Rabu, 15 Maret 2017

Perkembangan Konsep Demokrasi


Menurut  Robert A. Dahl dalam bukunya “Perihal Demokrasi” dijelaskan bahwasanya mencari catatan sejarah mengenai perkembangan konsep demokrasi adalah sebuah ketidakpastian, namun pada umumnya kita dapat lebih memahami perkembangan konsep demokrasi melalui tersebarnya gagasan dan praktek demokrasi, akan tetapi penjabaran melalui hal tersebut tidak lah bisa menggambarkan konsep perkembangannya secara keseluruhan. Menurutnya, bahwa demokrasi tercipta akan suatu waktu dan kondisi dimana pun itu, dan kapan pun itu yang mengharuskan demokrasi ada sebagai sesuatu yang memiliki nilai manfaat lebih. Sekitar 500 Tahun sebelum Masehi, kondisi yang menguntungkan untuk lahirnya sebuah demokrasi itu telah muncul, dikarena kan kelompok-kelompok manusia yang mengembangkan sistem pemerintahan dengan memberikan kesempatan kepada anggota kelompok untuk ikut serta mengambil keputusan kelompok. Hal tersebut dapat dikatakan sebagai demokrasi primitif. Setelah itu, muncullah perkembangan yang terjadi di Eropa, disepanjang pantai Laut Tengah dan Eropa Utara.
            Pada masa Yunani dan Romawi, awalanya diciptakan sistem pemerintahan yang partisipatif, dengan tersedianya tempat bagi rakyat untuk berpartisipasi, hal ini dapat bertahan cukup lama, namun tidak luput dari perubahan. Yunani merupakan sebuah negara yang terdiri dari beberapa kota yang merdeka, maka kedaulatannya tersebut adalah negara kota. Athena merupakan negara yang paling terkenal, menganut sistem pemerintahan kerakyatan yang berlangsung begitu lama, hingga ditaklukan oleh Macedonia. Dikerenakan awala mula tersebarnya gagasan dan praktek demokrasi di Athena, maka kemungkinan istilah demokrasi pada mulanya muncul di daerah tersebut. Istilah Yunani yang berbunyi demos(rakyat) dan kratos(pemerintahan). Namun, istilah ini sering menjadi kritik bagi kalangan aristokrasi, karena rasa kesalnya terhadap rakyat biasa yang mengambil alih kekuasaan kaum aristokrat yang sebelumnya menguasai pemerintahan. Athena memiliki pengaruh besar pada filsafat politik, yang sering dipahami sebagai partisipasi warga negara atau demokrasi partisipatif.
            Setelah diperkenalkannya pemerintahan rakyat di Yunani, kemudian muncullah hal yang sama di semenanjung Italia, yaitu kota Roma. Akan tetapi, dalam istilah romawi hal ini disebut republik, res(kejadian) publicus(publik). Hal ini dapat diartikan suatu keadaan atau peristiwa yang harus dimiliki oleh rakyat. Pada masa ini, mulanya yang memiliki hak partisipatif adalah para bangsawan, atau kaum aristokrat, namun setelah itu rakyat biasa memiliki hak untuk berpartisipasi. Awalnya kota ini tidak begitu besar, namun karena penaklukan wilayah, maka semakin luas lah teritorial romawi, namun tidak diimbangi dengan perbaikan sistem pemerintahan. Sehingga semakin banyak penduduk dan semakin luas wilayah negara, menjadi semakin tidak jelas keputusan yang diambil. Akan tetapi, konsep Republik Romawi berlangsung jauh lebih lama dibandingkan Demokrasi Athena, hal ini terjadi karena permasalahan sosial, perang, meliterisasi, korupsi dan hilangnya semangat nasionalisme, sehingga praktek republikan itu hancur oleh kediktatoran Julius Caesar. Oleh karena itu, sistem pemerintahannya pun berubah menjadi imperium yang dipimpin oleh seorang kaisar.
            Pasca hilangnya Republik Roma, namun hal ini ditemukan kembali setelah terjadinya perubahan cuaca yang hebat. Pemerintahan berbasis kerakyatan kembali muncul di Italia Utara, akan tetapi di negara yang relatif kecil lah hal itu tumbuh, bukan dikawasan negara yang besar. Selama lebih dari dua abad, berkembanglah republik lain di Italia, menjadi pusat kemakmuran yang luar biasa. Sayangnya perkembangan demokrasi, pemerintahan republikan makin meredup akibat kemunduran ekonomi, korupsi, oligarki, perang, penaklukan, dan pengambil alihan kekuasaan oleh raja, pangeran, tentara yang sewenang-wenang.
            Baik itu negara demokrasi atau republik pada masa Yunani dan Romawi, namun keduanya tidak memiliki ciri penting dari pemerintahan perwakilan modern. Sehingga tidak tercipta pemerintahan nasional yang efektif. Seperti halya, roma yang menyatakan partisipasi rakyat, namun tidak memiliki perwakilan dalam parlemen nasional. Jelas lah hal tersebut tidak memiliki konsep dasar utama, yaitu parlemen nasional yang terdiri dari para wakil yang dipilih, dan pemerintahan yang dipilih oleh rakyat. Lembaga-lembaga politik sebagai penopang demokrasi lahir di Utara Laut Tengah, yaitu Inggris, Belanda, Swiss, dan tempat lainnya. Pada daerah ini tertanam suatu pola, yaitu para bangsawan dan orang bebas sebagai dewan daerah setempat, selain itu terdapat dewan regional yang diperoleh dari mekanisme pemilihan.
            Di kawasan Eropa, tepatnya permulaan abad ke-18 telah muncul gagasan praktek politik yang kemudian menjadikan lembaga demokrasi, yaitu terciptanya majelis lokal, ketika setiap orang bebas berpartisipasi dalam pemerintahan. Muncul lah gagasan pemerintah memerlukan persetujuan dari yang diperintah, karena itu dibentuklah majelis perwakilan yang menentukan kebijakan atau membuat undang-undang. Gagasan dan praktik politik tersebut merupakan pondasi dari demokratisasi yang terus bergerak maju. Proses menuju sistem pemerintahan berdasarkan kehendak rakyat memberikan pelajaran bahwasanya hal ini bukanlah khayalan semata. Sehingga, hal-hal yang menghambat proses demokratisasi dapat kita kritisi, antara lain upaya untuk melengkapi hal-hal yang belum terkondisikan dalam proses tersebut.

            Terdapat beberapa kendala dalam proses demokratisasi, yaitu, Pertama, negara-negara yang memiliki sejarah kuat dalam proses demokratisasi memiliki kendala besar berupa perbedaan yang mencolok. Hal ini, tentunya menjadi tantangan yang cukup sulit, dimana dalam satu kesatuan negara terdapat begitu banyak kepentingan yang didasari oleh berbagai hal, sehingga lebih memungkinkan untuk terjadinya perpecahan. Kedua, ketika adanya parlemen namun belum memenuhi standar demokrasi. Hal ini, lazim terjadi di negara yang memiliki teritorial besar, yaitu ketika suara rakyat yang ditentukan oleh badan perwakilan, namun tidak dapat mewakili secara utuh, sehingga seringkali parlemen tidak bisa mengimbangi pemerintahan. Ketiga, wakil rakyat tidak sungguh-sungguh mewakili rakyat. Hal ini terjadi karena hak pilih rakyat tidak sesuai dengan semestinya. Atau perwakilan rakyat yang menyalahi amanahnya sebagai perwakilan yang harus memperjuangkan suara rakyat. Keempat, sampai abad ke-18 dan setelahnya, gagasan demokrasi belum dipahami dengan baik. Karena pada umumnya, logika persamaan hanya diperuntukan sejumlah kecil saja, itupun pada orang yang mempunyai hak istimewa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Lowell Barrington, Comparative Politics Structures and Choices (Australia: Wadsworth, 2013), 227-257. & Peter Calvert, Comparative Politics: An Introduction (Harlow: Pearson, 2002), 297-320.

Bagaimanakah menghubungkan elite dan massa dalam proses politik? Literatur kali ini membahas dan mengeksplorasi konsep-konsep mengenai el...