Rabu, 15 Maret 2017

Plato dan Aristoteles tentang Negara

Plato dan aristoteles merupakan dua tokoh fundamental dalam pemikiran politik di zaman klasik, pemikiran meraka sangatlah berpengaruh dalam perkembangan kajian politik dari masa ke masa.
Plato dan aristoteles memiliki pemikiran dan konsep yang berbeda dalam mengasumsikan negara. Plato memiliki konsep negara ideal yang berasaskan pada kebajikan. Plato mengasumsikan kebajikan lahir dari pengetahuan, sehingga dalam konsep kenegaraan Plato sangat mengutamakan pendidikan dalam membangun negara dan tentunya dengan membangun lembaga pendidikan. Dengan asas kebajikan ini lah, Plato menggambarkan penguasa yang ideal. Menurut Plato penguasa atau negarawan haruslah seorang yang paling berpengetahuan, karena dengan begitu seorang penguasa bisa mengetahui hal apa yang seharusnya dilakukan dan tentunya mengetahui pula yang seharusnya tidak dilakukan. Terlebih dalam merespon dan memberikan solusi permasalah-permasalahan yang terjadi dalam dinamika kemasyarakatan.
Selain itu, Plato menyatakan hubungan timbal balik dan pembagian kerja sebagai prinsip negara. Konsep tersebut menyatakan manusia sebagai makhluk hidup yang saling membutuhkan dan tak bisa hidup sendiri. Oleh karena itu, demi menjaga stabilitas sosial dan menjalankan fungsi kontrol negara terhadap keberlangsungan kehidupan masyarakat, maka Plato memiliki prinsip melarang kepemilikan pribadi(nihilisme sosial), baik dalam bentuk uang, harta, keluarga, anak dan istri. Karena efek dari kepemilikan itu akan menciptakan kesenjangan dan kecemburuan sosial. Tentunya, tiada lain tujuan Plato memiliki prinsip tersebut adalah untuk menghindari disintegrasi dalam negara. Plato sangat kontra dengan hal-hal yang bersifat individualisme, sehingga jelas ia memiliki faham kolektivisme atau komunisme.
Dalam gagasannya, Plato menggambarkan segala komponen negara adalah milik bersama dan tanggungjawab bersama. Sehingga Plato dengan jelas menolak adanya lembaga keluarga ataupun usaha kepentingan selain kepentingan negara. Bahkan dalam konsepnya seorang anak yang baru lahirpun tidak diperbolehkan mengetahui ayah dan ibunya, dan setiap orang tidak boleh mengakui seorang wanita sebagai isterinya atau seorang lelaki sebagai suaminya. Dalam konsep ini plato menggambarkan wanita dan pria memiliki potensi yang sama dalam memainkan suatu peran dalam kehidupan.
Berbeda halnya dengan Plato, Aristoteles yang merupakan muridnya memiliki konsep negara ideal yang diasumsikan sebagai lembaga pelaksana cita-cita bersama. Sehingga Aristoteles menyatakan indikator fundamental negara yang baik dan buruk dapat dilihat dari pencapaian tujuan atau cita-cita bersama. Jika terwujudkan cita-cita tersebut, maka negara tersebut dikategorikan negara yang baik, dan begitu pun sebaliknya.
Dalam segi pemikiran dan pemecahan masalah realita sosial, Plato dan Aristoteles memiliki perbedaan yang signifikan. Plato menggunakan metode deduktif, yaitu perumusan yang didasari oleh kekuatan imajinatif pikiran. Sedangkan Aristoteles menggunakan metode induktif yang didasari oleh fakta-fakta dan tentunya bersifat empiris. Sehingga dengan demikian Plato dapat dikatakan pemikir politik idealis-utopanis dan Aristoteles pemikir politik empiris-realis.
Aristoteles memiliki beberapa pemahaman mengenai negara, bermula dari asal muasal negara, Aristoteles menggambarkan watak politik manusia yang tidak dapat dipisahkan dari negara. Karena pada hakikatnya setiap manusia adalah makhluk yang berpolitik, sehingga dibutuhkan wadah untuk mengaktualisasikan watak tersebut. Selain itu, komponen penting dalam berdirinya suatu negara adalah desa-desa dan tentunya terdapat keluarga-keluarga di dalamnya. Bertentangan dengan plato yang tidak mengizinkan lembaga keluarga terbentuk.

Sama halnya dengan Plato, Arstoteles juga menggambarkan hubungan timbal bailk dalam prinsip terbentuknya negara. Karena pada prinsipnya negara terbetuk karena adanya manusia yang saling membutuhkan. Aristoteles menggambarkan ukuran negara ideal yang tidak terlalu luas dan tentunya tidak terlalu kecil. Karena negara yang memiliki teritorial kecil akan mengalami kesulitan dalam mempertahankannya dari serangan musuh, sedangkan negara yang terlalu luas akan sulit untuk menjaganya, bahkan lebih berpotensi terjadinya disintegrasi. Tujuan negara dibentuk untuk mensejahterakan seluruh warga negara, bukan individu-individu tertentu. Oleh karena itu, teritorial negara harus dioptimalkan untuk kepentingan warga negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Lowell Barrington, Comparative Politics Structures and Choices (Australia: Wadsworth, 2013), 227-257. & Peter Calvert, Comparative Politics: An Introduction (Harlow: Pearson, 2002), 297-320.

Bagaimanakah menghubungkan elite dan massa dalam proses politik? Literatur kali ini membahas dan mengeksplorasi konsep-konsep mengenai el...