partai masing-masing yang pada akhirnya
membawa stabilitas politik.
4. Zaman Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
Zaman ini ditandai
pertama dengan diperkuatnya kedudukan presiden, antara lain dengan
ditetapkannya sebagai Presiden seumur hidup melalui TAP MRP NoIII/1963. Kedua
pengurangan peranan partai politik, kecuali PKI yang malahan mendapat
kesempatan untuk berkembang. Ketiga, peningkatan peranan militer sebagai
kekuatan sosial politik. kdang-kadang masa ini dinamakan periode segi tiga
Soekarno, TNI, dan PKI (dengan Soekarno di dudut paling atas) karena merupakan
perebutan kekuasaan antara tiga kekuatan itu.
Disamping itu, pemerintah mencari wadah untuk
memobilisasi semua kekuatan politik di bawah pengawasan pemerintah. Wadah yang
mendasarkan pada NASAKOM dibentuk pada tahun 1960 dan disebut Front Nasional.
Semua partai, termasuk PKI, terwakili di dalamnya. Begitu pula
kelompok-kelompok yang sebelumnya kurang mendapat kesempatan untuk
berpartisipasi dalam proses membuat keputusan seperti golongan fungsional dan
ABRI. Melalui kehadirannya dalam Front Nasional yang berdasarkan NASAKOM, PKI
berhasil mengembangkan sayapnya dan memengaruhi hampir semua aspek kehidupan
politik.[3] secara umum dianggap
bahwa Front Nasional ditujukan untuk melemahkan kedudukan partai-partai
politik.
5. Zaman Demokrasi Pancasila (1965-1998)
Pada masa ini, terjadi
pembekuan PKI dan semua antek-antek yang memiliki hubungan erat dengannya.
Sementara itu, terjadinya berbagai macam perdebatan, mengenai perlunya
mendeirikan dan membentuk suatu sistem politik yang demokratis dengan merombak struktur
politik yang ada. Partai politik yang menjadi sasaran utama dari kecaman
masyarakat di anggap telah bertindak memecah belah karena terlalu mementingkan
ideologi serta kepentingan masing-masing. Keterlibatan ini sedemikian dalamnya
sehingga mereka tidak sampai menyusun program kerja yang dapat dilaksanakan.
Sebagai hasil dari perdebatan, baik dalam seminar
angkatan darat maupun di luar, akhirnya sistem distrik dituang dalam rancangan
undang-undang pemilahan umum yang diajukan pada parlemen pada awal tahun 1967
bersama dua RUU lainnya. Akan tetapi ternyata rancangan undang-undang ini
sangat dikecam oleh partai-partai politik, tidak hanya karena dianggap dapat
merugikan mereka, akan tetapi mereka juga karena mencakup beberapa ide baru,
seperti duduknya wakil ABRI sebagai angoota parlemen.
Eksperimen dwi partai terpengaruh oleh pengalaman di
beberapa negara barat seperti Inggris dan Amerika yang telah berhasil
menghasilkan, tentu bersamaan dengan faktor lain, stabilitas yang cukup mantap
dan langgeng. Akan tetapi mengenai tujuan negara dan cara mencapainya,
perubahan ini mungkin dianggap terlalu radikal dan mengalami banyak kesulitan
serta tantangan sehingga pada tahun 1969 ditinggalkan sama sekali.
Sementara itu, peranan golongan militer bertambah kuat
yang menimbulkan sebuah rezim otoriter. Usah penyederhanaan partai dilanjutkaan
dengancara yang sedikit banyak radikal.
Di muka sepuluh partai termasuk Golkar, Presiden Soeharto mengemukakan sarannya
agar partai mengelompokan diri untuk mempermudah kampanye pemilihan umum tanpa
partai kehilangan identitas masing-masing atau dibubarkan sama sekali.
Pengelompokan ini mencakup tiga kelompok yaitu golongan nasional, golongan
spritual, dan golongan karya. Usaha ini, yang sebenarnya ingin dilaksanakan
sebelum pemilihan umum 1971, ternyata tidak dapat dituntaskan pada waktunya dan
pemilihan umum 1971 diadakan dengan sembilan partai politik.
Pengelompokan dalam tiga golongan baru terjadi pada tahun
1973. Empat partai islam, yaitu NU, PMI, PSII, PTI bergabung menjadi PPP.
Selain itu, lima partai yaitu PNI, Partai Kristen Indonesia, PK, Partai Murba,
IPKI, bergabung menjadi PDI. Dengan demikian mulai pemilihan umum 1977 hanya
tiga orsospol, yaitu PPP, PDI, dan Golkar.
Langkah berikutnya untuk menata sistem kepartaian adalah
konsep pancasila sebagai satu-satunya asas. Hal itu merupakan pelaksanaan dari
gagasan yang telah dikemukakan oleh presiden soeharto. Maksudnya agar tidak
terjadi lagi penyimpangan seperti masa lalu atau persaingan antara partai
karena tiap partai cenderung menonjolkan dan meperjuangkan asas mereka
masing-masing.
6. Zaman Reformasi
Periode reformasi
bermula ketika presiden soeharto turun dari kekuasaan 21 Mei 1998. Sejak itu
hari demi hari ada tekanan atau desakan agar diadakan pembaharuan politik ke
arah yang lebih demokratis. Diharapkan bahwa dalam usaha ini kita dapat
memanfaatkan pengalaman kolektif selama tiga periode 1945-1998. Dalam konteks
kepartaian ada tuntutan agar masyarakat mendapat kesempatan untuk mendirikan
partai. Pada masa ini, ueforia politik kembali bangkit, sehingga
organisasi-organisasi masyarakat kembali bermunculan, partai politik pun
kembali bertambah.
- Jelaskan tentang
pengaturan parpol di Indonesia! (undang-undang yang mengatur partai
politik dari zaman orde lama sampai dengen sekarang)
a.
Masa orde lama
KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) menjadi pembantu presiden sebelum MPR dan DPR
dapat didirikan, seperti yang disebutkan dalam Pasal IV Aturan Tambahan dan
Peralihan UUD 1945 yang berbunyi:
Sebelum Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut
Undang-Undang sebuah komite nasional.[4]
Bersamaan dengan itu, dibentuk pula suatu partai politik sebagai alat
perjuangan, yakni Partai Nasional Indonesia (PNI), di mana oleh Prsiden
Soekarno diharapkan akan menjadi “motor perjuangan rakyat”.[5]
Seiring dengan usaha untuk membentuk badan-badan aparatur
negara timbul juga hasrat di beberapa kalangan untuk mendobrak suasana politik
otoriter dan represif yang telah berjalan selama tiga setengah tahun pendudukan
jepang, ke arah kehidupan yang demokratis. Hal ini terjadi dalam beberapa
tahapan.
Pertama,
atas prakarsa beberapa politisi muda, diusahakan agar kedudukan KNIP yang
tadinya sebagai pembantu Presiden, menjadi suatu badan yang mempunyai wewenang
legislatif. Sebelum MPR dan DPR dapat didirikan pemerintah tidak dapat
bertanggung jawab kepada puhak siapa pun. Untuk itu, pada tanggal 16 oktober,
dalam sidang paripurna KNIP yang diketuao Mr. Kasman Singodimedjo dan dihadiri
oleh sebagian besar menteri kabiner serta Wakil Presiden Moh. Hatta, ditetapkan
bahwa selama MPR dan DPR belum dapat dibentuk, KNIP diberi wewenang legislatif
dan wewenang untuk turut menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (Maklumat
No. X tanggal 16 Oktober 1945 yang ditandatangani Wakil Presiden Moh. Hatta).
Kedua,
badan pekerja mengusulkan agar para menteri bertanggungjawab kepada KNIP yang
berubah menjadi parlemen sementara. Usul ini disetujui oleh Presiden pada
tanggal 14 November 1945 (maklumat
pemerintah) dan selanjutnya disetujui oleh KNIP dalam sidang plenonya tanggal
25-27 November 1945. Dengan demikian, mulai 14 November 1945 sistem
pemerintahan presidensial telah berubah menjadi sistem pemerintahan
parlementer. Sistem ini selanjutnya dikukuhkan dalam UUD RIS 1949, UUD
sementara 1950, sehingga tetap berlaku selama empat belas tahun, yaitu sampai
Juli 1959 saat Indonesia kembali ke UUD 1945.
Ketiga,
dalam rangka demokratisasi bdan pekerja mengusulkan agar dibuka kesempatan
untuk mendirikan partai-partai politik, dan usul tersebut disetujui oleh
pemerintah. Dalam maklumat pemerintah tanggal 3 November dikemukakan bahwa:
“pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik karena dengan adanya
partai-partai itulah dapat dipimpin ke jalan yang teratur segala aliran paham
yang ada dalam masyarakat, diharapkan bahwa partai-partai telah tersusun
sebelum dilangsungkan pemilihan umum pada bulan januari 1946.” Ditentukan juga
pembatasan bahwa partai-partai politik itu hendaknya memperkuat perjuangan
untuk mempertahankan kemerdekaan dan menjamin keamanan masyarakat. Dengan
adanya partai-partai ini, lebih mudah bagi pemerintah untuk meminta pertanggung
jawaban dari pimpinan organisasi-organisasi perjuangan.
Pada masa
demokrasi terpimpin dalam rangka memperkuat badan eksekutid dimulailah beberapa
ikhtiar untuk menyederhanakan sistem partai dengan mengurangi jumlah partai
melalui Penpres No. 7/1959. Maklumat pemerintah 3 November 1945 yang
menganjurkan pembentukan partai-partai dicabut dan ditetapkan syarat-syarat yang
harus dipenuhi oleh partai untuk diakui pemerintah. Partai yang kemudian
dinyatkan memenuhi syarat adalah PKI,PNI,NU, Partai Katolik, Partindo,
Parkindo, Partai Murba, PSII Arudji, IPKI, Partai Islam Perti, sedangkan
beberapa partai lain yang dinyatakan tidak memenuhi syarat. Dengan
dibubarkannya Masyumi dan PSI pda tahun 1960 yang tersisa tinggal 10 partai
politik saja.[6]
b.
Masa orde baru
MPRS melakukan tindakan pencabutan ketetapan No III/1963
tentang penetapan presiden soekarno sebagai presiden seumur hidup. Tindakan
lain yang dilakukan oleh orde baru adalah pembubaran PKI melalui tap MPRS No.
XXV/1966, sedangkan Partindo yang telah menjalin hubungan erat dengan PKI,
dibekukan pada tahun yang sama.
Pada
tanggal 27 Juli 1967 pmerintah dan partai-partai mencapai suatu kompromi dimana
kedua belah pihak memberi konsensi. Pemerintah mengalah dengan menyetujui
sistem sistem pemilihan umum proporsional, tetapi dengan beberapa modifikasi
antara lain tiap kabupaten akan dijamin sekurang-kurang satu kursi sehingga
perwakilan dari daerah diluar jawa akan seimbang dengan perwakilan jawa. Selain
itu, untuk menunjang sistem kepartaian Pada tanggal 16 Agustus 1982 dalam
sidang paripurna DPR, presiden soeharto berpidato mengenai penyederhanaan
partai politik kedalam tiga golongan (nasinal, spiritual, karya), serta
menetapkan asas pancasila sebagai landasan utama dari setiap organisasi.
c.
Masa reformasi
Pemerintah yang dipimpin oleh BJ Habibie dan parlemen
mengeluarkan UU No 2/1999 tentang partai politik. perubahan yang didambakan
ialah mendirikan suatu sistem dimana partai-partai politik tidak mendominasi
kehidupan poltik secara berlebihan, akan tetapi yang juga tidak memberi peluang
kepada eksekutif untuk menjadi terlalu kuat. Sebaliknya, kekuatan eksekutif dan
legislatif diharapkan menjadi setara sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD
1945.
Terdapat
beberapa undang-undang yang mengatur partai politik di Indonesia semenjak
kemerdekaan, yaitu :
a.
Maklumat X Wakil Presiden Muhammad
Hatta (1945)
b.
Undang-Undang Nomor 7 Pnps Tahun
1959 tentang Syarat-Syarat dan Penyederhanaan Kepartaian
c.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1960
tentang Pengakuan, Pengawasan, dan Pembubaran Partai-Partai
d.
Undang-Undang Nomor 3 tahun 1975
tentang Partai Politik dan Golongan Karya
e.
Undang-Undang Nomor 3 tahun 1985
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1975 tentang Partai Politik
dan Golongan Karya
f.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999
tentang Partai Politik
g.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002
tentang Partai Politik
h.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik
i.
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik
- Pandangan
saudara terhadap dinamika parpol di Indonesia!
