Plato dan aristoteles merupakan dua tokoh fundamental dalam
pemikiran politik di zaman klasik, pemikiran meraka sangatlah berpengaruh dalam
perkembangan kajian politik dari masa ke masa.
Plato dan aristoteles memiliki
pemikiran dan konsep yang berbeda dalam mengasumsikan negara. Plato memiliki
konsep negara ideal yang berasaskan pada kebajikan. Plato mengasumsikan
kebajikan lahir dari pengetahuan, sehingga dalam konsep kenegaraan Plato sangat
mengutamakan pendidikan dalam membangun negara dan tentunya dengan membangun
lembaga pendidikan. Dengan asas kebajikan ini lah, Plato menggambarkan penguasa
yang ideal. Menurut Plato penguasa atau negarawan haruslah seorang yang paling
berpengetahuan, karena dengan begitu seorang penguasa bisa mengetahui hal apa
yang seharusnya dilakukan dan tentunya mengetahui pula yang seharusnya tidak
dilakukan. Terlebih dalam merespon dan memberikan solusi
permasalah-permasalahan yang terjadi dalam dinamika kemasyarakatan.
Selain itu, Plato menyatakan
hubungan timbal balik dan pembagian kerja sebagai prinsip negara. Konsep
tersebut menyatakan manusia sebagai makhluk hidup yang saling membutuhkan dan
tak bisa hidup sendiri. Oleh karena itu, demi menjaga stabilitas sosial dan
menjalankan fungsi kontrol negara terhadap keberlangsungan kehidupan
masyarakat, maka Plato memiliki prinsip melarang kepemilikan pribadi(nihilisme
sosial), baik dalam bentuk uang, harta, keluarga, anak dan istri. Karena efek
dari kepemilikan itu akan menciptakan kesenjangan dan kecemburuan sosial.
Tentunya, tiada lain tujuan Plato memiliki prinsip tersebut adalah untuk
menghindari disintegrasi dalam negara. Plato sangat kontra dengan hal-hal yang
bersifat individualisme, sehingga jelas ia memiliki faham kolektivisme atau
komunisme.
Dalam gagasannya, Plato
menggambarkan segala komponen negara adalah milik bersama dan tanggungjawab
bersama. Sehingga Plato dengan jelas menolak adanya lembaga keluarga ataupun
usaha kepentingan selain kepentingan negara. Bahkan dalam konsepnya seorang
anak yang baru lahirpun tidak diperbolehkan mengetahui ayah dan ibunya, dan
setiap orang tidak boleh mengakui seorang wanita sebagai isterinya atau seorang
lelaki sebagai suaminya. Dalam konsep ini plato menggambarkan wanita dan pria
memiliki potensi yang sama dalam memainkan suatu peran dalam kehidupan.
Berbeda halnya dengan Plato,
Aristoteles yang merupakan muridnya memiliki konsep negara ideal yang
diasumsikan sebagai lembaga pelaksana cita-cita bersama. Sehingga Aristoteles
menyatakan indikator fundamental negara yang baik dan buruk dapat dilihat dari
pencapaian tujuan atau cita-cita bersama. Jika terwujudkan cita-cita tersebut,
maka negara tersebut dikategorikan negara yang baik, dan begitu pun sebaliknya.
Dalam segi pemikiran dan pemecahan
masalah realita sosial, Plato dan Aristoteles memiliki perbedaan yang
signifikan. Plato menggunakan metode deduktif, yaitu perumusan yang didasari
oleh kekuatan imajinatif pikiran. Sedangkan Aristoteles menggunakan metode
induktif yang didasari oleh fakta-fakta dan tentunya bersifat empiris. Sehingga
dengan demikian Plato dapat dikatakan pemikir politik idealis-utopanis dan
Aristoteles pemikir politik empiris-realis.
Aristoteles memiliki beberapa
pemahaman mengenai negara, bermula dari asal muasal negara, Aristoteles
menggambarkan watak politik manusia yang tidak dapat dipisahkan dari negara.
Karena pada hakikatnya setiap manusia adalah makhluk yang berpolitik, sehingga
dibutuhkan wadah untuk mengaktualisasikan watak tersebut. Selain itu, komponen
penting dalam berdirinya suatu negara adalah desa-desa dan tentunya terdapat
keluarga-keluarga di dalamnya. Bertentangan dengan plato yang tidak mengizinkan
lembaga keluarga terbentuk.
Sama halnya dengan Plato, Arstoteles
juga menggambarkan hubungan timbal bailk dalam prinsip terbentuknya negara.
Karena pada prinsipnya negara terbetuk karena adanya manusia yang saling
membutuhkan. Aristoteles menggambarkan ukuran negara ideal yang tidak terlalu
luas dan tentunya tidak terlalu kecil. Karena negara yang memiliki teritorial
kecil akan mengalami kesulitan dalam mempertahankannya dari serangan musuh,
sedangkan negara yang terlalu luas akan sulit untuk menjaganya, bahkan lebih
berpotensi terjadinya disintegrasi. Tujuan negara dibentuk untuk mensejahterakan
seluruh warga negara, bukan individu-individu tertentu. Oleh karena itu,
teritorial negara harus dioptimalkan untuk kepentingan warga negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar