Pada umumnya, demokrasi dimaknai sebagai “kehendak
rakyat” (the will of the people) serta bertujuan untuk “kebaikan bersama” (the
commond good), sehingga demokrasi senantiasa menjadi sebuah sistem yang sering
didengungkan kurang begitu baik, namun lebih baik dibandingkan dengan sistem
politik lainnya. Dengan demikian, seiring dengan proses demokratisasi yang
terus meluas, maka asas yang dimaknai dalam demokrasi tidak hanya mencakup
hal-hal yang bersifat substansial, melainkan lebih kepada hal-hal yang bersifat
prosedural. Kehidupan manusia yang terus mengalami modernisasi, tentunya
berpengaruh pada pola pikir dan pola tindak, sehingga pola kehidupan pun terus
dinamis dan semakin kompleks. Begitu pun dengan demokrasi, seiring dengan
perkembangannya yang begitu signifikan, serta pandangan umum terhadap
implementasi demokrasi dalam tatanan global, sehingga dibutuhkan integrasi dari
berbagi instrumen yang memiliki pengaruh besar dalam menegakkan demokrasi ini.
Demokrasi
prosedural kian tumbuh di berbagai negara yang tentunya mengklaim demokrasi
sebagai sistem politiknya. Seiring dengan concern atau fokus suatu negara
terhadap proses demokrasi dinegaranya, seringkali tidak diiringi keseimbangan
antara prosedur-prosedur yang ada dalam demokrasi, dengan nilai-nilai atau
hal-hal yang bersifat substansial di dalamnya. Maka dari itu, terjadilah
ketimpangan dan permasalahan sosial, karena tentunya terdapat permasalahan yang
diakibatkan oleh ketidakseimbangan instrumen sistem dalam sebuah sistem
politik, terlebih dalam proses atau sistem demokrasi yang senantiasa rentan
terjadi konflik, baik itu konflik horizontal maupun vertikal. Dengan demikian,
sistem demokrasi yang menghendaki kebaikan bersama menjadikannya memiliki
tanggungjawab utuh terhadap seluruh masyarakat atau warga negaranya. Sehingga,
motor penggerak utama adalah pemerintah yang berwenang terhadap kelancaran
proses demokrasi itu sendiri. Akan tetapi, kecenderungan akan keberpihakan
pemerintah pada sebagian kalangan bukan menjadi hal asing diberbagai negara.
Oleh karena itu, dibutuhkan instrumen lain yang memiliki pengaruh strategis
dalam demokrasi, yaitu civil society.
Civil
society menjadi sebuah konsep yang tidak
asing lagi diperbincangkan, sejak abad ke-18 seiring dengan kemunculan negara
bangsa modern, hal ini menjadikan civil society terus berkembang, bahkan hingga
menjadi objek studi, khususnya sebagai konstruksi teoritik dalam mengkaji
sebuah fenomena. Parekh berpendapat bahwa civil society telah ada sejak zaman
Romawi, yang merujuk pada
“the rational and law-governed society of humans” dan
tentunya bertentangan dengan konsep “the ‘natural society’ of animals”. [1]
Melalui
konsep tersebut, secara nalar manusia menyadari bahwa rasionalitas dan
kesepakatan hukum senantiasa mengatur perkumpulan manusia, bukan hanya atas
dasar naluriah manusia membentuk sebuah perkumpulan. Dengan demikian, maka
terdapat asas dan tujuan mendasar, mengapa terdapat sekumpulan manusia. Sehingga,
Kaldor menegaskan bahwa tiada perbedaan antara civil society dan negara. Negara
senantiasa dicirikan dengan kontrak sosial, begitu pun civil society yang
merupakan kumpulan masyarakat yang dikelola berdasarkan hukum, dengan prinsip
kesetaraan dimata hukum.[2]
Selain
itu, civil society cenderung merujuk pada kegiatan assosiasional yang bebas,
seperti halnya, keluarga, universitas, media, asosiasi pedagang, lembaga adat,
dan sebagainya. Sehingga terdapat prinsip“Coercive elements of the state would wither away by
degrees” . setiap indivi yang terbebas dari pembatasan akan
ketidaksetaraan, akan merasakan kebebasan yang seutuhnya. Dengan demikian,
individu-individu yang bebas dan setara, akan memiliki kesadaran sosial,
sehingga berprinsip untuk menegakkan hukum atau aturan yang diberikan kepada
mereka sendiri, seperti halnya peraturan disiplin dari institusi eksternal akan
didorong oleh tekanan internal, dikarnakan pentingnya nilai dan moral. Demikian
lah Gramsci menggambarkan masyarakat yang disebut ‘ethical state’ atau civil
society.
Keberadaan
civil society sebagai instrumen yang aktif dan kuat, menjadikannya penawar
terhadap berbagai permasalahan yang ada dalam negara demokrasi saat itu,
seperti halnya ketidakpedulian, kekcewaan, ketidak percayaan warga negara
terhadap pemerintah. Lele dan Quadir berpendapat, bahwa dalam persektif negara
dan masyarakat, keberadaan civil society diperlukan untuk mengurangi
kecenderungan negara untuk hanya mementingkan kepentingannya sendiri, serta
mengontrol kemampuannya untuk mendapatkan keinginan atau kepentingannya
tersebut melalui penyalahgunaan atau monopoly kekuasaan oleh aparat
pemerintahan. Dengan demikian, terdapat beberapa peran dan fungsi civil
society, yaitu sebagai berikut :
1. A Representative Role; balancing the power between state and society in
support of the latter (menyeimbangkan kekuasaan antara negara
dan masyarakat dengan fokus utamanya pada masyarakat).
2. A Disciplinary Role; exerting greater pressure on politicians and state
officials to be more accountable for their actions
(melaksanakan penekanan lebih kepada politisi dan birokrat, agar lebih
akuntabel terhadap tindakan-tindakan mereka).
3. An Intermediary Role; connecting the state and society by way of
articulating people’s interests and facilitating political communication, and
acting as complementary representative to periodic elections
(menghubungkan negara dengan masyarakat melalui artikulasi kepentingan
masyarakat dan memfasilitasi komunikasi politik, serta bertindak sebagai
perwakilan pelengkap, pada saat pemilihan umum diselenggarakan secara
periodik).
4.
Constitutive
Role. perpetuating democratic norms as the rules of the
political game (mengabadikan norma-norma
demokrasi sebagai aturan dari proses politik).[3]
Era
demokratisasi ini, menjadikan civil society sebagai salah satu pilar dalam menegakkan
demokrasi global. Melalui peran fundamentalnya, antara lain adalah sebagai
berikut :
1. mendorong
suatu rezim demokrasi, dengan tujuan untuk menjaga keutuhan dan kelembagaan
demokrasi dalam suatu pemerintahan. Dalam aspek ini, civil society
bertanggungjawab akan keberlangsungan atau keberlanjutan demokrasi dalam pemerintahan.
Sehingga hal-hal yang bersifat prosedural dan substansial dalam demokrasi dapat
senantiasa dijaga, melalui keutuhan lembaga demokrasi dan nilai-nilai yang
dipegang teguh oleh setiap warga negaranya.
2. Civil
society berperan dalam menanggulangi kemiskinan, krisi ekonomi, serta
senantiasa mendukung dan mempromosikan hak asasi manusia. Sebagai perkumpulan
masyarakat, yang tentunya didasari dengan kepentingan dan dasar hukum yang
jelas, civil society membawa suatu misi yang dapat disinkronkan dengan hasil
dari capain kinerja pemerintah, khususnya dalam hal kesejahteraan umum, baik
itu dibidang ekonomi, hak asasi, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Dengan
demikian, civil society akan senantiasa mengawal kinerja pemerintah, melalui
misi atau fokus tujuan terbentuknya suatu kumpulan masyarakat tersebut.
3. Medukung
harmoni dan solidaritas sosial. civil society yang terbentuk berdasarkan
nilai-nilai demokrasi didalamnya, jelas akan sangat memperjuangkan harmoni dan
solidaritas sosial, sehingga dapat meminimalisir konflik harizontal yang
terjadi antara masyarakat satu dan yang lainnya.
4. Menguatkan
budaya demokrasi. melalui penguatan demokrasi, civil society akan tetap
memiliki eksistensi atau peran dalam pembangunan negara. Karena jika rezim
otoriter yang menguasai pemerintahan, maka civil society yang terbentuk atas
dasar kebebasan akan memiliki tekanan tinggi, sehingga segala perannya pun
dapat dibatasi.
Pada umumnya, civil society diartikan
sebagai masyarakat yang beradab (civility), sehingga idealnya civil society
terdiri dari orang-orang yang tidak melanggar hukum dan memiliki kesadaran
hukum, selain itu, orientasinya pun berlandaskan pada aturan-aturan yang
tentunya bertujuan pada pembangunan masyarakat yang lebih baik. Menurut Ernest
Gellner civil society adalah “ruang ketiga” diantara masyarakat dan negara,
yang senantiasa mencoba untuk memberikan pengaruh politik tanpa harus terlibat
dalam proses pemilihan umum (Hall, 1995) .
Perannya sebagai mediator antara masyarakat dan pemerintah, menjadikan civil
society memiliki tempat tersendiri dalam tatanan sosial kehidupan bermasyarakat
dan bernegara. Pengaruh politik dihasilkan melalui advokasi kebijakan-kebijakan
yang ditetapkan pemerintah, hal ini bertujuan untuk menyampaikan aspirasi masyarakat
kepada pemerintah, sehingga pemerintah dapat menyesuaikan kebijakan yang
tentunya berpengaruh pada kehidupan mayarakat yang lebih baik lagi.
Sebagai elemen yang dapat mendesak
pertanggungjawaban pemerintah, civil society dapat membangun budaya demokrasi,
sehingga keberlangsungan dan eksistensi civil society akan memiliki pengaruh
besar terhadap pembangunan demokrasi. Selain itu, demokrasi memerlukan
partisipasi aktif yang berkesinambungan dari warga negara yang tentunya
terorganisasi dalam permasalahan-permasalahan yang terkait dengan urusan
publik, bukan hanya sebatas masyarakat yang memeberikan suara secara periodik
dan tentunya tidak teroganisasi.
Dalam prosesnya, civil society akan
mendapatkan power lebih, jika memiliki ciri demokrasi, antara lain sebagai
berikut :
1. Memiliki
tujuan organisasi yang demokratis dan cara yang demokratis untuk mencapainya.
2. Terbentuknya
organisasi secara terstruktur dan stabil, agar dapat memfasilitasi jejaring
kooperatif dan memiliki daya tawar yang kuat ketika berhadapan dengan negara.
3. Memiliki
proses pengambilan keputusan yang internal dan proses pemilihan pimpinan yang
demokratis.
4. Mendukung
pluralisme.
5.
Asosiasi yang beragam di berbagai level
masyarakat untuk mengakomodasi keberagaman kepentingan dan aspirasi masyarakat.
Karakteristik demokratis dalam civil
society menjadi sebah keharusan, dikarenakan dapat mempengaruhi perilaku warga
negara serta kinerja pemerintah, termasuk dalam meningkatkan kualitas
berdemokrasi. Maka dari itu, kuantitas dari civil society tidak dapat menjamin
efektivitas dalam menunjang demokrasi, sehingga implementasi nilai-nilai
demokratis tersebut haruslah senantiasa terbudaya dalam ruang lingkup civil
society itu sendiri. Karena perannya yang begitu penting dalam demokrasi,
sehingga civil society memiliki pengaruh besar dalam pembangunan suatu negara. Beberapa
menyikapi civil society hanya untuk berperan aktif dalam memberikan
pelayanan-pelayanan sosial, sementara lainnya memberikan political pressure
kepada pemerintah. Sehingga, peran atau sikap dari civil society merupakan
peran politik yang berorientasi pada kepentingan umum dan meningkatkan kualitas
berdemokrasi.
Idealnya, civil society menjadi
mediator yang netral, dalam arti, terlepas dari kepentingan elit, sehingga
benar-benar menyampaikan apa yang masyarakat butuhkan dan mengkritisi kebijakan
pemerintah agar lebih pro terhadap kesejahteraan rakyat. Namun, dalam
prakteknya civil society tidak bisa bersih dari kepentingan elit politik,
khususnya pemerintah. Meskipun dampak yang dihasilkan bersifat positif maupun
negatif bagi keberlangsungan pemerintahan dan kehidupan bermasyarakat.
Kepentingan yang bermain dalam ranah civil society menyebabkan peran ideal
civil society menjadi terganggu. Sehingga, peran utama civil society sebagai
penyokong demokrasi, dapat menjadi kebalikannya, civil society dalam tatanan
praktis dapat dikatakan menegakkan demokrasi atau bahkan meruntuhkan demkrasi
itu sendiri.
Terkait dengan gencarnya
demokratisasi dalam tatanan global, maka dari itu, civil society berkembang dan
memiliki peran tersendiri di Indonesia. Secara historis, nilai-nilai
terbentuknya civil society sudah ada dalam kebiasaan masyarakat Indonesia pada
kesehariannya, sepertihalnya budaya gotong royong. Seiring dengan prosesnya,
muncullah voluntary organization seperti NU, Muahammadiyah, SI, dsb.
Kelompok-kelompok tersebut mulai mempromosikan hal-hal yang terkait dengan
orientasinya. Setelah itu, lahirlah organisasi-organisasi non-government yang
memiliki fokus pada pengembangan dan pemberdayaan masyarakat, seperti halnya
women’s groups, health care organizations, worker associations, dsb. Kemudian
timbullah gerakan-gerakan yang pro terhadap demokrasi, seperti halnya
kelompok-kelompok mahasiswa pada tahun 1998 untuk memperjuangkan reformasi (Uften, 2009) .
Pada
prosesnya perkembangan civil society di Indonesia, memiliki beberapa hambatan,
yang ditandai munculnya konflik dan gerakan-gerakan yang bertentangan dengan
nilai-nilai demokratis, seperti halnya pada masa orde baru yang menimbulkan kerusuhan
anti-kristen di Pasuruan, kemudian di era reformasi terdapat konflik agama di
Maluku, dan munculnya organisasi-organisasi ekstremis, hal ini dikarenakan
eforia kebebasan pasca reformasi yang tidak dapat diorganisir dengan baik oleh
pemerintah, sehingga menimbulkan gerakan-gerakan teror.
Masa
desentralisasi, membawa pengaruh positif pada perkembangan civil society di
Indonesia, khususnya di tingkat lokal. Situasi politik yang ada pada masa itu
masih didominasi oleh keputusan-keputusan elit yang tertutup dalam penentuan
kebijakan, baik ditingkat daerah maupun lokal. Sehingga masyarakat tidak
memiliki akses yang baik dalam memperoleh informasi terkait transparansi,
akuntabilitas, dan efektivitas kinerja pemerintah. Seiring kebebasan politik
dan berpendapat bagi seluruh masyarakat Indonesia, civil society mengambil
peran yang cukup signifikan. Sehingga, tak jarang ditemukan kandidat legislatif
maupun eksekutif yang sebelumnya merupakan aktivis civil society. Hal ini
dikarenakan kerjasama antar partai dan civil society demi meraih suara
masyarakat pada pemilu.
Melalui
fenomena civil society yang ada di Indonesia pada saat ini, dapat kita
simpulkan bahwa civil society merupakan suatu wadah bagi masyarakat yang terfokus
pada suatu bidang atau beberapa bidang permasalahan dalam masyarakat, sehingga
melalui perkumpulan tersebut dapat menghasilkan program-program atau solusi
bagi permasalahan yang ada. Oleh karena itu, civil society melakukan advokasi
dan bekerjasama dengan pemerintah. Kini, civil society mengalami pergeseran
makna, peran-perannya yang ditujukan untuk menunjang demokrasi senantiasa
disertai oleh muatan-muatan politis yang mencedrai nilai-nilai mendasar dalam
terbentuknya civil society. Dengan demikian,
pemaknaan civil society akan senantiasa dinamis dalam prosesnya.
Daftar Pustaka :
Hall, j. A. (1995). Civil Society : Theory,
History, Comparison. Cambridge: Polity Press.
Uften, M. B. (2009). Democratization
in Post-Suharto Indonesia. London: Routledge.
Parekh, B. (2004). Putting Civil Society in Its Place.
In M. Glasius, D. Lewis, & H. Seckinelgin, Exploring Civil Society:
Political and Cultural Contexts (pp. 14-23). London and New York: Routledge.
Kaldor, M. (2004). Globalization and Civil Society. In
M. Glasius, D. Lewis, & H. Seckinelgin, Exploring Civil Society: Political
and Cultural Contexts (pp. 168-174). London and New York: Routledge.
White, G. 1996, 'Civil Society, Democratization and
Development', in Democratization in the South: The Jagged Wave, eds R.
Luckham & G. White, Manchester University Press, New York, pp. 178-219.
Lele, J., & Quadir, F. (2004). Introduction:
Democracy and Development in Asia in the 21st Century: In Search of Popular
Democratic Alternatives. In J. Lele, & F. Quadir, Democracy and Civil
Society in Asia (Vol. 2, pp. 1-31). Hampshire and New York: Palgrave Macmillan.
[1]
Parekh, B. (2004). Putting
Civil Society in Its Place. In M. Glasius, D. Lewis, & H. Seckinelgin,
Exploring Civil Society: Political and Cultural Contexts (pp. 14-23). London
and New York: Routledge.
[2]
Kaldor, M. (2004).
Globalization and Civil Society. In M. Glasius, D. Lewis, & H. Seckinelgin,
Exploring Civil Society: Political and Cultural Contexts (pp. 168-174). London
and New York: Routledge.
[3]
White, G. 1996, 'Civil
Society, Democratization and Development', in Democratization in the South:
The Jagged Wave, eds R. Luckham & G. White, Manchester University Press,
New York, pp. 178-219.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar