Sabtu, 18 Maret 2017

Partai Politik dan Pemilu

Sejarah perkembangan partai politik di Indonesia menurut Miriam Budiardjo terbagi menjadi beberapa, yaitu :
a.    Zaman kolonial
Partai politik di masa kolonial sebagai manifestasi bangkitnya kesadaran nasional. Beberapa bertujuan ke arah sosial, seperti halnya Budi Utomo dan Muhammadiyah. Selain itu, terdapat pula yang menganut asas politik dan agama, seperti Sarekat Islam dan Partai Katolik. Begitu pun dengan asas politik sekuler, seperti PNI dan PKI, memainkan peran penting dalam pergerakan nasional.
Pada tahun 1918 pihak Belanda mendirikan Volksraad yang berfungsi sebagai badan perwakilan. Ada beberapa partai serta organisasi yang memanfaatkan kesempatan untuk bergerak melalui badan ini (dinamakan ko, namun ada pula yang menolak masuk di dalamnya yang dinamakan non-ko). Pada awalnya partisipasi organisasi Indonesia sangat terbatas. Dari 38 anggota, di samping ketua seorang Belanda, hanya ada 15 orang Indonesia, di antaranya 6 anggota Budi Utomo dan Sarekat Islam. Komposisi baru berubah pada Tahun 1931 waktu diterima prinsip “mayoritas pribumi”, sehingga dari 60 orang ada 30 orang pribumi.[1] Pada Tahun 1939 Fraksi Pribumi terpenting dalam Volksraad antara lain Fraksi Nasional Indonesia (FRANI) yang merupakan gabungan dari beberapa fraksi, di antaranya Parinda dan Perhimpunan Pegawai Bestuur Bumiputra (PPBB). Ket Volksraad tetap orang Belanda.
Di samping itu, ada usaha untuk meningkatkan persatuan nasional melalui penggabungan partai-partai politik dan memperjuangakan “Indonesia Berparlemen”. Dalam rangka itu, pada tahun 1939 Gabungan Politik Indonesia (GAPI, yang merupakan gabungan partai-partai beraliran nasional) dan Majelisul Islamil a’laa Indonesia (MIAI, yang merupakan gabungan partai-partai beraliran Islam yang terbentuk pada tahun 1937) bersepakat untuk bersama-sama membentuk Komite Rakyat Indonesia (KRI). Karena KRI kurang aktif, maka pada tahun 1941 dibentuk Majelis Rakyat Indonesia (MRI) yang mencakup tidak hanya partai politik tetapi juga organisasi serikat sekerja dan organisasi non-partai lainnya.
Nyatanya organisasi-organisasi kemasyarakatan dan partai mengalami kesukaran untuk bersatu dan membentuk satu front untuk menghadapi pemerintah kolonial. Keadaan ini berlangsung sampai pemerintah Hindia Belanda ditaklukkan oleh tentara Kerajaan Jepang. Akan tetapi pola kepartaian yang telah terbentuk di Zaman Kolonial kemudian dilanjutkan dan menjadi landasan utnuk terbentuknya pola sistem multi-partai di Zaman Merdeka.
b.    Zaman Pendudukan Jepang (1942-1945)
Rezim pemerintah Jepang yang sangat represif bertahan sampai tiga setengah tahun. Semua sumber daya, baik kekayaan alam maupun tenaga manusia, dikerahkan untuk menungjang perang “Asia Timur Raya”. Dalam rangka itu pula semua partai dibubarkan dan setiap kegiatan politik dilarang. Hanya golongan Islam diperkenankan membentuk suatu organisasi sosial yang dinamakan masyumi, di samping beberapa organisasi yang diprakarsai penguasa.
c.    Zaman Demokrasi Indonesia
1.    Masa Perjuangan Kemerdekaan (1945-1949)
Menyerahnya tentara Hindia Belanda kepada tentara Jepang, yang disusul dengan kalahnya tentara Jepang, membulatkan tekad kita untuk melepaskan diri baik dari kolonialisme Belanda maupun dari fasisme Jepang, dan mendirikan suatu negara modern yang demokratis.
            Sesudah proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 agustus 1945 keadaan ini berubah total. Pada tanggal 18 agustus, Soekarno dan Moh. Hatta dipilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden oleh Panitia Persiapan dan Wakil Presiden oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan pada tanggal 22 Agustus 1945 Panitia tersebut dalam sidang terakhirnya menetapkan Aturan Peralihan UUD 1945 selama UUD 1945 belum dapat dibentuk secara sempurna. Selain itu, panitia menetapkan berdirinya Badan Keamanan Rakyat (BKR yang kemudian menjadi TNI) dan Komite Nasional Indonesia (KNI yang kemudian menjadi KNIP).
            BKR dan KNIP segera dibentuk dan langsung memainkan peran yang penting. Keanggotaan KNIP diambil dari pemuka masyarakat dari berbagai golongan dan daerah agar seluruh Indonesia terwakili, ditambah dengan anggota PPKI yang tidak diangkat menjadi menteri. KNI Daerah juga dibentuk di daerah-daerah. Karena kesibukan membentuk KNID, maka pembentukan PNI utk sementara ditunda.
            Pada awal revolusi fisik, partai-partai politik memainkan peran penting dalam proses pembuatan keputusan yang menentukan nasib masyarakat Indonesia. Wakil-wakil partai duduk dalam kabinet. Akan tetapi ternyata stabilitas politik tidak tercapai. Tidak adanya partai dengan mayoritas yang jelas (masyumi dan PNI sama kuatnya) menyebabkan pemerintah harus selalu berdasarkan koalisi antara partai besar dengan partai-partai kecil. Koalisi-koalisi ini tidak langgeng dan pemerintah rata-rata hanya bertahan selama kira-kira satu tahun. Dengan demikian, tidak ada satu kabinet pun yang berhasil melaksanakan program yang telah dicanangkan. Karena ulah partai koalisi berubah, sampai aksi militer II pada saat Presiden, Wakil Presiden, serta beberapa menteri ditangkap oleh pihak Belanda, sudah terjadi delapan kali pergantian kabinet.[2]
            Masyumi yang merupakan satu-satunya organisasi yang dalam masa rezim jepang dibolehkan mengadakan kegiatan sosial telah memanfaatkan kesempatan tersebut untuk berorganisasi secara efektif. Hal ini menyebabkan masumi muncul sebagai partai yang paling besar pada awal revolusi. Beberapa organisasi zaman kolonial yang tergabung misalnya muhammadiyah dan nahdatul ulama.
            Selain masyumi, Partai Nasional Indonesia (PNI) dapat dianggap sebagai salah satu partai besar pula. Partai-partai lama seperti Partindo, Gerindo, dan Parinda bergabung dalam PNI. Akan tetapi Parinda, pada bulan November 1949 keluar dari PNI. Setahun sebelumnya, tahun 1948, beberapa tokoh yang visi politiknya lebih konservatif dari pimpinan PNI mendirikan Partai Indonesia Raya (PIR).
            Di samping partai-partai besar tersebut, partai yang memiliki peran besar pada awal revolusi adalah golongan sosialis. Pada awalnya, partai sosialis yang diketuai oleh Sjahrir menyetujui penandatanganan Persetujuan Linggarjati. Akan tetapi partai itu pecah menjadi dua, yaitu partai sosialis, diketuai oleh Amir Sjarifudin, dan partai sosialis indonesia, yang dipimpin oleh Sjahrir. Alasan perpecahan ini ialah karena Amir dengan sebagian besar anggota partai sosialis lebih bergerak ke sikap radikal, mendekati komunisme, sedangkan sjahrir tetap pada ideologi demokrat-sosial yang moderat.
            Partai besar lain yang memainkan peran penting dalam dunia politik Indonesia adalah Partai Komunis Indonesia. Partai itu berhasil menguasai sayap kiri, suatu gabungan dari partai-partai yang orientasi politiknya kekiri-kirian. Akan tetapi partai itu memperoleh pukulan berat sebagai akibat dari pemberontakan madiun pada tahun 1948. Begitu pula suara kelompok-kelompok oposisi yang telah bergabung dengan partai komunis indonesia seperti partai buruh.
2.    Zaman Republik Indonesia Serikat (1949-1950)
Pada masa ini partai-partai politik secara aktif mendukung usaha menggabungkan negara-negara bagian ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Konstelasi partai politik tidak banyak berubah.
3.    Masa Pengakuan Kedaulatan (1949-1959)
Sesudah kedaulatan de jure pada bulan Desember 1949 kita akhirnya diakui oleh dunia luar, dan sesudah berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara pada bulan Agustus 1950, pola kabinet koalisi berjalan terus. Semua koalisi melibatkan kedua partai besar yaitu Masyumi dan PNI, masing-masing dengan partai-partai pengikutnya. Koalisi partai-partai besar ini menyebabkan kabinet terus silih berganti.
            Dengan terbentuknya kabinet pertama yang dipimpin oleh Masuimi (dengan Natsir sebagai pemimpinnya) bangsa Indonesia mulai membangun suatu negara modern. Salah satu usaha ialah menyusun suatu UU Pemilihan Umum sebagai simbol persepsi bansa Indonesia mengenai demokrasi. pada waktu itu persepsi masyarakat indonesia ialah bahwa pemilihan umum merupakan wahana demokrasi yang sangat krusial. Diharapkan pemilihan umum akan mengakiri pertikaian antara partai dan di dalam partai masing-masing yang pada akhirnya membawa stabilitas politik.
4.    Zaman Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
Zaman ini ditandai pertama dengan diperkuatnya kedudukan presiden, antara lain dengan ditetapkannya sebagai Presiden seumur hidup melalui TAP MRP NoIII/1963. Kedua pengurangan peranan partai politik, kecuali PKI yang malahan mendapat kesempatan untuk berkembang. Ketiga, peningkatan peranan militer sebagai kekuatan sosial politik. kdang-kadang masa ini dinamakan periode segi tiga Soekarno, TNI, dan PKI (dengan Soekarno di dudut paling atas) karena merupakan perebutan kekuasaan antara tiga kekuatan itu.
            Disamping itu, pemerintah mencari wadah untuk memobilisasi semua kekuatan politik di bawah pengawasan pemerintah. Wadah yang mendasarkan pada NASAKOM dibentuk pada tahun 1960 dan disebut Front Nasional. Semua partai, termasuk PKI, terwakili di dalamnya. Begitu pula kelompok-kelompok yang sebelumnya kurang mendapat kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses membuat keputusan seperti golongan fungsional dan ABRI. Melalui kehadirannya dalam Front Nasional yang berdasarkan NASAKOM, PKI berhasil mengembangkan sayapnya dan memengaruhi hampir semua aspek kehidupan politik.[3] secara umum dianggap bahwa Front Nasional ditujukan untuk melemahkan kedudukan partai-partai politik.
5.    Zaman Demokrasi Pancasila (1965-1998)
Pada masa ini, terjadi pembekuan PKI dan semua antek-antek yang memiliki hubungan erat dengannya. Sementara itu, terjadinya berbagai macam perdebatan, mengenai perlunya mendeirikan dan membentuk suatu sistem politik yang demokratis dengan merombak struktur politik yang ada. Partai politik yang menjadi sasaran utama dari kecaman masyarakat di anggap telah bertindak memecah belah karena terlalu mementingkan ideologi serta kepentingan masing-masing. Keterlibatan ini sedemikian dalamnya sehingga mereka tidak sampai menyusun program kerja yang dapat dilaksanakan.
            Sebagai hasil dari perdebatan, baik dalam seminar angkatan darat maupun di luar, akhirnya sistem distrik dituang dalam rancangan undang-undang pemilahan umum yang diajukan pada parlemen pada awal tahun 1967 bersama dua RUU lainnya. Akan tetapi ternyata rancangan undang-undang ini sangat dikecam oleh partai-partai politik, tidak hanya karena dianggap dapat merugikan mereka, akan tetapi mereka juga karena mencakup beberapa ide baru, seperti duduknya wakil ABRI sebagai angoota parlemen.
            Eksperimen dwi partai terpengaruh oleh pengalaman di beberapa negara barat seperti Inggris dan Amerika yang telah berhasil menghasilkan, tentu bersamaan dengan faktor lain, stabilitas yang cukup mantap dan langgeng. Akan tetapi mengenai tujuan negara dan cara mencapainya, perubahan ini mungkin dianggap terlalu radikal dan mengalami banyak kesulitan serta tantangan sehingga pada tahun 1969 ditinggalkan sama sekali.
            Sementara itu, peranan golongan militer bertambah kuat yang menimbulkan sebuah rezim otoriter. Usah penyederhanaan partai dilanjutkaan dengancara yang sedikit  banyak radikal. Di muka sepuluh partai termasuk Golkar, Presiden Soeharto mengemukakan sarannya agar partai mengelompokan diri untuk mempermudah kampanye pemilihan umum tanpa partai kehilangan identitas masing-masing atau dibubarkan sama sekali. Pengelompokan ini mencakup tiga kelompok yaitu golongan nasional, golongan spritual, dan golongan karya. Usaha ini, yang sebenarnya ingin dilaksanakan sebelum pemilihan umum 1971, ternyata tidak dapat dituntaskan pada waktunya dan pemilihan umum 1971 diadakan dengan sembilan partai politik.
            Pengelompokan dalam tiga golongan baru terjadi pada tahun 1973. Empat partai islam, yaitu NU, PMI, PSII, PTI bergabung menjadi PPP. Selain itu, lima partai yaitu PNI, Partai Kristen Indonesia, PK, Partai Murba, IPKI, bergabung menjadi PDI. Dengan demikian mulai pemilihan umum 1977 hanya tiga orsospol, yaitu PPP, PDI, dan Golkar.
            Langkah berikutnya untuk menata sistem kepartaian adalah konsep pancasila sebagai satu-satunya asas. Hal itu merupakan pelaksanaan dari gagasan yang telah dikemukakan oleh presiden soeharto. Maksudnya agar tidak terjadi lagi penyimpangan seperti masa lalu atau persaingan antara partai karena tiap partai cenderung menonjolkan dan meperjuangkan asas mereka masing-masing.
6.    Zaman Reformasi
Periode reformasi bermula ketika presiden soeharto turun dari kekuasaan 21 Mei 1998. Sejak itu hari demi hari ada tekanan atau desakan agar diadakan pembaharuan politik ke arah yang lebih demokratis. Diharapkan bahwa dalam usaha ini kita dapat memanfaatkan pengalaman kolektif selama tiga periode 1945-1998. Dalam konteks kepartaian ada tuntutan agar masyarakat mendapat kesempatan untuk mendirikan partai. Pada masa ini, ueforia politik kembali bangkit, sehingga organisasi-organisasi masyarakat kembali bermunculan, partai politik pun kembali bertambah.
  1. Jelaskan tentang pengaturan parpol di Indonesia! (undang-undang yang mengatur partai politik dari zaman orde lama sampai dengen sekarang)
a.    Masa orde lama
KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat)  menjadi pembantu presiden sebelum MPR dan DPR dapat didirikan, seperti yang disebutkan dalam Pasal IV Aturan Tambahan dan Peralihan UUD 1945 yang berbunyi:
Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang sebuah komite nasional.[4] Bersamaan dengan itu, dibentuk pula suatu partai politik sebagai alat perjuangan, yakni Partai Nasional Indonesia (PNI), di mana oleh Prsiden Soekarno diharapkan akan menjadi “motor perjuangan rakyat”.[5]
Seiring dengan usaha untuk membentuk badan-badan aparatur negara timbul juga hasrat di beberapa kalangan untuk mendobrak suasana politik otoriter dan represif yang telah berjalan selama tiga setengah tahun pendudukan jepang, ke arah kehidupan yang demokratis. Hal ini terjadi dalam beberapa tahapan.
            Pertama, atas prakarsa beberapa politisi muda, diusahakan agar kedudukan KNIP yang tadinya sebagai pembantu Presiden, menjadi suatu badan yang mempunyai wewenang legislatif. Sebelum MPR dan DPR dapat didirikan pemerintah tidak dapat bertanggung jawab kepada puhak siapa pun. Untuk itu, pada tanggal 16 oktober, dalam sidang paripurna KNIP yang diketuao Mr. Kasman Singodimedjo dan dihadiri oleh sebagian besar menteri kabiner serta Wakil Presiden Moh. Hatta, ditetapkan bahwa selama MPR dan DPR belum dapat dibentuk, KNIP diberi wewenang legislatif dan wewenang untuk turut menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (Maklumat No. X tanggal 16 Oktober 1945 yang ditandatangani Wakil Presiden Moh. Hatta).
            Kedua, badan pekerja mengusulkan agar para menteri bertanggungjawab kepada KNIP yang berubah menjadi parlemen sementara. Usul ini disetujui oleh Presiden pada tanggal 14 November 1945  (maklumat pemerintah) dan selanjutnya disetujui oleh KNIP dalam sidang plenonya tanggal 25-27 November 1945. Dengan demikian, mulai 14 November 1945 sistem pemerintahan presidensial telah berubah menjadi sistem pemerintahan parlementer. Sistem ini selanjutnya dikukuhkan dalam UUD RIS 1949, UUD sementara 1950, sehingga tetap berlaku selama empat belas tahun, yaitu sampai Juli 1959 saat Indonesia kembali ke UUD 1945.
            Ketiga, dalam rangka demokratisasi bdan pekerja mengusulkan agar dibuka kesempatan untuk mendirikan partai-partai politik, dan usul tersebut disetujui oleh pemerintah. Dalam maklumat pemerintah tanggal 3 November dikemukakan bahwa: “pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik karena dengan adanya partai-partai itulah dapat dipimpin ke jalan yang teratur segala aliran paham yang ada dalam masyarakat, diharapkan bahwa partai-partai telah tersusun sebelum dilangsungkan pemilihan umum pada bulan januari 1946.” Ditentukan juga pembatasan bahwa partai-partai politik itu hendaknya memperkuat perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan dan menjamin keamanan masyarakat. Dengan adanya partai-partai ini, lebih mudah bagi pemerintah untuk meminta pertanggung jawaban dari pimpinan organisasi-organisasi perjuangan.
            Pada masa demokrasi terpimpin dalam rangka memperkuat badan eksekutid dimulailah beberapa ikhtiar untuk menyederhanakan sistem partai dengan mengurangi jumlah partai melalui Penpres No. 7/1959. Maklumat pemerintah 3 November 1945 yang menganjurkan pembentukan partai-partai dicabut dan ditetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh partai untuk diakui pemerintah. Partai yang kemudian dinyatkan memenuhi syarat adalah PKI,PNI,NU, Partai Katolik, Partindo, Parkindo, Partai Murba, PSII Arudji, IPKI, Partai Islam Perti, sedangkan beberapa partai lain yang dinyatakan tidak memenuhi syarat. Dengan dibubarkannya Masyumi dan PSI pda tahun 1960 yang tersisa tinggal 10 partai politik saja.[6]
b.    Masa orde baru
MPRS melakukan tindakan pencabutan ketetapan No III/1963 tentang penetapan presiden soekarno sebagai presiden seumur hidup. Tindakan lain yang dilakukan oleh orde baru adalah pembubaran PKI melalui tap MPRS No. XXV/1966, sedangkan Partindo yang telah menjalin hubungan erat dengan PKI, dibekukan pada tahun yang sama.
            Pada tanggal 27 Juli 1967 pmerintah dan partai-partai mencapai suatu kompromi dimana kedua belah pihak memberi konsensi. Pemerintah mengalah dengan menyetujui sistem sistem pemilihan umum proporsional, tetapi dengan beberapa modifikasi antara lain tiap kabupaten akan dijamin sekurang-kurang satu kursi sehingga perwakilan dari daerah diluar jawa akan seimbang dengan perwakilan jawa. Selain itu, untuk menunjang sistem kepartaian Pada tanggal 16 Agustus 1982 dalam sidang paripurna DPR, presiden soeharto berpidato mengenai penyederhanaan partai politik kedalam tiga golongan (nasinal, spiritual, karya), serta menetapkan asas pancasila sebagai landasan utama dari setiap organisasi.
c.    Masa reformasi
Pemerintah yang dipimpin oleh BJ Habibie dan parlemen mengeluarkan UU No 2/1999 tentang partai politik. perubahan yang didambakan ialah mendirikan suatu sistem dimana partai-partai politik tidak mendominasi kehidupan poltik secara berlebihan, akan tetapi yang juga tidak memberi peluang kepada eksekutif untuk menjadi terlalu kuat. Sebaliknya, kekuatan eksekutif dan legislatif diharapkan menjadi setara sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945.
            Terdapat beberapa undang-undang yang mengatur partai politik di Indonesia semenjak kemerdekaan, yaitu :
a.    Maklumat X Wakil Presiden Muhammad Hatta (1945)
b.    Undang-Undang Nomor 7 Pnps Tahun 1959 tentang Syarat-Syarat dan Penyederhanaan Kepartaian
c.    Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1960 tentang Pengakuan, Pengawasan, dan Pembubaran Partai-Partai
d.    Undang-Undang Nomor 3 tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya
e.    Undang-Undang Nomor 3 tahun 1985 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya
f.     Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik
g.    Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik
h.    Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
i.      Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik

  1. Pandangan saudara terhadap dinamika parpol di Indonesia!
Dalam kaitannya dengan peran partai politik, baik rezim soekarno maupun soeharto melihat partai politik sebagai sumber kekacauan dari sistem politik yang mereka bangun. Karena itu, keinginan untuk menyederhanakan partai politik kerap muncul dalam rangka menciptakan kestabilan politik . berikut ini meriam budiardjo memberikan analisis terhadap usulan-usulan ke arah penyederhanaan partai politik dalam rangka membangun sistem multi partai yang kuat dan demokratis.
a.    Mengurangi jumlah partai-partai politik untuk mengingkatkan stabilitas politik.
b.    Terbatasnya jumlah partai akan mempermudah partai untuk mencapai mayoritas (50%+1) atau sekurang-kurangnya menyusun suatu koalisi yang relatif kuat
c.    Terbatasnya jumlah partai akan mengurangi fragmentasi dan kecenderungan sentrifugal dari partai-partai.
d.    Partai-partai kecil sebaiknya bergabung atau sekurang-kurangnya kerja sama untuk memperoleh kursi dan parlemen.
e.    Membatasi jumlah partai misalnya dengan menentukan beberaoa syarat. Sala satu syaratnya adalah bahwa partai yang memperoleh suara kurang dari persentase tertentu (misalnya 5%) tidak diberi kursi dalam DPR, sekalipun di luar DPR partai itu dapt eksis terus. Hal ini dinamakan electoral threshold.
f.     Banyak kalangan masyarakat tidak menyetuji penggabungan partai-partai menjadi tiga partai yang diadakan di zaman Orde Baru karena adanya unsur paksaan di dalamnya.
g.    Massa mengambang dalam zaman orde baru dianggap tidak fair dan perlu dihapuskan.
Seiring dengan perkembangannya, dan pengalaman politik negeri ini, Indonesia selayaknya belajar dan tidak mengulangi kesalahan dimasa lalu, meski kehidupan politik senantiasa dinamis. Maka, analisis dan penyikapan terhadap permasalahan kepartaian di masa lalu hendaknya begitu kita pahami dalam proses akselerasi pembangunan negeri ini. Umumnya dapat kita pahami stagnannya pembangunan di masa orde lama tiada lain adalah akibat dari permasalahan yang ada di partai politik, sehingga parlemen tidak dapat berjalan dengan baik. Meskipun penyikapan terkait permasalahan di orde lama dapat terselesaikan di masa orde baru, dengan kebijakan penyederhanaan partai dan penetapan asas pancasila sebagai landasan setiap organisasi. Meskipun terjadi stabilitas politik, akan tetapi hal itu menimbulkan permasalahan baru, lahirnya rezim otoriter dan maraknya praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme menimbulkan permasalahan krusial pada negeri ini, puncaknya ketika krisis 1998 sehingga menyebabkan runtuhnya rezim orde baru.
            Masa reformasi yang lahir atas pemikiran dan perjuangan terhadap kebebasan dan junjungan akan kehidupan demokratis yang ideal, menjadikan perubahan yang signifikan dalam konteks sistem politik. kebebasan dalam berserikat menjadi dasar berdirinya kelompok-kelompok kepentingan termasuk partai politik, bagaikan ueforia dari nuansa politik yang baru, banyak partai baru yang bermunculan. Akan tetapi, dalam prosesnya landasan ideologi pancasila senantiasa dijadikan landasan utama dalam menjaga stabilitas politik, khususnya mengurangi hal-hal pertikaian yang bersifat ideologis.
            Namun, seiring dengan prosesnya partai politik saat ini lebih cenderung bergerak pada hal yang bersifat pragmatis, sehingga konflik atau pertikaian yang ada lebih cenderung berorientasi pada hal yang bersifat kekuasaan dan kepentingan golongan. Berbeda halnya dalam konteks sebelumnya yang lebih memprioritaskan permasalahan ideologis dalam proses politiknya. Hal ini mengindikasikan perubahan orientasi politik dari lembaga politik yang ada.



[1] Visman Report, Jilid I (Batavia: Landsdrukkerij, 1941), hlm. 82 dan 89
[2] Bibit Suprapto, Perkembangan Kabinet dan Pemerintahan di Indonesia (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), hl,. 13-102
[3] R.Wiyono, Organisasi Kekuatan Sosial Politik di Indonesia (Bandung: Penerbit Alumni, 1982), hlm. 33.
[4] Ensiklopedi Nasional Indonesia, hlm. 62
[5] Pidato Presiden Soekarno yang dimuat DI Merdeka, 25 Agustus 1945, dalam John D. Legge, Soekarno: Sebuah Biografi Politik (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1985),hlm. 244.
[6] R.Wiyono, Organisasi Kekuatan Sosial Politik di Indonesia (Bandung: Penerbit Alumni, 1982), hlm. 29-30.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Lowell Barrington, Comparative Politics Structures and Choices (Australia: Wadsworth, 2013), 227-257. & Peter Calvert, Comparative Politics: An Introduction (Harlow: Pearson, 2002), 297-320.

Bagaimanakah menghubungkan elite dan massa dalam proses politik? Literatur kali ini membahas dan mengeksplorasi konsep-konsep mengenai el...