Sabtu, 18 Maret 2017

“Kuningnya Pun Kini Kian Memudar” Analisis terhadap melemahnya kinerja fungsionaris Partai Golkar DPD Jawa Barat pasca terjadinya beberapa permasalahan internal

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.  Latar Belakang
Demokrasi yang kini kian didengungkan di berbagai negara, khususnya di negara ketiga. Memiliki tujuan khusus sebagai pola untuk mencapai kesejahteraan. Seiring dengan prosesnya, partai politik dan pemilihan umum menjadi esensi utama penopang demokrasi. Melalui partai politik yang dimaknai sebagai lembaga formal untuk meraih kekuasaan, serta pemilihan umum sebagai ajang kontestasi dari partai politik dan masyarakat untuk menentukan jabatan politis yang memiliki pengaruh besar terhadap arah kebijakan yang ditetapkan dalam satu teritorial kekuasaan. Dengan demikian, partai politik dan pemilihan umum merupakan instrumen penting dalam proses demokrasi, sehingga segala bentuk atau pola yang ditetapkan dalam partai politik maupun pemilihan umum akan mempengaruhi nilai-nilai dari demokrasi itu sendiri. Oleh karena itu, segala bentuk permasalahan yang terjadi dalam ruang lingkup partai politik dan pemilihan umum, akan menghambat tujuan utama demokrasi dalam mencapai kesejahteraan.
            Demokrasi yang menghendaki adanya asas partisipasi dalam prosesnya, antara lain diwujudkan melalui partai politik sebagai peserta pemilihan umum, dan masyarakat sebagai pemilih dalam pemilihan umum. Melalui pola tersebut, dapat kita pahami makna dari demokrasi, bahwa kekuasaan atau mandat rakyat dihasilkan melalui proses pemilihan umum dan melahirkan keterwakilan politik sebagai representasi dari demokrasi. peran strategis partai politik dalam demokrasi, menjadikannya sebagai instrumen penting dalam negara demokrasi. Hal ini dikarenakan partai politik merupakan organisasi yang sangat berkaitan dengan pemilihan umum, serta peran dan tujuannya adalah memenangkan pemilihan umum dan mengelola kekuasaan yang diperolehnya setelah memenangkan ajang kontestasi tersebut.
Sebagaimana Carl J. Friedrich berpendapat bahwa Partai Politik merupakan sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan.[1] Besarnya peran partai politik, khususnya pemenang pemilihan umum dalam menentukan arah kebijakan nasional maupun di tingkat lokal. Sehingga, partai politik berlomba untuk meraih suara yang sebesar-besarnya melalui berbagai cara dan aturan organisasi yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, setiap partai politik berupaya dengan sebaik mungkin mempersiapkan program-program yang berimplikasi pada perolehan suara dalam ajang kontestasi pemilihan umum. Dengan demikian, maka diperlukan situasi yang dinamis namun tetap stabil bagi setiap partai politik, agar senantiasa memiliki peran dalam setiap momentum politik nasional maupun lokal.
Stabilitas organisasi partai politik sangatlah penting untuk dipertahankan, hal ini dikarenakan potensi konflik yang besar akan terjadi bila terdapat persinggungan dan ego yang tinggi di setiap kader kandidat pimpinan partai politik. Hal ini, akan memiliki pengaruh terhadap proses politik yang terjadi dalam pemerintahan. Khususnya bila konflik itu terdapat dalam ruang lingkup partai politik pemenang pemilu di tingkat nasional maupun daerah. Karena jika terjadi konflik yang cukup krusial, dapat mengakibatkan semakin lemahnya fungsi partai politik yang menurut menurut Roy C. Macridis digambarkan dalam beberapa fungsi, yaitu : Representasi (perwakilan), konversi dan agregasi; Integrasi (partisipasi, sosialisasi, mobilisasi); Persuasi, represi, rekrutmen (pengangkatan tenaga-tenaga baru), dan pemilihan pemimpin, pertimbangan-pertimbangan dan perumusan kebijaksanaan serta kontrol terhadap pemerintah.[2]
Seperti halnya, Partai Golongan Karya yang saat ini memiliki konflik internal terkait permasalahan posisi Ketua Umum dan kepengurusannya di DPP (Dewan Pimpinan Pusat) Partai Golkar.[3] Hal ini, berimplikasi pada situasi politik kepengurusan Partai Golkar di tingkat daerah, khususnya di Jawa Barat. Selain itu, Dewan Pimpinan Daerah Golkar Jabar memiliki permasalahan lain, terkait dengan ketua DPD Golkar Jabar yang terjaring kasus korupsi. Sehingga, permasalahan yang ada di pusat dan daerah, masing-masing memiliki pengaruh terhadap kondisi internal Partai Golkar Jabar, sehingga menyebabkan situasi yang stagnan bahkan kemunduran yang signifikan disisi kinerja pengurus partai.





1.2.  Identifikasi Masalah
Strategisnya peran partai politik dalam menentukan kebijakan nasional maupun lokal menjadikan lembaga ini perlu berkontestasi dalam ajang pemilihan umum, demi mendapatkan legitimasi yang sah sebagai pemegang jabatan politik, bila dapat menjadi pemenang pemilu. Akan tetapi, dalam prosesnya stabilitas politik internal partai sangatlah penting untuk dijaga, karena hal ini akan berakibat pada partisipasi suatu partai politik dalam pemilihan umum. Bila terjadi konflik internal partai, maka keikutsertaan partai politik tidak akan sepenuhnya totalitas, apalagi dalam nuansa kontestasi yang sangat ketat, sehingga soliditas partai sangatlah diperlukan untuk memenangkan pemilihan umum tersebut.
            Partai Golkar merupakan salah satu partai besar di Indonesia, sudah tidak asing lagi bila partai ini menjadi penguasa di negeri ini. Akan tetapi, melihat peta politik yang semakin kompleks, ditengah terbentuknya koalisi indoneia hebat dan koalisi merah putih, serta kondisi politik yang semakin dinamis, akankah partai ini dapat terus menjaga eksistensinya dalam kancah politik nasional? Hal ini akan semakin menjadi problema di tengah situasi konflik internal partai golkar di tingkat pusat dan permasalahan lain partai golkar di tingkat daerah, khususnya peran dan sikap dari Dewan Pimpinan Daerah Golkar Jabar. Oleh karena itu, penulis mencoba menelaah lebih dalam terkait permasalahan yang ada dalam ruang lingkup Dewan Pimpinan Daerah Golongan Karya Jawa Barat. Maka dari itu,demi tersusunnya makalah yang sistematis dan kerangka acuan dalam proses pembahasan, maka penulis rumuskan beberapa pertanyaan berikut :
1.      Apa yang dimaksud dengan partai politik ?
2.      Bagaimana idealnya partai politik dalam menjalankan peran dan fungsinya?
3.      Bagaimanakah sejarah terbentuknya partai golongan karya?
4.      Bagaimana capaian peran dan fungsi partai golkar sebagai partai politik?
5.      Mengapa terjadi konflik antara Abu Rizal Bakrie dan Agung Laksono, sehingga kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat Golongan Karya diperebutkan oleh mereka?
6.      Bagaimana dampaknya terhadap situasi politik Dewan Pimpinan Daerah Golongan Karya Jawa barat?
7.      Apa yang menjadi permasalahan krusial DPD Golkar Jabar di tahun 2015?
8.      Bagaimana dampak dari Konflik DPP dan permasalahan internal DPD Golkar Jabar terhadap kinerja pengurus partai?

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Partai politik dapat dijelaskan melalui dua aspek, yaitu aspek karakteristik dan aspek definitif. Aspek karakteristik dikategorikan dalam lima ciri fundamental, yaitu :
1.      Berwujud kelompok-kelompok masyarakat yang beridentitas (they are groups of people-whom labels, are generally applied by both themselves and others).
2.      Terdiri dari beberapa orang yang terorganisasi, yang dengan sengaja bertindak untuk mencapai tujuan partai (some of people are organized, that is they deliberately act together to achieve party goals).
3.      Pengakuan dari masyarakat akan legitimasi partai politik berupa hak-hak untuk mengorganisasikan dan mengembangkan diri mereka (the larger society rocognizes as legitimate the rights of parties to organize and promote their causes).
4.      Diantara beberapa tujuannya adalah mengembangkan aktivitas-aktivitas, partai bekerja melalui mekanisme “pemerintahan yang mencerminkan pilihan rakyat” (in some of their goal-promoting activities, parties work through the mechanisms of representative government).
5.      Aktivitas inti partai politik adalah menyeleksi kandidat unruk jabatan publik (a key activity of parties is thus selecting candidates for elective public office).[4]
Lain halnya, pendapat Lapalombara dan Weiner yang dikutip oleh Miriam Budiardjo, bahwa partai politik adalah organisasi yang memiliki kegiatan berkesinambungan, dengan kata lain, masa periode hidupnya tidak bergantung pada masa jabatan atau masa hidup para pemimpinnya. Selain itu, menjadi organisai yang terbuk dan permanen, tidak hanya berada di tingkat pusat, melainkan di tingkat lokal pun memilki eksistensi yang jelas. Partai pemimpin di tingkat pusat dan lokal memiliki keinginan kuat untuk mencarid an mempertahankan kekuasaan dalam rangka membuat keputusan politik secara sendiri maupun berkoalisi dengan partai lain, dan melakukan kegiatan mencari dukungan dari para pemilih melalui pemilihan umum atau cara-cara lain untuk mendapatkan dukungan umum.[5]
Dengan demikian, umumnya terdapat beberapa ciri pokok yang menggambarkan karakteristik dari partai politi, yaitu :
1.      Berakar dalam masyarakat lokal
2.      Melakukan kegiatan secara terus menerus/berkesinambungan
3.      Berusaha memperoleh dan mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan
4.      Ikut serta dalam pemilihan umum
5.      Ideologi sebagai identitas pemersatu dan sebagai tujuan perjuangan partai[6]
Sementara dari aspek definisi, terdapat pola yang dinamis dalam proses pemaknaannya, sehingga definisi dari partai politik kini kian terus berkembang dan memiliki berbagai keragaman makna. Akan tetapi, berikut kita coba pahami definisi partai politik dari berbagai tokoh.
1.      Leon D. Epstein : “political party is any group, however loosely aorganized, seeking to elect government officeholders under a given label.” (partai politik adalah setiap kelompok-kelompok, meskipun terorganisasi secara sederhana, yang bertujuan mendapatkan jabatan publik dalam pemerintahan, dengan identitas-identitas tertentu).[7]
2.      R. H. Soltau mendefinisikan pratai politik sebagai berikut : “ A group of citizens more or less organized, who act as a political unit and who, by the use of their voting power, aim to control the government and carry out their general politicies.” (sekelompok warga negara yang sedikit banyak teroganisasi, yang bertindak sebagai kesatuan politik dan memanfaatkan kekuasaannya untuk memiliki-bertujuan menguasai pemerintahan dan melaksanakan kebiksanaan umum mereka).[8]
3.      Alan Ware mendefinisikan partai politik pada tiga kategori,“pertama, partai politik sebagai institusi yang membawa rakyat secara bersama-sama dalam mencapai kekuasaan di dalam negara. Partai melihat arti kegunaan legitimasi di dalam mengejar tujuan akhir partai. Mereka merasa yakin dapat mengikuti pemilihan umum dalam proses pengejawantanan program dan tujuan partai. Kedua, patai sebafai lembafa yang mencari perwakilan kepentingan di dalam sebuah masyarakat. Ketiga, partai politik adalah sekelompok orang atau masyarakat yang memiliki kesamaan keyakinan (atau ideologi), nilai dan perilaku.”[9]
4.      UU Partai Politik: “Partai Politik adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa, dan negara melalui pemilihan umum.”[10]
Berbagai macam definisi partai politik, memahamkan kita pada suatu kondisi yang terus dinamis, namun dapat kita pahami bahwa partai politik sebagai sekumpulan warga negara yang teroganisir dan berupaya untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan sesuai dengan ideologi atau asas perjuangannya masing-masing, berkontestasi dalam pemilihan umum, demi mendapatkan legitimasi publik untuk mengirimkan kader-kadernya sebagai pejabat publik dalam ruang lingkup pemerintahan.
Lalu, setelah memahami konsep dan pemaknaan dari partai politik, hendaknya kita pahami peran dan fungsi idealnya seperti apa.  Seperti halnya, Ramlan Subakti yang menggambarkan beberapa peran dan fungsi ideal partai politik, yaitu sebagai berikut :
1.      Sosialisasi politik : proses pemebentukan sikap dan orientasi politik masyarakat, melalui hal ini  masyarakat memperoleh sikap dan orintasi terhadap kehidupan politik yang berlangsung dalam masyarakat.[11] Proses ini dilakukukan secara berkesinambungan diperoleh melalui pendidikan formal, nonformal.  Dari segi metode penyampaian pesan, sosialisasi politik dibagi menjadi dua bagian, yakni pendidikan politik dan indoktrinasi politik.
2.      Rekruitmen politik ialah seleksi dan pemilihan atau seleksi dan pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peranan dalam sistem politik pada umumnya dan pemerintahan pada khususnya. Fungsi ini semakin terlihat bila partai politik merupakan partai tunggal seperti dalam sistem politik totaliter, atau manakala partai itu merupakan partai mayoritas dalam badan perwakilan rakyat, sehingga berwenang membentuk pemerintahan dalam sistem politik demokrasi.
3.      Partisipasi politik ialah kegiatan warga negara dalam mempengaruhi proses pemebuatan pelaksanaan kebijakan, serta ikur serta menentukan pemimpin pemerintahan. Dalam hal ini, partai politik berfungsi untuk mendorong dan membuka kesemparan, serta mengajak masyarakat untuk menggunakan partai politik sebagai saluran kegiatan mempengaruhi proses politik.
4.      Pemadu kepentingan, fungsi ini merupakan salah satu fungsi utama partai politik sebelum mencari dan mempertahankan kekuasaan. Fungsi ini menjadi sangat fundamental dalam sistem politik demokrasi. karena dalam sistem politik totaliter, kepentingan dianggap seragam maka partai politik dalam sistem ini kurang melaksanakan fungsi pemadu kepentingan.
5.      Komunikasi politik ialah proses penyampaian informasi mengenai politik dari pemerintah kepada masyarakt dan dari masyarakat kepada pemerintah. Dalam hal ini, partai politik berfungsi sebafai komunikator politik yang tidak hanya menyampaikan segala keputusan dan penjelasan pemerintah kepada masyarakat sebagaimana diperankan oleh partai politik di negara totaliter tetapi juga menyampaikan aspirasi dan kepentingan berbagai kelompok masyarakat kepada pemerintah.
6.      Pengendalian konflik, partai politik sebagai salah satu lembaga demokrasi berfungsi untuk mengendalikan konflik melalui cara berdialog dengan pihak-pihak yang berkonflik, menampung dan memadukan berbagai aspirasi dan kepentingan dari pihak-pihak yang berkonflik dan membawa permasalahan ke dalam musyawarah badan perwakilan rakyat untuk mendapatkan penyelesaian berupa keputusan politik.
7.      Kontrol politik ialah kegiatan untuk menunjukan kesalahan, kelemahan dan penyimpangan dalam isi suatu kebijakan atau dalam pelaksanaan kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah. Dalam melakukan sesuatu kontrol politik atau penfawasan harus ada tolak ukur yang jelas sehingga kegiatan itu bersifat relatif objektif.[12]
Beberapa fungsi ideal partai politik menggambarkan perannya dalam membangun kehidupan politik suatu negara. Peran dan fungsinya yang strategis, dikarenakan partai politik sebagai lembaga formal politik yang berkontestasi dalam pemilihan umum dan senantiasa membangun pola komunikasi, baik dikalangan pemerintah maupun masyarakat. Sehingga partai politik memiliki peran yang begitu besar dalam proses politik. Namun dewasa ini, terdengar celoteh melemahnya peran dan fungsi partai politik di Indonesia. Selain itu, rasa ‘percaya’ masyarakat kepada partai politik pun begitu mengurang, maka tak heran angka partisipasi dalam pemilihan umum di Indonesia yang terkini belum mencapai 80%. Dengan demikian, posisi dan peran yang strategisnya pun tidak bisa dioptimalkan, karena rasa ‘percaya’ masyarakat yang kian memudar.
Indonesia sebagai negara yang menganut sistem multi partai dalam proses politiknya, mengalami dilema tersendiri, saat peran strategis partai tidak begitu dilihat oleh masyarakat pada umumnya, melainkan stigma yang terbangun adalah money politics yang senantiasa identik dengan kegiatan partai politik. Selain itu, oknum-oknum politisi yang terkena hukuman, baik itu kasus korupsi atau hal lainnya, menjadikan masyarakat cenderung berprasangka buruk pada hal-hal yang berbau politik. Indonesia yang memiliki keberagaman budaya ditengah-tengah masyarakatnya, mengadopsi sistem multi partai yang tentunya dipandang relevan situasi dan kondisinya saat ini, hal ini seharusnya menjadi jembatan besar bagi masyarakat untuk bisa menyalurkan aspirasinya, yang tentunya diakomodir oleh partai politik sebagai lembaga penyalur kepentingan masyarakat pada umumnya.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Deskripsi/Uraiam Rinci dan Detil
Pada tahun 2014, tercatat 15 Partai Politik yang telah terdaftar untuk berkontestasi pada ajang Pemilihan Umum 2014. Salah satunya adalah Partai Golongan Karya (Golkar), yang menjadi salah satu kontestan terkuat untuk memperoleh suara masyarakat pada pemilihan umum 2014. Partai yang memiliki No urut ke lima ini, menduduki peringkat kedua setelah PDIP dengan memperoleh suara sebanyak 14,75 %.[13] Partai yang menyokong masa pemerintahan Orde Baru ini, selalu menjadi partai pemenang dalam masa pemerintahan Orde Baru, sehingga masa 32 tahun kepemimpinan Presiden Soeharto dapat ditopang dengan baik, hingga timbul masa reformasi pada tahun 1998. Oleh karena itu, eksistensi Partai Golkar di kancah nasional tidak dapat diragukan lagi, meski masa reformasi telah bergulir, partai ini selalu dikategorikan sebagai partai besar yang memiliki begitu banyak pengalaman.
