Sabtu, 18 Maret 2017

Peran CSo dalam proses demokrasi dan dinamika Cso di Indonesia

Pada umumnya, demokrasi dimaknai sebagai “kehendak rakyat” (the will of the people) serta bertujuan untuk “kebaikan bersama” (the commond good), sehingga demokrasi senantiasa menjadi sebuah sistem yang sering didengungkan kurang begitu baik, namun lebih baik dibandingkan dengan sistem politik lainnya. Dengan demikian, seiring dengan proses demokratisasi yang terus meluas, maka asas yang dimaknai dalam demokrasi tidak hanya mencakup hal-hal yang bersifat substansial, melainkan lebih kepada hal-hal yang bersifat prosedural. Kehidupan manusia yang terus mengalami modernisasi, tentunya berpengaruh pada pola pikir dan pola tindak, sehingga pola kehidupan pun terus dinamis dan semakin kompleks. Begitu pun dengan demokrasi, seiring dengan perkembangannya yang begitu signifikan, serta pandangan umum terhadap implementasi demokrasi dalam tatanan global, sehingga dibutuhkan integrasi dari berbagi instrumen yang memiliki pengaruh besar dalam menegakkan demokrasi ini.
            Demokrasi prosedural kian tumbuh di berbagai negara yang tentunya mengklaim demokrasi sebagai sistem politiknya. Seiring dengan concern atau fokus suatu negara terhadap proses demokrasi dinegaranya, seringkali tidak diiringi keseimbangan antara prosedur-prosedur yang ada dalam demokrasi, dengan nilai-nilai atau hal-hal yang bersifat substansial di dalamnya. Maka dari itu, terjadilah ketimpangan dan permasalahan sosial, karena tentunya terdapat permasalahan yang diakibatkan oleh ketidakseimbangan instrumen sistem dalam sebuah sistem politik, terlebih dalam proses atau sistem demokrasi yang senantiasa rentan terjadi konflik, baik itu konflik horizontal maupun vertikal. Dengan demikian, sistem demokrasi yang menghendaki kebaikan bersama menjadikannya memiliki tanggungjawab utuh terhadap seluruh masyarakat atau warga negaranya. Sehingga, motor penggerak utama adalah pemerintah yang berwenang terhadap kelancaran proses demokrasi itu sendiri. Akan tetapi, kecenderungan akan keberpihakan pemerintah pada sebagian kalangan bukan menjadi hal asing diberbagai negara. Oleh karena itu, dibutuhkan instrumen lain yang memiliki pengaruh strategis dalam demokrasi, yaitu civil society.
            Civil society menjadi sebuah  konsep yang tidak asing lagi diperbincangkan, sejak abad ke-18 seiring dengan kemunculan negara bangsa modern, hal ini menjadikan civil society terus berkembang, bahkan hingga menjadi objek studi, khususnya sebagai konstruksi teoritik dalam mengkaji sebuah fenomena. Parekh berpendapat bahwa civil society telah ada sejak zaman Romawi, yang merujuk pada “the rational and law-governed society of humans” dan tentunya bertentangan dengan konsep “the ‘natural society’ of animals”. [1] Melalui konsep tersebut, secara nalar manusia menyadari bahwa rasionalitas dan kesepakatan hukum senantiasa mengatur perkumpulan manusia, bukan hanya atas dasar naluriah manusia membentuk sebuah perkumpulan. Dengan demikian, maka terdapat asas dan tujuan mendasar, mengapa terdapat sekumpulan manusia. Sehingga, Kaldor menegaskan bahwa tiada perbedaan antara civil society dan negara. Negara senantiasa dicirikan dengan kontrak sosial, begitu pun civil society yang merupakan kumpulan masyarakat yang dikelola berdasarkan hukum, dengan prinsip kesetaraan dimata hukum.[2]
            Selain itu, civil society cenderung merujuk pada kegiatan assosiasional yang bebas, seperti halnya, keluarga, universitas, media, asosiasi pedagang, lembaga adat, dan sebagainya. Sehingga terdapat prinsip“Coercive elements of the state would wither away by degrees” . setiap indivi yang terbebas dari pembatasan akan ketidaksetaraan, akan merasakan kebebasan yang seutuhnya. Dengan demikian, individu-individu yang bebas dan setara, akan memiliki kesadaran sosial, sehingga berprinsip untuk menegakkan hukum atau aturan yang diberikan kepada mereka sendiri, seperti halnya peraturan disiplin dari institusi eksternal akan didorong oleh tekanan internal, dikarnakan pentingnya nilai dan moral. Demikian lah Gramsci menggambarkan masyarakat yang disebut ‘ethical state’ atau civil society.
            Keberadaan civil society sebagai instrumen yang aktif dan kuat, menjadikannya penawar terhadap berbagai permasalahan yang ada dalam negara demokrasi saat itu, seperti halnya ketidakpedulian, kekcewaan, ketidak percayaan warga negara terhadap pemerintah. Lele dan Quadir berpendapat, bahwa dalam persektif negara dan masyarakat, keberadaan civil society diperlukan untuk mengurangi kecenderungan negara untuk hanya mementingkan kepentingannya sendiri, serta mengontrol kemampuannya untuk mendapatkan keinginan atau kepentingannya tersebut melalui penyalahgunaan atau monopoly kekuasaan oleh aparat pemerintahan. Dengan demikian, terdapat beberapa peran dan fungsi civil society, yaitu sebagai berikut :
1.      A Representative Role; balancing the power between state and society in support of the latter (menyeimbangkan kekuasaan antara negara dan masyarakat dengan fokus utamanya pada masyarakat).
2.      A Disciplinary Role; exerting greater pressure on politicians and state officials to be more accountable for their actions (melaksanakan penekanan lebih kepada politisi dan birokrat, agar lebih akuntabel terhadap tindakan-tindakan mereka).
3.      An Intermediary Role; connecting the state and society by way of articulating people’s interests and facilitating political communication, and acting as complementary representative to periodic elections (menghubungkan negara dengan masyarakat melalui artikulasi kepentingan masyarakat dan memfasilitasi komunikasi politik, serta bertindak sebagai perwakilan pelengkap, pada saat pemilihan umum diselenggarakan secara periodik).
4.      Constitutive Role. perpetuating democratic norms as the rules of the political game (mengabadikan norma-norma demokrasi sebagai aturan dari proses politik).[3]
            Era demokratisasi ini, menjadikan civil society sebagai salah satu pilar dalam menegakkan demokrasi global. Melalui peran fundamentalnya, antara lain adalah sebagai berikut :
1.      mendorong suatu rezim demokrasi, dengan tujuan untuk menjaga keutuhan dan kelembagaan demokrasi dalam suatu pemerintahan. Dalam aspek ini, civil society bertanggungjawab akan keberlangsungan atau keberlanjutan demokrasi dalam pemerintahan. Sehingga hal-hal yang bersifat prosedural dan substansial dalam demokrasi dapat senantiasa dijaga, melalui keutuhan lembaga demokrasi dan nilai-nilai yang dipegang teguh oleh setiap warga negaranya.
2.      Civil society berperan dalam menanggulangi kemiskinan, krisi ekonomi, serta senantiasa mendukung dan mempromosikan hak asasi manusia. Sebagai perkumpulan masyarakat, yang tentunya didasari dengan kepentingan dan dasar hukum yang jelas, civil society membawa suatu misi yang dapat disinkronkan dengan hasil dari capain kinerja pemerintah, khususnya dalam hal kesejahteraan umum, baik itu dibidang ekonomi, hak asasi, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Dengan demikian, civil society akan senantiasa mengawal kinerja pemerintah, melalui misi atau fokus tujuan terbentuknya suatu kumpulan masyarakat tersebut.
3.      Medukung harmoni dan solidaritas sosial. civil society yang terbentuk berdasarkan nilai-nilai demokrasi didalamnya, jelas akan sangat memperjuangkan harmoni dan solidaritas sosial, sehingga dapat meminimalisir konflik harizontal yang terjadi antara masyarakat satu dan yang lainnya.
4.      Menguatkan budaya demokrasi. melalui penguatan demokrasi, civil society akan tetap memiliki eksistensi atau peran dalam pembangunan negara. Karena jika rezim otoriter yang menguasai pemerintahan, maka civil society yang terbentuk atas dasar kebebasan akan memiliki tekanan tinggi, sehingga segala perannya pun dapat dibatasi.
Pada umumnya, civil society diartikan sebagai masyarakat yang beradab (civility), sehingga idealnya civil society terdiri dari orang-orang yang tidak melanggar hukum dan memiliki kesadaran hukum, selain itu, orientasinya pun berlandaskan pada aturan-aturan yang tentunya bertujuan pada pembangunan masyarakat yang lebih baik. Menurut Ernest Gellner civil society adalah “ruang ketiga” diantara masyarakat dan negara, yang senantiasa mencoba untuk memberikan pengaruh politik tanpa harus terlibat dalam proses pemilihan umum (Hall, 1995). Perannya sebagai mediator antara masyarakat dan pemerintah, menjadikan civil society memiliki tempat tersendiri dalam tatanan sosial kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Pengaruh politik dihasilkan melalui advokasi kebijakan-kebijakan yang ditetapkan pemerintah, hal ini bertujuan untuk menyampaikan aspirasi masyarakat kepada pemerintah, sehingga pemerintah dapat menyesuaikan kebijakan yang tentunya berpengaruh pada kehidupan mayarakat yang lebih baik lagi.
Sebagai elemen yang dapat mendesak pertanggungjawaban pemerintah, civil society dapat membangun budaya demokrasi, sehingga keberlangsungan dan eksistensi civil society akan memiliki pengaruh besar terhadap pembangunan demokrasi. Selain itu, demokrasi memerlukan partisipasi aktif yang berkesinambungan dari warga negara yang tentunya terorganisasi dalam permasalahan-permasalahan yang terkait dengan urusan publik, bukan hanya sebatas masyarakat yang memeberikan suara secara periodik dan tentunya tidak teroganisasi.
Dalam prosesnya, civil society akan mendapatkan power lebih, jika memiliki ciri demokrasi, antara lain sebagai berikut :
1.      Memiliki tujuan organisasi yang demokratis dan cara yang demokratis untuk mencapainya.
2.      Terbentuknya organisasi secara terstruktur dan stabil, agar dapat memfasilitasi jejaring kooperatif dan memiliki daya tawar yang kuat ketika berhadapan dengan negara.
3.      Memiliki proses pengambilan keputusan yang internal dan proses pemilihan pimpinan yang demokratis.
4.      Mendukung pluralisme.
5.      Asosiasi yang beragam di berbagai level masyarakat untuk mengakomodasi keberagaman kepentingan dan aspirasi masyarakat.
Karakteristik demokratis dalam civil society menjadi sebah keharusan, dikarenakan dapat mempengaruhi perilaku warga negara serta kinerja pemerintah, termasuk dalam meningkatkan kualitas berdemokrasi. Maka dari itu, kuantitas dari civil society tidak dapat menjamin efektivitas dalam menunjang demokrasi, sehingga implementasi nilai-nilai demokratis tersebut haruslah senantiasa terbudaya dalam ruang lingkup civil society itu sendiri. Karena perannya yang begitu penting dalam demokrasi, sehingga civil society memiliki pengaruh besar dalam pembangunan suatu negara. Beberapa menyikapi civil society hanya untuk berperan aktif dalam memberikan pelayanan-pelayanan sosial, sementara lainnya memberikan political pressure kepada pemerintah. Sehingga, peran atau sikap dari civil society merupakan peran politik yang berorientasi pada kepentingan umum dan meningkatkan kualitas berdemokrasi.
Idealnya, civil society menjadi mediator yang netral, dalam arti, terlepas dari kepentingan elit, sehingga benar-benar menyampaikan apa yang masyarakat butuhkan dan mengkritisi kebijakan pemerintah agar lebih pro terhadap kesejahteraan rakyat. Namun, dalam prakteknya civil society tidak bisa bersih dari kepentingan elit politik, khususnya pemerintah. Meskipun dampak yang dihasilkan bersifat positif maupun negatif bagi keberlangsungan pemerintahan dan kehidupan bermasyarakat. Kepentingan yang bermain dalam ranah civil society menyebabkan peran ideal civil society menjadi terganggu. Sehingga, peran utama civil society sebagai penyokong demokrasi, dapat menjadi kebalikannya, civil society dalam tatanan praktis dapat dikatakan menegakkan demokrasi atau bahkan meruntuhkan demkrasi itu sendiri. 
Terkait dengan gencarnya demokratisasi dalam tatanan global, maka dari itu, civil society berkembang dan memiliki peran tersendiri di Indonesia. Secara historis, nilai-nilai terbentuknya civil society sudah ada dalam kebiasaan masyarakat Indonesia pada kesehariannya, sepertihalnya budaya gotong royong. Seiring dengan prosesnya, muncullah voluntary organization seperti NU, Muahammadiyah, SI, dsb. Kelompok-kelompok tersebut mulai mempromosikan hal-hal yang terkait dengan orientasinya. Setelah itu, lahirlah organisasi-organisasi non-government yang memiliki fokus pada pengembangan dan pemberdayaan masyarakat, seperti halnya women’s groups, health care organizations, worker associations, dsb. Kemudian timbullah gerakan-gerakan yang pro terhadap demokrasi, seperti halnya kelompok-kelompok mahasiswa pada tahun 1998 untuk memperjuangkan reformasi (Uften, 2009).
            Pada prosesnya perkembangan civil society di Indonesia, memiliki beberapa hambatan, yang ditandai munculnya konflik dan gerakan-gerakan yang bertentangan dengan nilai-nilai demokratis, seperti halnya pada masa orde baru yang menimbulkan kerusuhan anti-kristen di Pasuruan, kemudian di era reformasi terdapat konflik agama di Maluku, dan munculnya organisasi-organisasi ekstremis, hal ini dikarenakan eforia kebebasan pasca reformasi yang tidak dapat diorganisir dengan baik oleh pemerintah, sehingga menimbulkan gerakan-gerakan teror.
            Masa desentralisasi, membawa pengaruh positif pada perkembangan civil society di Indonesia, khususnya di tingkat lokal. Situasi politik yang ada pada masa itu masih didominasi oleh keputusan-keputusan elit yang tertutup dalam penentuan kebijakan, baik ditingkat daerah maupun lokal. Sehingga masyarakat tidak memiliki akses yang baik dalam memperoleh informasi terkait transparansi, akuntabilitas, dan efektivitas kinerja pemerintah. Seiring kebebasan politik dan berpendapat bagi seluruh masyarakat Indonesia, civil society mengambil peran yang cukup signifikan. Sehingga, tak jarang ditemukan kandidat legislatif maupun eksekutif yang sebelumnya merupakan aktivis civil society. Hal ini dikarenakan kerjasama antar partai dan civil society demi meraih suara masyarakat pada pemilu.
            Melalui fenomena civil society yang ada di Indonesia pada saat ini, dapat kita simpulkan bahwa civil society merupakan suatu wadah bagi masyarakat yang terfokus pada suatu bidang atau beberapa bidang permasalahan dalam masyarakat, sehingga melalui perkumpulan tersebut dapat menghasilkan program-program atau solusi bagi permasalahan yang ada. Oleh karena itu, civil society melakukan advokasi dan bekerjasama dengan pemerintah. Kini, civil society mengalami pergeseran makna, peran-perannya yang ditujukan untuk menunjang demokrasi senantiasa disertai oleh muatan-muatan politis yang mencedrai nilai-nilai mendasar dalam terbentuknya civil society. Dengan demikian,  pemaknaan civil society akan senantiasa dinamis dalam prosesnya.

Daftar Pustaka :
Hall, j. A. (1995). Civil Society : Theory, History, Comparison. Cambridge: Polity Press.
Uften, M. B. (2009). Democratization in Post-Suharto Indonesia. London: Routledge.
Parekh, B. (2004). Putting Civil Society in Its Place. In M. Glasius, D. Lewis, & H. Seckinelgin, Exploring Civil Society: Political and Cultural Contexts (pp. 14-23). London and New York: Routledge.

Kaldor, M. (2004). Globalization and Civil Society. In M. Glasius, D. Lewis, & H. Seckinelgin, Exploring Civil Society: Political and Cultural Contexts (pp. 168-174). London and New York: Routledge.
White, G. 1996, 'Civil Society, Democratization and Development', in Democratization in the South: The Jagged Wave, eds R. Luckham & G. White, Manchester University Press, New York, pp. 178-219.
Lele, J., & Quadir, F. (2004). Introduction: Democracy and Development in Asia in the 21st Century: In Search of Popular Democratic Alternatives. In J. Lele, & F. Quadir, Democracy and Civil Society in Asia (Vol. 2, pp. 1-31). Hampshire and New York: Palgrave Macmillan.





[1] Parekh, B. (2004). Putting Civil Society in Its Place. In M. Glasius, D. Lewis, & H. Seckinelgin, Exploring Civil Society: Political and Cultural Contexts (pp. 14-23). London and New York: Routledge.

[2] Kaldor, M. (2004). Globalization and Civil Society. In M. Glasius, D. Lewis, & H. Seckinelgin, Exploring Civil Society: Political and Cultural Contexts (pp. 168-174). London and New York: Routledge.
[3] White, G. 1996, 'Civil Society, Democratization and Development', in Democratization in the South: The Jagged Wave, eds R. Luckham & G. White, Manchester University Press, New York, pp. 178-219.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Lowell Barrington, Comparative Politics Structures and Choices (Australia: Wadsworth, 2013), 227-257. & Peter Calvert, Comparative Politics: An Introduction (Harlow: Pearson, 2002), 297-320.

Bagaimanakah menghubungkan elite dan massa dalam proses politik? Literatur kali ini membahas dan mengeksplorasi konsep-konsep mengenai el...