Dalam kaitannya dengan peran partai politik, baik rezim
soekarno maupun soeharto melihat partai politik sebagai sumber kekacauan dari
sistem politik yang mereka bangun. Karena itu, keinginan untuk menyederhanakan
partai politik kerap muncul dalam rangka menciptakan kestabilan politik .
berikut ini meriam budiardjo memberikan analisis terhadap usulan-usulan ke arah
penyederhanaan partai politik dalam rangka membangun sistem multi partai yang
kuat dan demokratis.
a. Mengurangi jumlah partai-partai politik untuk mengingkatkan
stabilitas politik.
b. Terbatasnya jumlah partai akan mempermudah partai untuk
mencapai mayoritas (50%+1) atau sekurang-kurangnya menyusun suatu koalisi yang
relatif kuat
c. Terbatasnya jumlah partai akan mengurangi fragmentasi dan
kecenderungan sentrifugal dari partai-partai.
d. Partai-partai kecil sebaiknya bergabung atau
sekurang-kurangnya kerja sama untuk memperoleh kursi dan parlemen.
e. Membatasi jumlah partai misalnya dengan menentukan beberaoa
syarat. Sala satu syaratnya adalah bahwa partai yang memperoleh suara kurang
dari persentase tertentu (misalnya 5%) tidak diberi kursi dalam DPR, sekalipun
di luar DPR partai itu dapt eksis terus. Hal ini dinamakan electoral threshold.
f. Banyak kalangan masyarakat tidak menyetuji penggabungan
partai-partai menjadi tiga partai yang diadakan di zaman Orde Baru karena adanya
unsur paksaan di dalamnya.
g. Massa mengambang dalam zaman orde baru dianggap tidak fair
dan perlu dihapuskan.
Seiring dengan perkembangannya, dan pengalaman politik
negeri ini, Indonesia selayaknya belajar dan tidak mengulangi kesalahan dimasa
lalu, meski kehidupan politik senantiasa dinamis. Maka, analisis dan penyikapan
terhadap permasalahan kepartaian di masa lalu hendaknya begitu kita pahami
dalam proses akselerasi pembangunan negeri ini. Umumnya dapat kita pahami
stagnannya pembangunan di masa orde lama tiada lain adalah akibat dari
permasalahan yang ada di partai politik, sehingga parlemen tidak dapat berjalan
dengan baik. Meskipun penyikapan terkait permasalahan di orde lama dapat
terselesaikan di masa orde baru, dengan kebijakan penyederhanaan partai dan
penetapan asas pancasila sebagai landasan setiap organisasi. Meskipun terjadi
stabilitas politik, akan tetapi hal itu menimbulkan permasalahan baru, lahirnya
rezim otoriter dan maraknya praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme menimbulkan
permasalahan krusial pada negeri ini, puncaknya ketika krisis 1998 sehingga
menyebabkan runtuhnya rezim orde baru.
Masa
reformasi yang lahir atas pemikiran dan perjuangan terhadap kebebasan dan
junjungan akan kehidupan demokratis yang ideal, menjadikan perubahan yang signifikan
dalam konteks sistem politik. kebebasan dalam berserikat menjadi dasar
berdirinya kelompok-kelompok kepentingan termasuk partai politik, bagaikan
ueforia dari nuansa politik yang baru, banyak partai baru yang bermunculan.
Akan tetapi, dalam prosesnya landasan ideologi pancasila senantiasa dijadikan
landasan utama dalam menjaga stabilitas politik, khususnya mengurangi hal-hal
pertikaian yang bersifat ideologis.
Namun,
seiring dengan prosesnya partai politik saat ini lebih cenderung bergerak pada hal
yang bersifat pragmatis, sehingga konflik atau pertikaian yang ada lebih
cenderung berorientasi pada hal yang bersifat kekuasaan dan kepentingan
golongan. Berbeda halnya dalam konteks sebelumnya yang lebih memprioritaskan
permasalahan ideologis dalam proses politiknya. Hal ini mengindikasikan
perubahan orientasi politik dari lembaga politik yang ada.
[1]
Visman Report, Jilid I (Batavia:
Landsdrukkerij, 1941), hlm. 82 dan 89
[2]
Bibit Suprapto, Perkembangan Kabinet dan Pemerintahan di Indonesia (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1985), hl,. 13-102
[3]
R.Wiyono, Organisasi Kekuatan Sosial
Politik di Indonesia (Bandung: Penerbit Alumni, 1982), hlm. 33.
[4]
Ensiklopedi Nasional Indonesia, hlm. 62
[5]
Pidato Presiden Soekarno yang dimuat DI Merdeka, 25 Agustus 1945, dalam John D.
Legge, Soekarno: Sebuah Biografi Politik (Jakarta:
Penerbit Sinar Harapan, 1985),hlm. 244.
[6]
R.Wiyono, Organisasi Kekuatan Sosial
Politik di Indonesia (Bandung: Penerbit Alumni, 1982), hlm. 29-30.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar