Pada bab ini dibahas mengenai tipe ideal dari masyarakat dan pemerintahan yang mendalilkan
teori demokrasi liberal. Selain itu juga mendiskusikan bagaimana kontribusi
media yang begitu berpengaruh secara halus
pada masyarakat. Sehingga terdapat pembahasan mengenai kritik terhadap
peran media dalam era demokrasi modern.
TEORI DEMOKRASI
LIBERAL
Prinsip dari demokrasi liberal yang kita pahami hari
ini tumbuh pada permulaan era modern Eropa, dimulai pada abad keenam belas dan
mencapai puncak pada Revolusi Francis tahun 1789, dengan slogan ‘Kebebasan,
Kesetaraan, dan Persaudaraan’. Munculnya kelas kapitalis sebagai kekuatan yang
dominan di Eropa dan Amerika memerlukan penggulingan sistem otokrasi dan
tindakan monopoli terhadap kekuasaan politik. Bagi kaum kapitalis, menolak
prinsip ordinasi yang bersifat ketuhanan, perluasan hak kewarganegaraan menjadi
taraf kebutuhan dalam legitimasi kekuasaan politik itu sendiri, sebagai kelas
dominan dalam tipe formasi sosial yang baru. Hak warganegara untuk memilih
mengisyaratkan adanya alternatif dari
proses seleksi yang berarti bisa dibuat, dan sikap rasional, pengetahuan dapat
menjadikan pemilih mampu memperjuangkan haknya. Kita dapat mengidentifikasi
karakter dari rezim demokrasi dengan memahami beberapa konsep :
konstitusionalitas, partisipasi dan pilihan rasional.
Konstitusionalitas
Pertama, mereka harus menyetujui kumpulan prosedur dan
aturan pemerintahan. Bahwa peraturan akan berpedoman pada suatu konstitusi.
Partisipasi
Kedua, partisipasi dalam proses demokrasi harus
berhubungan dengan hal yang bersifat ‘substansial’ dalam proporsi masyarakat.
Seperti halnya, hak untuk memilih bagi setiap masyarakat. Tanpa ada satu
golongan pun yang di diskriminasi.
Pilihan Rasional
Ketiga, kondisi demokrasi sudah jelas, terdapat
pilihan bagi para pemilih, untuk memilih sesuai dengan pilihan rasional mereka.
Hal ini dapat terealisasi dengan baik jika masyarakat sudah berpengetahuan dan
terdidik.
OPINI PUBLIK DAN RUANG
PUBLIK
Pentingnya sebuah informasi, menjadikan pemilih yang berpengetahuan
pasti menyatakan bahwa politik yang demokratis harus terlihat di arena publik (berbeda
halnya dengan rezim otokrasi yang selalu merahasiakan). Sehingga, dalam arti
kebijakan demokrasi pada umumnya, menekankan kepentingan individu, akan tetapi,
proses politik tetap menuntut bahwa individu bertindak secara kolektif dalam
membuat keputusan tentang siapa yang akan memerintah mereka. Pendapat politik dari
setiap individu akan menjadi opini publik jika masyarakat kebanyakan memiliki
satu pandangan umum yang sama, hal ini dapat tercermin dalam pola suara dan menjadi
masukan penting bagi para pemimpin politik yang ada. Opini publik, dalam hal
ini, terbentuk apa yang sosiolog Jerman Jürgen Habermas telah sebutkan sebagai
'ruang publik'.
Habermas menempatkan
pengembangan ruang publik di abad kedelapan belas Inggris, di mana surat kabar
pertama sudah mulai melakukan fungsi modern mereka untuk penyedia ruang informasi,
pendapat, komentar dan kritik, yang memfasilitasi perdebatan antara kaum
borjuis dan kelas terdidik. Gripsund berpendapat bahwa ruang publik muncul
sebagai seperangkat institusi semacam “buffer zone” yang mewakili anatara
negara dan ruang privat, untuk melindungi mereka dari keputusan yang
sewenang-wenang yang tentunya dapat mengganggu hal-hal yang bersifat privasi
karena keputusan yang kurang rasional. Selain itu, Josef Ernst berpendapat
bahwa ruang publik sebagai ruang diskursif yang khas, dimana individu
digabungkan, sehingga dapat berperan sebagai kekuatan politik yang kuat. Konsep
ini dikembangkan sebagai sarana bagi warga negara untuk memberikan sudut
pandang politik mereka, sehingga akan menimbulkan ruang diskusi publik, karena
ini lah yang menjadi salah satu fungsi jurnalisme kontemporer.
MEDIA DAN PROSES
DEMOKRATIS
Terdapat lima fungsi media komunikasi dalam tipe ideal
masyarakat demokratis :
Pertama, media harus menginformasikan tentang apa yang
terjadi disekitar masyarakat.
Kedua, media harus memberikan dedikasi kepada
masyarakat mengenai pemaknaan ‘fakta’ (pentingnya fungsi ini merupakan keseriusan wartawan dalam
melindungi objektivitas mereka).
Ketiga, media harus menyediakan platform untuk wacana
politik publik, memfasilitasi ‘opini publik’.
Fungsi keempat, mempublikasikan kinerja pemerintah dan
peristiwa politik, sebagai ‘pengawas’ dalam peran jurnalisme.
Terakhir, berfungsi sebagai saluran advokasi pandangan
politik masyarakat.
Oleh
karena itu, fungsi-fungsi ini harus dilakukan dengan sebaik mungkin, agar
‘ruang publik’ yang sebenernya bisa terus ada, selain itu, masyarakat perlu
memahami wacana politik yang diedarkan
oleh media. Singkatnya, demokrasi mengandalkan keadaan transparan, yaitu
ketika orang-orang diperbolehkan untuk berpartisipasi dalam pengambilan
keputusan, melalui akses media dan jaringan informasi lainnya.
DEMOKRASI DAN
MEDIA : SEBUAH KRITIK
Sejak abad ke delapan belas, fungsi-fungsi media telah
memberikan kelancaran proses politik yang demokratis. Terutama ketika tahun
1950-an, ketika adanya televisi yang terus menyebar hampir ke setiap rumah
tangga, sehingga hal ini menjadi bagian integral dari kondisi dimana kehidupan
politik berlangsung. Semakin cepatnya informasi, dan semakin banyaknya
masyarakat yang bisa mengakses, menuai beberapa kritik tersendiri.
Kegagalan Pendidikan
Melihat fenomena rendahnya jumlah pemilih, dapat
dikatakan bahwa sikap apatis dalam politik adalah sepenuhnya rasional, hal ini
disebabkan respon yang tidak baik terhadap proses politik yang ada. Hal ini
menuai beberapa asumsi, yaitu ketika pemilih yang tidak menggunakan hak
suaranya adalah pemilih yang berpengetahuan, atau pemilih yang tidak mengerti
akan substasi dari pemilihan itu sendiri. Karenanya peran media sangat penting,
mungkin karena pencitraan politik yang dipublikasikan media selalu buruk,
sehingga menimbulkan sikap apatis bagi masyarakat.
Tidak Adanya Pilihan
Pembatasan dalam demokrasi sering dikatakan
karena tidak tepatya pilihan yang
sebenarnya karena kondisi yang plural. Seperti halnya dalam keadaan pemilihan,
pemilih bisa saja merasa bahwa suara untuk satu partai atau lain, akan memiliki
atau tidak berdampak sama sekali dalam kondisi dan kualitasi hidup seseorang.
Selain itu, prosedur demokratis biasanya mengandung hal yang bersifat anomali
dan bias, sehingga menjadikannya kurang demokratis.
Pembuatan Persetujuan
Meskipun legitimasi pemerintahan dalam demokrasi
liberal ada pada persetujuan rakyat, akan tetapi semua ini jelas dimulai oleh
para politisi. Sehingga, perlu kita ketahui perbedaan ‘persuasi’ yang diakui
merupakan fungsi aktor politik dalam demokrasi secara universal, dan ‘monopoli’
yang disertai dengan konotasi negatif karena propagandan dan kebehongan.
Ada istilah penyembunyian informasi demi
keamanan nasional menurut politisi, hal ini dikarenakan menghindarkan diri dari
rasa malu karena kesalahan yang mereka buat. Manipulasi dan penyembunyian
informasi adalah strategi yang dibuat oleh aktor politik dan dilakukan melalui
institusi media. Karenanya, media sangat rentan terhadap strategi manipulasi
politik. Pada tahun 1962 Daniel Boorstin membuat istilah ‘pseudo-event’ dalam
menanggapi kecenderungan berita dan media jurnalistik yang menutupi kenyataan
yang sebenarnya, atau tidak autentik. Dalam masyarakat demokratis, kebebasan
berbicara, pers dan penyiaran termasuk kebebasan untuk membuat ‘pseudo-event’.
Para politisi, wartawan dan media berkompetisi dalam membuat hal ini.
Keterbatasan
Objektivitas
Kritik lebih lanjut terhadap peran media informasi
yang berfokus pada etika profesionalitas dalam jurnalistik, yaitu objektivitas.
Etika ini dikembangkan di akhir abad sembilan belas, dan banyak menimbulkan
polemik. Alasannya karena reportasi politik adalah bias dan cacat-
subjektif, tidak terdapat standar objeytif dalam hal
ini, yang ada hanya suatu konvensi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar