Sabtu, 18 Maret 2017

An introduction to Political Communication, Fifth Edition, Part 1, Chapter 2 "Politic, Democracy and the Media"

Pada bab ini dibahas mengenai tipe ideal dari  masyarakat dan pemerintahan yang mendalilkan teori demokrasi liberal. Selain itu juga mendiskusikan bagaimana kontribusi media yang begitu berpengaruh secara halus  pada masyarakat. Sehingga terdapat pembahasan mengenai kritik terhadap peran media dalam era demokrasi modern.
TEORI DEMOKRASI LIBERAL
Prinsip dari demokrasi liberal yang kita pahami hari ini tumbuh pada permulaan era modern Eropa, dimulai pada abad keenam belas dan mencapai puncak pada Revolusi Francis tahun 1789, dengan slogan ‘Kebebasan, Kesetaraan, dan Persaudaraan’. Munculnya kelas kapitalis sebagai kekuatan yang dominan di Eropa dan Amerika memerlukan penggulingan sistem otokrasi dan tindakan monopoli terhadap kekuasaan politik. Bagi kaum kapitalis, menolak prinsip ordinasi yang bersifat ketuhanan, perluasan hak kewarganegaraan menjadi taraf kebutuhan dalam legitimasi kekuasaan politik itu sendiri, sebagai kelas dominan dalam tipe formasi sosial yang baru. Hak warganegara untuk memilih mengisyaratkan  adanya alternatif dari proses seleksi yang berarti bisa dibuat, dan sikap rasional, pengetahuan dapat menjadikan pemilih mampu memperjuangkan haknya. Kita dapat mengidentifikasi karakter dari rezim demokrasi dengan memahami beberapa konsep : konstitusionalitas, partisipasi dan pilihan rasional.
Konstitusionalitas
Pertama, mereka harus menyetujui kumpulan prosedur dan aturan pemerintahan. Bahwa peraturan akan berpedoman pada suatu konstitusi.
Partisipasi
Kedua, partisipasi dalam proses demokrasi harus berhubungan dengan hal yang bersifat ‘substansial’ dalam proporsi masyarakat. Seperti halnya, hak untuk memilih bagi setiap masyarakat. Tanpa ada satu golongan pun yang di diskriminasi.
Pilihan Rasional
Ketiga, kondisi demokrasi sudah jelas, terdapat pilihan bagi para pemilih, untuk memilih sesuai dengan pilihan rasional mereka. Hal ini dapat terealisasi dengan baik jika masyarakat sudah berpengetahuan dan terdidik.
OPINI PUBLIK DAN RUANG PUBLIK
Pentingnya sebuah informasi, menjadikan pemilih yang berpengetahuan pasti menyatakan bahwa politik yang demokratis harus terlihat di arena publik (berbeda halnya dengan rezim otokrasi yang selalu merahasiakan). Sehingga, dalam arti kebijakan demokrasi pada umumnya, menekankan kepentingan individu, akan tetapi, proses politik tetap menuntut bahwa individu bertindak secara kolektif dalam membuat keputusan tentang siapa yang akan memerintah mereka. Pendapat politik dari setiap individu akan menjadi opini publik jika masyarakat kebanyakan memiliki satu pandangan umum yang sama, hal ini dapat tercermin dalam pola suara dan menjadi masukan penting bagi para pemimpin politik yang ada. Opini publik, dalam hal ini, terbentuk apa yang sosiolog Jerman Jürgen Habermas telah sebutkan sebagai 'ruang publik'.
Habermas menempatkan pengembangan ruang publik di abad kedelapan belas Inggris, di mana surat kabar pertama sudah mulai melakukan fungsi modern mereka untuk penyedia ruang informasi, pendapat, komentar dan kritik, yang memfasilitasi perdebatan antara kaum borjuis dan kelas terdidik. Gripsund berpendapat bahwa ruang publik muncul sebagai seperangkat institusi semacam “buffer zone” yang mewakili anatara negara dan ruang privat, untuk melindungi mereka dari keputusan yang sewenang-wenang yang tentunya dapat mengganggu hal-hal yang bersifat privasi karena keputusan yang kurang rasional. Selain itu, Josef Ernst berpendapat bahwa ruang publik sebagai ruang diskursif yang khas, dimana individu digabungkan, sehingga dapat berperan sebagai kekuatan politik yang kuat. Konsep ini dikembangkan sebagai sarana bagi warga negara untuk memberikan sudut pandang politik mereka, sehingga akan menimbulkan ruang diskusi publik, karena ini lah yang menjadi salah satu fungsi jurnalisme kontemporer.
MEDIA DAN PROSES DEMOKRATIS
Terdapat lima fungsi media komunikasi dalam tipe ideal masyarakat demokratis :
Pertama, media harus menginformasikan tentang apa yang terjadi disekitar masyarakat.
Kedua, media harus memberikan dedikasi kepada masyarakat mengenai pemaknaan ‘fakta’ (pentingnya fungsi ini  merupakan keseriusan wartawan dalam melindungi objektivitas mereka).
Ketiga, media harus menyediakan platform untuk wacana politik publik, memfasilitasi ‘opini publik’.
Fungsi keempat, mempublikasikan kinerja pemerintah dan peristiwa politik, sebagai ‘pengawas’ dalam peran jurnalisme.
Terakhir, berfungsi sebagai saluran advokasi pandangan politik masyarakat.
            Oleh karena itu, fungsi-fungsi ini harus dilakukan dengan sebaik mungkin, agar ‘ruang publik’ yang sebenernya bisa terus ada, selain itu, masyarakat perlu memahami wacana politik yang diedarkan  oleh media. Singkatnya, demokrasi mengandalkan keadaan transparan, yaitu ketika orang-orang diperbolehkan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, melalui akses media dan jaringan informasi lainnya.
DEMOKRASI DAN MEDIA : SEBUAH KRITIK
Sejak abad ke delapan belas, fungsi-fungsi media telah memberikan kelancaran proses politik yang demokratis. Terutama ketika tahun 1950-an, ketika adanya televisi yang terus menyebar hampir ke setiap rumah tangga, sehingga hal ini menjadi bagian integral dari kondisi dimana kehidupan politik berlangsung. Semakin cepatnya informasi, dan semakin banyaknya masyarakat yang bisa mengakses, menuai beberapa kritik tersendiri.
Kegagalan Pendidikan
Melihat fenomena rendahnya jumlah pemilih, dapat dikatakan bahwa sikap apatis dalam politik adalah sepenuhnya rasional, hal ini disebabkan respon yang tidak baik terhadap proses politik yang ada. Hal ini menuai beberapa asumsi, yaitu ketika pemilih yang tidak menggunakan hak suaranya adalah pemilih yang berpengetahuan, atau pemilih yang tidak mengerti akan substasi dari pemilihan itu sendiri. Karenanya peran media sangat penting, mungkin karena pencitraan politik yang dipublikasikan media selalu buruk, sehingga menimbulkan sikap apatis bagi masyarakat.
Tidak Adanya Pilihan
Pembatasan dalam demokrasi sering dikatakan karena  tidak tepatya pilihan yang sebenarnya karena kondisi yang plural. Seperti halnya dalam keadaan pemilihan, pemilih bisa saja merasa bahwa suara untuk satu partai atau lain, akan memiliki atau tidak berdampak sama sekali dalam kondisi dan kualitasi hidup seseorang. Selain itu, prosedur demokratis biasanya mengandung hal yang bersifat anomali dan bias, sehingga menjadikannya kurang demokratis.
Pembuatan Persetujuan
Meskipun legitimasi pemerintahan dalam demokrasi liberal ada pada persetujuan rakyat, akan tetapi semua ini jelas dimulai oleh para politisi. Sehingga, perlu kita ketahui perbedaan ‘persuasi’ yang diakui merupakan fungsi aktor politik dalam demokrasi secara universal, dan ‘monopoli’ yang disertai dengan konotasi negatif karena propagandan dan kebehongan.
 Ada istilah penyembunyian informasi demi keamanan nasional menurut politisi, hal ini dikarenakan menghindarkan diri dari rasa malu karena kesalahan yang mereka buat. Manipulasi dan penyembunyian informasi adalah strategi yang dibuat oleh aktor politik dan dilakukan melalui institusi media. Karenanya, media sangat rentan terhadap strategi manipulasi politik. Pada tahun 1962 Daniel Boorstin membuat istilah ‘pseudo-event’ dalam menanggapi kecenderungan berita dan media jurnalistik yang menutupi kenyataan yang sebenarnya, atau tidak autentik. Dalam masyarakat demokratis, kebebasan berbicara, pers dan penyiaran termasuk kebebasan untuk membuat ‘pseudo-event’. Para politisi, wartawan dan media berkompetisi dalam membuat hal ini.
Keterbatasan Objektivitas
Kritik lebih lanjut terhadap peran media informasi yang berfokus pada etika profesionalitas dalam jurnalistik, yaitu objektivitas. Etika ini dikembangkan di akhir abad sembilan belas, dan banyak menimbulkan polemik. Alasannya karena reportasi politik adalah bias dan cacat-

subjektif, tidak terdapat standar objeytif dalam hal ini, yang ada hanya suatu konvensi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Lowell Barrington, Comparative Politics Structures and Choices (Australia: Wadsworth, 2013), 227-257. & Peter Calvert, Comparative Politics: An Introduction (Harlow: Pearson, 2002), 297-320.

Bagaimanakah menghubungkan elite dan massa dalam proses politik? Literatur kali ini membahas dan mengeksplorasi konsep-konsep mengenai el...