Rabu, 15 Maret 2017

Empat Tokoh Pemikir Teologis

Ibnu Taimiyah
Ahmad Ibnu Taimiyah seorang asal Suriah yang berkontribusi besar dalam pemikiran politik Islam. Kehidupannya yang tertekan oleh militer menjadikannya menghasilkan suatu pemikiran brilian mengenai pemerintahan syariat.
Misi Ibnu Taimiyah adalah menyebarkan makna syariat yang benar. Ibnu Taimiyah menghabiskan waktunya sebagai kritikus agama di wilayah Mamluk, Mesir, dan Suriah. Ia menyerang segala sesuatu yang bersifat bidah dan mengkritik  para ulama sunni yang lemah. Ia senantiasa bersikap keras pada persoalan syariat, namun Ia mendukung penalaran melalui metode ijtihad sebagai salah satu metode konsensus dalam perumusan hukum umat Islam. Selain itu, Ia adalah pendukung jalan tengah atau rekonsiliasi antara nalar (metode teologi), riwayat (metode ahli hadist), dan kehendak bebas (metode para sufi).
Ibnu Taimiyah membuat suatu karya di bidang politik yaitu al-kitab al-siyasah al-syar’iyyah. politiknya diilhami oleh visi dan misinya dibidang syariat. Menurutnya, aplikasi syariat Islam dalam pemerintahan menjadi acuan yang harus diperjuangkan bersama. Dengan ini jelas tergambarkan bahwa tujuannya adalah membangun pemerintahan yang berdasarkan syariat Islam. Ia menjelaskan bahwa dalam proses ini, agama memerlukan negara sebagai suatu kesatuan yang sinergis membangun tujuan bersama. Karena tentunya dalam agama dan negara terdapat permasalahan dan pembahasan mengenai politik, hukum, ekonomi, hak individu, dll. Sehingga dengan pola seperti ini konsep pemerintahan berdasarkan syariat Islam akan terlaksana, sebab para pemegang otoritas atau kekuasaan memiliki tujuan pokok dalam memimpin negara, yaitu mendekatkan diri kepada Tuhan. Dengan terimplementasikannya konsep tersebut, maka kesejahteraan masyarakat terlebih dalam bidang materi dan spiritual dapat terpenuhi dengan baik, karena sinkronisasi pemerintahan berdasarkan syariat.
Ibnu Khaldun
Abdurrahman Ibnu Khaldun lahir di Tunisia pada tahun 1322, dalam hidupnya yang penuh gejolak menjadikannya pribadi yang terus belajar, sehingga tergolong dalam intelektual muslim terkemuka. Awalanya ia bekerja pada pemerintah Maroko dan Granada dalam sebuah tugas misi perdamaian. Ia memiliki bakat bernegosiasi dan beraliansi, pada titik inilah Ibnu Khaldun terpanggil untuk mereformasi masyarakat melalui kekuatan sendiri atau mendorong raja untuk menjadi pemimpin yang bijak. Di usianya yang ke 36 ia berhenti dari urusan pemerintahan dan kembali belajar dan mengajar. Pada masa pembelajarannya inilah, ia membuat buku tentang sejarah dunia (kitab al-‘ibar) yang terus menerus ia perbaiki sepanjang hidupnya. Karena dampak perselisihan politik, maka ia berpindah ke kairo dan menjadi ahli hukum islam yang dihormati.
Pemikirannya dalam memaknai pengetahuan adalah dengan mengembangkan sebuah cara baru menaksir nilai sumber-sumber historis dengan mengaplikasikan metode filsafat dan studi sejarah, dengan ini tergambarkan bahwa ia adalah seorang realis-empiris seperti halnya Aristoteles. Dalam studinya yang berupaya mencatat sejaraha dunia, ia menemukan kendala yaitu ketika verifikasi kesalahan dan kebenaran dalam sejarah masa silam, sehingga ia menggunakan metode analitis-empiris agar meminimalisir kesalahan yang terjadi dalam penulisannya karena dengan menggunakan metode tersebut akan memuat informasi sedetail mungkin.
Ibnu Khaldun menganalisis kemunduran raja-dinasti dengan bentuk otoritas moral dan amoral. Dengan otoritas kenabian dan kekhalifahan yang jelas menggunakan moral dalam otoritasnya, serta implementasi pemerintahan dan agama secara beriringan menjadikan masa tersebut masa gemilang. Dengan demikian ia mengklasifikasikan tiga bentuk pemerintahan, yaitu kedaulatan alami (siyasah thabi’iyyah), negara berdasarkan nalar(siyasah aqliyah), negara ideal (madinah fadhilah).
Santo Augustinus
Santo Augustinus lahir di Tagaste, Numidia Afrika Selatan tahun 354 M. Ia pergi ke Roma dan Milan serta meninggalkan minikisme setelah mengalami pergulatan batin dan krisis spiritual serta moralitas. Setelah sempat mengalami keresahan jiwa, akhirnya ia menemukan kebenaran yang hakiki dari ajaran-ajaran pemikiran Plato dan Aristoteles. Setelah itu, terjadi dorongan aneh yang menjadikannya masuk katolik, terdengar suara “ambil dan bacalah” kata-kata itu terdengar berulang-ulang. Kemudian ia mengambil alkitab dan dibacanya surat-surat Rasul Paulus. Augustinus kemudian menjadi pelayan tuhan dan diangkat menjadi bishop di hippo.
The City of God yang merefleksikan negara dan kekuasaan merupakan sebuah produk interaksi-dialektis antara dirinya dengan realitas sosio-politik yang mengitarinya, dalam buku ini membahas jawaban terhadap pertanyaan kehancuran Roma.  Selain itu Augustinus juga memiliki pandangan terhadap asal muasal masyarakat politik, hubungan pemerintahan sipil dan hukum tuhan, hukum alam dan keadilan dalam tulisannya De Civitate Dei.
Augustinus menganalogikan  negara itu ibarat tubuh dan jiwa. Tubuh itu bersifat fana, seiring waktu ia akan hancur baik itu karena proses alamiah atau hal insidental lainnya. Maka begitulah sifat negara duniawi yang hanya mementingkan persoalan nafsu belaka. Sedangkan jiwa bersifat kekal, tidak akan pernah mati atau hancur, dan inilah konsep negara tuhan yang didasari oleh spiritualitas dan ketaatan kepada Tuhan demi memperoleh cinta kasih tuhan dan kebaikan bersama.
Thomas Aquinas
Thomas Aquinas dilahirkan di Naples dalam keluarga aristokrasi Italia, sejak kecil ia dididik keagamaan yang ketat. Di masanya Thomas mempelajari Aristotelianisme, antara lain melalui ajaran Ibun Rusyd. Thomas dijuluki sebagi raja skolastik Eropa Kristen karena telah meletakkan dasar-dasar intelektual dan teologis yang kokoh bagi perkembangan pemikiran politik Kristiani Eropa Abad Tengah.
Dalam realita sosial yang dihadapinya Thomas melahirkan berbagai pemikiran tentang hukum, negara dan kekuasaan politik. pemahamannya akan hukum didasari dua definisi, yaitu hukum alam dan hukum abadi. Hukum alam merupakan rasionalitas manusia sebagai makhluk yang berakal dan rasional, sedangkan hukum abadi adalah kebijaksanaan dan akal budi Tuhan. Selanjutnya Thomas mendefinisikan kekuasaan yang sebenarnya adalah kekuasaan yang berasala dari Tuhan, haruslah dipergunakan demi kebaikan bersama dan tidak dibenarkan untuk kepentingan pribadi.
Keterkaitan Pemikirannya
Keempat tokoh pemikir teologis ini adalah orang-orang yang berpengaruh besar dalam sistem pemerintahan dimasanya bahkan hingga kini menjadi bahan kajian dan relevansi solusi terhadap permasalahan aktual.

Konsep ketuhanan sebagai landasan awal dalam membangun sebuah kekuatan politik yang berorientasi pada dua hal, yaitu hal yang bekaitan dengan permasalahan dunia, dan hal yang berkaitan dengan permasalahan akhirat. Permasalahan keduniawian, seperti halnya ekomi, politik, hak asasi, hukum disinkronkan dengan konstitusi utama yaitu ajaran ketuhanan yang akan membawa manusia pada kebahagiaan dan kesejahteraan umum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Lowell Barrington, Comparative Politics Structures and Choices (Australia: Wadsworth, 2013), 227-257. & Peter Calvert, Comparative Politics: An Introduction (Harlow: Pearson, 2002), 297-320.

Bagaimanakah menghubungkan elite dan massa dalam proses politik? Literatur kali ini membahas dan mengeksplorasi konsep-konsep mengenai el...