Rabu, 15 Maret 2017

Post Colonialism vs Ratinonal Choice

I.                   Post Colonialism
Berbicara mengenai pascakolonialisme merupakan suatu hal yang menantang. Suatu kajian terminologi yang sulit dipahami, merupakan hal yang relatif baru, mengandung unsur kegairahan, kebingungan, dan skeptisme yang heterogen, menjadikan hal ini menantang untuk dipahami karena sifatnya yang interdisipliner yang meliputi analisis literer, riset, arsip, kritik atas naskah medis, teori ekonomis dan pengembangangan lainnya dalam cakupan pemerintahan kolonial.
            Aria Loomba dalam bukunya colonialism/post colonialism mengangkat tema-tema perdebatan untuk menjadi kajian utama dalam memahami pascakolonialisme, yaitu : kolonialisme, imperialisme, wacana, oposisi biner, ideologi, gender. Kritiknya merupakan segala hal yang berkaitan dengan akibat sejarah kolonialisme, khususnya penjajahan kolonialis. Ia menekankan bahwasanya kolonialisme bukanlah satu-satunya yang menjadi sejarah bangsa. Sebelumnya, harus kita ketahui ideologi, sistem hierarki, praktek-praktek kehidupan dan interaksinya dengan kolonialisme. Karena tentunya kolonialisme tidak menuliskan sejarahnya sendiri, sehingga kolonialisme tidak dapat disalahkan seutuhnya terhadap semua yang terjadi pascakolonialisme.
            Kolonialisme secara sederhana dapat dipahami dari asal katanya yaitu colonia yang berarti pertanian/pemukiman, yang selanjutnya didefinissakan sebagai penaklukan dan penguasaan atas tanah dan harta penduduk asli oleh pendatang. Hal ini selalu identik dengan permasalahan yang begitu kompleks dan traumatik, seperti halnya tragedi berdarah. Dahulu praktek kolonialisme dilakukan oleh beberapa kekaisaran besar, seperti halnya Romawi yang menguasai Armenia hingga Laut Atlantik, Mongol yang menguasai Timur Tengah hingga Cina, Inca yang menguasai Suku-suku di benua Amerika, dan Cina yang melebihi penguasaan kekaisaran Eropa. Pada saat itu, sistem yang berlaku adalah pembayaran upeti pada kerajaan pusat. Sedangkan masa modern, daerah koloni tidak hanya membayar upeti, namun sumber daya manusia dan alamnya pun dieksploitasi demi kepentingan negara induk. Selain  itu, daerah jajahan merupakan pasar bagi negara induk, hal ini merupakan awal mula munculnya kapitalisme dan industri eropa.
            Lalu, apakah sebenarnya makna dari kolonialisme? Penaklukan negara imperial terhadap negara koloni, namun penguasaan terhadap negara koloni belum berakhir. Sehingga, menimbukan perdebatan, seperti halnya, menggunakan istilah pasca kolonialisme merupakan hal yang kurang relevan. Namun jika dilihat dari segi wilayah dan waktu secara harfiah sudah berakhir, karena sejatinya orang-orang yang berasal dari daerah koloni sudah menyebar ke seluruh dunia. Hal ini menggambarkan pendefinisian yang kurang memadai terhadap negara-negara yang pernah dijajah. Secara umum, kolonialisme dapat diartikan sebagai pengambilalihan secara paksa tanah dan perekonomian negeri koloni oleh negara imperialis dan restrukturisasi ekonomi untuk kepentingan negara imperialis, selain itu, wahana ekspansi teknologi dan pemikiran barat terhadap pemikiran negara-negara dunia ketiga.
Dalam perspektif budaya, pascakolonialisme merupakan budaya “putih global” dalam arti, kebudayaan kulit putih sebagai acuan perkembangan bagi semua budaya.  Hal yang menelatarbelakangi ini adalah penguasaan bangsa dari luar, operasi kerja sama dari dalam, sistem-sistem lama yang digunakan dahulu ditiru dari dalam dan digunakan sebagai versi baru. Lalu apa sebenarnya pascakolonialisme? Perlawanan terhadap dominasi kolonial dan warisan-warisannya yang tetap ada hingga saat ini. Dalam memahami pascakolonialisme, perlu kita cermati lebih dalam mengenai keterkaitan kolonialisme dan imperialisme, wacana kolonial, pemahaman mengenai oposisi biner, feminisme atau permasalahan gender, serta ideologi dan identitas.
II.                Rational Choice
Donald P. Green dan Lan Shapiro mengatakan dalam bukunya yang berjudul Pathologies of Rational Choice Theory, dijelaskan bahwa teori rational choice merupakan salah satu pendekatan dalam mengkaji politik yang begitu kompleks ke dalam sebuah catatan penting. Dalam pembahasan ini bukan berarti aspek utama dalam memahami kompleksitas permasalahan politik menggunakan rasio sebagaimana yang selalu diidentikan dengan aspek pendefinisian rational choice. Melainkan dalam aspek ini kita memahami rasionalitas yang di klasifikasikan kedalam tradisi rational choice yang ditandai dengan perbedaan karakteristik dari sudut empirical testing.
Ada beberapa asumsi yang kontroversional dalam teori rational choice, asumsi mengenai kegunaan yang sebesar-besarnya, struktur pilihan, pembuatan keputusan dalam kondisi yang tidak pasti, permasalahan yang melebar, pemusatan penjelasan dari setiap individu menjadi sebuah hasil yang kolektif. Beberapa asumsi tersebut dapat kita fahami bahwa dalam pembahasan ini, keputusan yang rasional tidak hanya semata-mata mempertimbangkan satu aspek saja, melainkan beberapa asas empirik dan metode sains menjadi faktor langkah penentu dalam menentukan hasil terhadap respon permasalahan. Penjelasan dari gambaran rational choice biasanya diartikan sebagai penjelasan terhadap suatu hal yang ingin dilaksanakan baik itu dalam interaksi sosial di dalam pasar, tatanan pemerintahan, dan institusi lainnya. Karena tentunya dalam pelaksanaan tersebut membutuhkan pilihan keputusan yang rasional. Sehingga idealnya keputusan tersebut diperoleh berdasarkan beberapa kondisi, pertama diperoleh dari kondisi yang optimal, kedua kondisi yang konsisten, ketiga kondisi dari kumpulan sebab musabab. Dan tentunya semua kondisi tersebut didasari dengan kepercayaan dan bukti nyata.

Asumsi mengenai scientific method, ditemukan dalam fakta-fakta yang terlihat dalam ruang lingkup rational choice, yaitu ketika kegemaran dalam mendorong suatu hal menuju hal yang bersifat universal, karena salah satu prinsip dari metode ilmiah adalah generalisasi dari suatu fenomena alam atau pun sosial. Sehingga dapat dicontohkan, halnya aspirasi menjadi sebuah kesimpulan dari penjelasan yang menggambarkan situasi dan kondisi setiap individu, sehingga aspirasi akan ditampung dan dijadikan peraturan yang bersifat umum dan tidak individual. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Lowell Barrington, Comparative Politics Structures and Choices (Australia: Wadsworth, 2013), 227-257. & Peter Calvert, Comparative Politics: An Introduction (Harlow: Pearson, 2002), 297-320.

Bagaimanakah menghubungkan elite dan massa dalam proses politik? Literatur kali ini membahas dan mengeksplorasi konsep-konsep mengenai el...