Partai Golkar bermula pada tahun 1964 dengan berdirinya Sekber Golkar di masa akhir pemerintahan Presiden Soekarno. Sekber Golkar didirikan oleh golongan militer, khususnya perwira Angkatan Darat ( seperti Letkol Suhardiman dari SOKSI) menghimpun berpuluh-puluh organisasi pemuda, wanita, sarjana, buruh, tani, dan nelayan dalam Sekretariat Bersama GOLONGAN KARYA (Sekber Golkar). Sekber Golkar didirikan pada tanggal 20 Oktober 1964. Sekber Golkar ini lahir karena rongrongan dari PKI beserta ormasnya dalam kehidupan politik baik di dalam maupun di luar Front Nasional yang makin meningkat. Sekber Golkar ini merupakan wadah dari golongan fungsional/golongan karya murni yang tidak berada dibawah pengaruh politik tertentu. Terpilih sebagai Ketua Pertama Sekber Golkar adalah Brigadir Jenderal (Brigjen) Djuhartono sebelum digantikan Mayor Jenderal (Mayjen) Suprapto Sukowati lewat Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) I, Bulan Desember Tahun 1965. Jumlah anggota Sekber Golkar ini bertambah dengan pesat, karena golongan fungsional lain yang menjadi anggota Sekber Golkar dalam Front Nasional menyadari bahwa perjuangan dari organisasi fungsional Sekber Golkar adalah untuk menegakkan Pancasila dan UUD 1945. Semula anggotanya berjumlah 61 organisasi yang kemudian berkembang hingga mencapai 291 organisasi. Organisasi-organisasi yang terhimpun ke dalam Sekber GOLKAR ini kemudian dikelompokkan berdasarkan kekaryaannya ke dalam 7 (tujuh) Kelompok Induk Organisasi (KINO), yaitu:
  1. Koperasi Serbaguna Gotong Royong (KOSGORO)
  2. Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI)
  3. Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR)
  4. Organisasi Profesi
  5. Ormas Pertahanan Keamanan (HANKAM)
  6. Gerakan Karya Rakyat Indonesia (GAKARI)
  7. Gerakan Pembangunan untuk menghadapi Pemilu 1971
Ke- 7 (tujuh) KINO yang merupakan kekuatan inti dari Sekber GOLKAR tersebut, mengeluarkan keputusan bersama pada tanggal 4 Februari 1970 untuk ikut menjadi peserta Pemilu melalui satu nama dan tanda gambar yaitu Golongan Karya (GOLKAR). Logo dan nama ini, sejak Pemilu 1971, tetap dipertahankan sampai sekarang.[14]
Pada Pemilu 1971 ini, Sekber GOLKAR ikut serta menjadi salah satu kontestan. Pihak parpol memandang remeh keikutsertaan GOLKAR sebagai kontestan Pemilu. Mereka meragukan kemampuan komunikasi politik GOLKAR kepada grassroot level. NU, PNI dan Parmusi yang mewakili kebesaran dan kejayaan masa lampau sangat yakin keluar sebagai pemenang. Mereka tidak menyadari kalau perpecahan dan kericuhan internal mereka telah membuat tokoh-tokohnya berpindah ke GOLKAR. Hasilnya di luar dugaan. GOLKAR sukses besar dan berhasil menang dengan 34.348.673 suara atau 62,79 % dari total perolehan suara. Perolehan suaranya pun cukup merata di seluruh propinsi, berbeda dengan parpol yang berpegang kepada basis tradisional. NU hanya menang di Jawa Timur dan Kalimantan Selatan, Partai Katholik di Nusa Tenggara Timur, PNI di Jawa Tengah, Parmusi di Sumatera Barat dan Aceh. Sedangkan Murba tidak memperoleh suara signifikan sehingga tidak memperoleh kursi DPR. Kemudian, sesuai ketentuan dalam ketetapan MPRS mengenai perlunya penataan kembali kehidupan politik Indonesia, pada tanggal 17 Juli 1971 Sekber GOLKAR mengubah dirinya menjadi GOLKAR.[15]
GOLKAR menyatakan diri bukan parpol karena terminologi ini mengandung pengertian dan pengutamaan politik dengan mengesampingkan pembangunan dan karya. September 1973, GOLKAR menyelenggarakan Musyawarah Nasional (Munas) I di Surabaya. Mayjen Amir Murtono terpilih sebagai Ketua Umum. Konsolidasi GOLKAR pun mulai berjalan seiring dibentuknya wadah-wadah profesi, seperti Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) dan Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI). Setelah Peristiwa G30S maka Sekber Golkar, dengan dukungan sepenuhnya dari Soeharto sebagai pimpinan militer, melancarkan aksi-aksinya untuk melumpuhkan mula-mula kekuatan PKI, kemudian juga kekuatan Bung Karno. Pada dasarnya Golkar dan TNI-AD merupakan tulang punggung rezim militer Orde Baru. [16]
Semua politik Orde Baru diciptakan dan kemudian dilaksanakan oleh pimpinan militer dan Golkar. Selama puluhan tahun Orde Baru berkuasa, jabatan-jabatan dalam struktur eksekutif, legislatif dan yudikatif, hampir semuanya diduduki oleh kader-kader Golkar. Keluarga besar Golongan Karya sebagai jaringan konstituen, dibina sejak awal Orde Baru melalui suatu pengaturan informal yaitu jalur A untuk lingkungan militer, jalur B untuk lingkungan birokrasi dan jalur G untuk lingkungan sipil di luar birokrasi. Pemuka ketiga jalur terebut melakukan fungsi pengendalian terhadap Golkar lewat Dewan Pembina yang mempunyai peran strategis. Jadi Pimpinan Pemilu dalam pemilu Golkar yang berlambang beringin ini selalu tampil sebagai pemenang. Kemenangan Golkar selalu diukir dalam pemilu di tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. [17]
Arus reformasi bergulir. Tuntutan mundur Presiden Soeharto menggema di mana-mana. Soeharto akhirnya berhasil dilengserkan oleh gerakan mahasiswa. Hal ini kemudian berimbas pada Golkar. Karena Soeharto adalah penasehat partai, maka Golkar juga dituntut untuk dibubarkan. Saat itu Golkar dicerca di mana-mana. Akbar Tandjung yang terpilih sebagai ketua umum di era ini kemudian mati-matian mempertahankan partai. Di bawah kepemimpinan Akbar, Golkar berubah wujud menjadi Partai Golkar. Saat itu Golkar juga mengusung citra sebagai Golkar baru. Upaya Akbar tak sia-sia, dia berhasil mempertahankan Golkar dari serangan eksternal dan krisis citra, inilah yang membuat Akbar menjadi ketua umum Golkar yang cukup legendaris. Partai Golkar kemudian ikut dalam Pemilu 1999, berkompetisi bersama partai-partai baru di era multipartai. Pada pemilu pertama di Era Reformasi ini Partai Golkar mengalami penurunan suara di peringkat ke dua di bawah PDIP dengan. Namun pada pemilu berikutnya Golkar kembali unggul. Pada pemilu legislatif 2004 Golkar menjadi pemenang pemilu legislatif dengan 24.480.757 suara atau 21,58% suara sah.[18]
Pada pemilu legislatif 2009, suara Partai Golkar kembali turun ke posisi dua. Pemenang pemilu dipegang oleh Partai Demokrat. Kemudian, Munas VIII di Pekanbaru menjadikan Aburizal Bakrie terpilih sebagai ketua umum menggantikan Jusuf Kalla. Sebagai pimpinan baru partai beringin, Aburizal bertekad akan kembali membawa Golkar memenangkan pemilu, namun pada pemilu 2014 Partai Golkar kembali menduduki posisi dua dibawah PDIP sebagai pemenang pemilu. Selain tidak berhasil meraih target Partai Golkar sebagai pemenang pemilu 2014, pada masa kepemimpinan ARB terjadi konflik di tingkat DPP Partai Golkar, hal ini tiada lain disebabkan perseteruan kekuasaan antara kubu Munas Bali yang dipelopori Abu Rizal Bakri dan Munas Ancol yang dipelopori Agung Laksono.
Indra Jaya Piliang seorang tim ahli dari kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi berpendapat ada beberapa hal atau kronologis yang menyebabkan konflik di DPP Golkar terjadi, yaitu :
Pertama, pemberian mandat kepada Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie dalam Rapimnas VI Partai Golkar di Jakarta. Mandat itu berisi dua opsi, yakni (1) menetapkan ARB sebagai Calon Presiden atau Calon Wakil Presiden Partai Golkar, dan (2) memberikan mandat penuh kepada ARB untuk menjalin komunikasi dan koalisi dengan partai politik manapun. Fakta politik yang terjadi, ARB tidak menjadi Capres atau Cawapres, melainkan mengusung pasangan Capres Prabowo Subianto dan Cawapres Hatta Rajasa. Padahal, dalam pemahaman yang berbeda, mandat penuh hanya diberikan dalam konteks ARB sebagai Capres atau Cawapres, bukan malah membawa Partai Golkar untuk mengusung pasangan Capres dari non kader dan partai politik lain.
Kedua, upaya Partai Golkar mengusung Prabowo-Hatta ternyata tidak diikuti oleh semua pengurus, fungsionaris dan kader Partai Golkar. Secara terbuka, atau tertutup, beberapa pengurus, fungsionaris dan kader mendukung pasangan Jokowi-JK. Keberadaan JK sebagai mantan Ketua Umum Partai Golkar menjadi alasan utama dibalik dukungan itu. Di sinilah drama dimulai. Janji yang diucapkan ARB untuk tidak memecat kader seperti itu, ternyata dilanggar. Padahal, berkali-kali ARB mengatakan bahwa pengurus atau fungsionaris yang bersangkutan cukup meletakkan jabatan, selama Pilpres berlangsung. Proses inilah yang bermuara kepada pemecatan tiga orang kader Partai Golkar dari keanggotaan partai, yakni Agus Gumiwang Kartasasmita, Nusron Wahid dan Poempida Hidayatullah.
Ketiga, masalah baru kemudian muncul, yakni waktu pelaksanaan Munas Partai Golkar. Kader-kader senior yang terlibat dalam Munas Riau, mengingatkan soal perbedaan antara Anggaran Dasar Partai Golkar dengan rekomendasi Munas. Sesuai dengan amanat pasal 30 Anggaran Dasar Partai Golkar, Munas adalah pemegang kekuasaan tertinggi partai yang diadakan sekali dalam 5 (lima) tahun. Mengingat Munas Riau 2009 berakhir pada tanggal 08 Oktober 2009, berarti Munas Partai Golkar dilaksanakan selambat-lambatnya tanggal 08 Oktober 2014. Hanya saja, ada rekomendasi Munas Riau yang menyebutkan perpanjangan waktu kepengurusan, sampai tahun 2015. Upaya untuk mendesak agar Munas Partai Golkar disesuaikan dengan AD Partai Golkar dilakukan.
Keempat, bukannya malah berupaya memberikan penjelasan yang memadai menyangkut perbedaan tafsiran antara penganut AD Partai Golkar versus rekomendasi Munas Riau, DPP Partai Golkar dibawah ARB malahan memberikan sanksi kepada pengurus DPP Partai Golkar yang mendesak Munas dilaksanakan sesuai dengan AD Partai Golkar. Sejumlah pengurus dicopot atau digeser dari jabatannya. Bahkan, muncul ucapan, “Apa mereka yang menghendaki Munas Oktober 2014 itu tidak ingat Surat Keputusan sebagai Dewan Pengurus DPP Partai Golkar?” Konflik ini bisa diselesaikan, walau tetap saja sejumlah pengurus DPP Partai Golkar hilang dalam struktur DPP Partai Golkar, nyaris tanpa komunikasi politik yang cukup.
Kelima, situasi baru muncul, akibat voting menyangkut UU tentang Pemilihan Langsung Kepala Daerah di DPR RI. Sebelas anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golkar ternyata mendukung opsi pemilihan langsung kepala daerah. Sanksi kemudian datang dengan cepat, yakni pencopotan dari jabatan struktural di dalam tubuh Partai Golkar. Konflik baru ini masih terbatas, tidak meluas. Kalangan elite Partai Golkar malah semakin giat melakukan konsolidasi untuk menghadapi Munas pada bulan Januari 2015. Kandidat-kandidat Ketua Umum Partai Golkar bermunculan, antara lain Agung Laksono, MS Hidayat, Airlangga Hartarto, Priyo Budi Santoso, Hadjriyanto Thohari, Zainuddin Amali dan Agus Gumiwang. Kandidat-kandidat yang bersaing itu melakukan konsolidasi secara diam-diam atau terang-terangan.
Keenam, konflik baru muncul, akibat pergerakan di lapangan. Atas nama DPP Partai Golkar, terjadi penggalangan politik untuk mengusung ARB sebagai Calon Ketua Umum Partai Golkar untuk kedua kalinya. Gerakan itu melibatkan DPD-DPD I Partai Golkar. Pertemuan-pertemuan tertutup diadakan, baik di Jakarta, maupun di masing-masing pulau atau provinsi. Masalahnya, antara gerakan politik dengan ucapan berseberangan. Hal inilah yang memicu desas-desus politik yang sulit dikendalikan. Desas-desus itu bertambah runyam, ketika kandidat Ketua Umum Partai Golkar diluar ARB dibatasi pergerakannya. Bahkan, atas nama revitalisasi kepengurusan, sejumlah pengurus Partai Golkar di daerah-daerah digeser atau dicopot dari jabatannya, mengulangi  pola yang terjadi dalam tubuh DPP Partai Golkar.
Ketujuh, masalah jegal-menjegal tentu sudah “biasa” di kalangan politisi, hanya saja tercium upaya agar Munas Partai Golkar dilakukan tidak sesuai dengan jadwal yang sudah “sama-sama dimaklumi”, yakni Januari 2015. Dalam keadaan semacam itu, diadakan Rapat Pleno DPP Partai Golkar guna mencarikan jalan keluar. Rapat Pleno memutuskan agar Rapimnas VII Partai Golkar sama sekali tidak membahas agenda Munas Partai Golkar, melainkan hanya membahas isu-isu aktual. Sebelum Rapat Pleno diadakan, sudah terjadi Rapat Koordinasi Partai Golkar dengan menghadirkan DPD-DPD I di Bandung. Skenario tertutupnya adalah Munas dilakukan sesegera mungkin, dengan tujuan memenangkan ARB sebagai Ketum. Namun, upaya itu berhasil dipatahkan dalam Rapat Pleno DPP Partai Golkar. Walau demikian, pergerakan politik terus dilakukan, yakni pertemuan informal antara DPD I Partai Golkar dengan Nurdin Halid di Bali. Secara bersama-sama, mereka ingin datang ke acara Rapimnas VII Partai Golkar di Yogyakarta, langsung dari Bali.
Kedelapan, situasi menjadi matang, ketika Rapimnas VII Partai Golkar di Yogyakarta ternyata membahas agenda Munas Partai Golkar. Jadwal Munas disepakati, yakni 30 November – 2 Desember 2014. Tempat Munaspun ditetapkan, yakni Bandung, dengan opsi Surabaya dan Bali. Para pengurus DPP Partai Golkar yang berbeda tafsiran menyangkut kewenangan Rapimnas, sebagaimana diatur dalam AD-ART Partai Golkar, sama sekali diabaikan.
Kesembilan, konflik yang bersifat tertutup kemudian menjadi terbuka, diawali ketika diadakan Rapat Pleno DPP Partai Golkar guna mengesahkan rancangan materi Munas Partai Golkar. Walau mengusai penuh arena Rapimnas Partai Golkar yang dikendalikan oleh DPD-DPD I Partai Golkar, ternyata mayoritas pengurus DPP Partai Golkar semakin sulit dikendalikan. Kedatangan “AMPG” yang berpakaian lengkap, baru dan berjalan rapi, ternyata mengundang sentimen baru. Dalam waktu beberapa saat saja, muncul ratusan “AMPG” lagi, sehingga memicu konflik terbuka. Rapat Pleno DPP Partai Golkar gagal dilaksanakan, terutama dalam rangka mendengarkan paparan SC Munas, guna disahkan sebagai draft Munas Partai Golkar pada masing-masing komisi. Upaya untuk menskor Rapat Pleno, ternyata berbuah kepada perebutan palu. Ketua Umum Partai Golkar ARB dan Sekjen DPP Partai Golkar Idrus Marham kemudia dipecat, karena dianggap tidak mampu melanjutkan Rapat Pleno hingga selesai, sebagai syarat legal guna menuju arena Munas. Sejak saat itulah, terbentuk Pejabat Sementara Ketua Umum Partai Golkar, lalu Presidium Penyelamat Partai Golkar sebagai wadah politiknya. DPP Partai Golkar dikuasai secara penuh.
Kesepuluh, walau tidak berhasil mengendalikan DPP Partai Golkar, serta dalam status pemecatan terhadap Ketua Umum dan Sekjen, Munas Partai Golkar tetap diselenggarakan di Bali, pada tanggal November – 2 Desember 2014. Perbedaan pendapat terjadi, termasuk di kalangan Presidium Penyelamat Partai Golkar. Munas Partai Golkar di Bali dipantau dari dekat. Upaya islah yang coba dilakukan oleh Dr Akbar Tandjung ternyata tidak berhasil. Sesuai dengan upaya dan skenario yang sudah dilakukan sebelumnya, terjadi Laporan Pertanggungjawaban Ketua Umum Partai Golkar yang sudah tidak lagi mewakili mandat yang dibawa dari Rapat Pleno DPP Partai Golkar.  
Kesebelas, tanpa menunggu waktu lama sesuai dengan ketentuan yang ada dalam UU tentang Partai Politik berkaitan dengan pendaftaran kepengurusan, DPP Partai Golkar dengan pejabat sementara Ketua Umum Agung Laksono, melakukan Munas di Ancol pada 6-8 Desember 2014. Kedua Munas melahirkan dua kepengurusan. Proses pendaftaran kepada Kementerian Hukum dan HAM dilakukan pada hari yang sama, yakni 08 Desember 2014. Lalu, disinilah dimulai etape berikutnya menyangkut keberadaan Partai Golkar ke depan.[19]
Permasalahan yang timbul di partai golkar berimplikasi pada dewan pimpinan daerah partai golkar, khususnya di daerah jawa barat. Timbul rasa saling curiga antar pengurus, saat kepemimpinan pusat terbagi menjadi dua kubu yaitu antara kubu ARB berdasarkan munas Bali, kubu AL berdasarkan munas Ancol. Dengan demikian, kegiatan-kegiatan daerah mengalami hambatan yang cukup signifikan, khususnya di tingkat provinsi yang garis koordinasinya sangat dekat dengan kepemimpinan pusat. Dewan Pengurus Daerah Golkar Jabar seakan dikebiri oleh situasi pusat yang memiliki dampak signifikan terhadap proses politik golkar jabar. Selain itu, perebutan dukungan daerah menjadi hal yang sangat dihawatirkan oleh Dewan Pimpinan Daerah Partai, sebab jika pergerakan ini begitu masif digencarkan oleh kedua kubu, maka akan terjadi perpecahan besar di internal Partai Golkar.
Selain itu, terdapat permasalahan lain yang menyebabkan kondisi DPD Golkar Jabar mengalami kemunduran yang cukup signifikan. Terjeratnya kasus korupsi PLTU Ketua DPD Golkar Jabar, menjadikan kepengurusan DPD Golkar Jabar benar-benar terlihat fakum, sehingga mayoritas pengurus partai lebih memilih untuk menantikan hasil dari keputusan hukum tersebut. Ditambah dengan transisi masa kepemimpinan yang memasuki fase akhir dalam kepengurusan, sehingga semangat akan berorganisasi dalam partai kian menurun. Permasalahan ini benar-benar memberikan efek nyata pada kondisi aktual Partai Golkar Jawa Barat, selagi kisruhnya kepemimpinan pusat serta penyelesaian kasus Ketua DPD Golkar Jabar, maka peran dan fungsi Partai Golkar Jawa Barat akan semakin menurun. Hal ini, dapat dibuktikan melalui kosongnya kegiatan partai dari hari ke hari, sedangkan Visi dan Misi organisasi menuntut untuk terus disempurnakan dalah hal aktualisasinya, serta minimnya pemberdayaan pengurus beserta staf sekretariat DPD Golkar Jabar. Sehingga pengurus partai kian sedikit, serta staff kesekretariatan sendiri mengalami kebingungan terhadap hal apa saja yang harus mereka kerjakan. Dengan menurunnya peran pengurus dalam menjalankan kewajibannya sebagai pengurus organisasi, maka dengan demikian peran dan aksi strategis Partai Golkar Jawa Barat mengalami kemunduran yang signifikan.
3.2.Analisis
Umumnya terdapat beberapa hal yang menjadikan kinerja pengurus partai golkar jabar mengalami kemunduran yang signifikan, yaitu :
Pertama, kondisi kepengurusan internal partai yang sebentar lagi akan mengalami pembaharuan, atau kondisi kepengurusan yang memasuki fase akhir periode. Seiring dengan hampir habisnya masa kepemimpinan Yance dalam membina dan mengarahkan Partai Golkar Jabar, maka kepengurusan yang disahkan pada tahun 2011 ini,[20] mengalami penurunan semangat beroganisasi. Sehingga terkesan hadirnya penantian akan pembaharuan dari kepengurusan DPD Partai Golkar Jabar.
Kedua, konflik di tingkat pusat memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap kondisi internal partai, khususnya Partai Golkar Jabar. Terpecahnya kepemimpinan pusat, tentunya berimplikasi pada kepemimpinan daerah, meskipun setiap daerah menyikapi untuk menjaga keutuhan golkar, khususnya Jawa Barat mengambil sikap untuk senantiasa menjunjung tinggi kepentingan organisasi, bukan kepentingan segelintir orang. Sehingga, Partai Golkar Jabar tidak begitu concern dalam menyikapi permasalahan pusat, namun berusaha keras menjaga keutuhan golkar dan terfokus menjaga stabilitas politik di dalam internal partai, meskipun terdapat ke khawatiran dan rasa saling curiga antara kader satu dan lainnya, akan penentuan sikap personal terhadap situasi konflik ini.[21]
Bapak Drs. H. Iwa Sungkawa, SH, MH selaku Wakil Ketua Bidang Hukum dan HAM memetakan permasalahan pusat berawal dari tujuan partai golkar yang gagal dalam merealisasikan pemilihan umum daerah oleh DPRD yang ditangkis oleh Perpu Presiden SBY yang menolak akan pelaksanaan pemilu oleh DPRD. Melalui desain Koalisi Merah Putih, diharapkan partai Golkar dapat menjadi sendi-sendi kepemimpinan daerah, setelah memutuskan untuk tidak mengajukan calon presiden dari internal partai sendiri dan mengusung Prabowo-Hatta sebagai kandidat dalam pemilihan presiden 2014. Namun, menurutnya hal yang paling krusial menimbulkan konflik adalah agenda setting kepemimpinan ARB yang mengarah pada aklamasi dan tidak mendorong kontestasi pemilihan ketua umum Golkar. Dengan demikian, timbullah beberapa pihak yang merasa dirugikan oleh agenda setting tersebut, maka muncullah munas Ancol yang lahir atas kekecewaan hasil-hasil dari munas Bali.
Ketiga, terjeratnya kasus korupsi PLTU ketua DPD Golkar Jabar. Status tersangka yang disandang Yance otomatis membuatnya harus mengalami pemeriksaan intens dengan aparat terkait, sehingga Yance untuk sementara waktu ditahan karena kasus yang menimpanya. Dengan demikian, mandat kepemimpinan organisasi sementara waktu diberikan kepada Wakil Ketua I Bidang Organisasi. Namun peran ketua yang memiliki pengaruh besar, akan sangat berdampak karena kebijakan organisasi seutuhnya ada ditangannya. Mandat sementara diberikan kepada Pa Budiman selaku Wakil Ketua I bidang Organisasi sekaligus sebagai Insan yang dituakan karena umurnya yang telah menginjak 74 tahun, selain itu karena statusnya sebagai ketua MKGR Provinsi Jawa Barat. Meskipun kepemimpinan sementara telah diestafetkan, namun tetap saja, pengaruh Yance sangatlah besar di internal Partai Golkar Jawa Barat. Hal ini dibuktikan dengan penolakan tegas pengurus partai atas apa yang diajukan oleh pihak DPP Agung Laksono agar setiap provinsi mengadakan PLT sementara. Begitu pun dengan cabang-cabang di Jawa Barat yang masih mengakui Yance sebagai Ketua DPD Golkar Jabar.[22]
Keempat, biaya politik yang tinggi, seiring dengan terjadinya konflik di tingkat pusat, serta ditahannya ketua DPD Golkar Jabar. Maka pendapatan organisasi pun senantiasa mengurang, dengan demikian program-program tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya, karena membutuhkan biaya yang tinggi untuk merealisasaikannya. Selain itu, terdapat guyonan “Ada uang program jalan, tak ada uang orang pada ngilang”. Umumnya setiap orang yang berkesempatan menjadi ketua, memiliki kekayaan diatas rata-rata sehingga ia dapat membantu keuangan organisasi, maka dari itu, sumbangan dari anggota DPRD yang masih menjabat serta iuran kader golkar mungkin hanya mencukupi biaya oprasional sekretariat saja. Dengan demikian peran serta ketua dalam membantu finansial organisasi menjadikannya memilki pengaruh yang begitu besar, terhadap kelangsungan organisasi.
Umumnya terdapat empat faktor tersebut yang menyebabkan menurunnya peran dan fungsi, khususnya kinerja pengurus maupun staf Partai Golkar, Khususnya DPD Jawa Barat.
BAB IV
PENUTUP
4.1. Simpulan
partai politik sebagai kumpulan warga negara yang teroganisir dan berupaya untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan sesuai dengan ideologi atau asas perjuangannya masing-masing, berkontestasi dalam pemilihan umum, demi mendapatkan legitimasi publik untuk mengirimkan kader-kadernya sebagai pejabat publik dalam ruang lingkup pemerintahan. Dengan demikian hendaknya melakukan tugas dan fungsinya dalam Sosialisasi politik, Rekruitmen politik, Partisipasi politik, Pemadu kepentingan, Komunikasi politik, Pengendalian konflik, Kontrol politik.
            Partai Golkar sebagai salah satu partai politik terbesar di Indonesia memiliki eksistensi yang tidak diragukan lagi di kancah nasional. Namun kini, seiring dengan sejarahnya yang melegenda dalam tatanan politik negeri partai golkar dihadapkan pada permasalahan yang cukup rumit, ketika Dewan Pimpinan Pusat terbagi menjadi dua bagian. Dengan demikian, hal ini akan membawa pengaruh pada konstelasi politik daerah, khususnya Jawa Barat. Berbagai macam dinamika yang terjadi di internal DPD Golkar Jabar menggambarkan situasi yang terus dinamis, terlebih masa fakumnya Golkar Jabar dikarenakan memasuki masa transisi kepemimpinan, adanya konflik di tingkat pusat, serta penjatuhan status tersangka kepada Ketua DPD Golkar Jabar. Hal tersebut memiliki dampak yang cukup signifikan terhadap keberlangsungan dan proses politik Partai Golkar khususnya di daerah Jawa Barat. Tiada lain, hal yang paling terasa adalah menurunnya kinerja fungsionaris organisasi yang pada umumnya diakibatkan oleh beberapa faktor tersebut.
4.2.Saran
Sebagai Partai Politik yang matang secara pengalaman, hendaknya Partai Golkar dapat memaksimalkan peran dan fungsi idealnya sebagai partai politik. Sehingga permasalahan-permasalahan yang ada saat ini dapat diselesaikan dengan baik. Permasalahan di tingkat pusat dapat diselesaikan melalui rekonsiliasi kedua pihak untuk menjaga keutuhan partai golkar. Serta mengejar ketertinggalan atas proses politik yang terjadi, karena adanya permasalahan internal yang sangat krusial.
            Setiap politisi partai hendaknya lebih berhati-hati dalam menjalankan program-program pemerintahan, khususnya dalam pembangunan yang tentunya senantia berkaitan dengan project dan anggaran yang besar. Kasus penahanan Yance menjadi bukti bahwa tindak korupsi dapat disadari maupun tidak, bisa jadi politisi tersebut sebagai koruptor atau bahkan hanya menjadi alat untuk dipolitisasi sehingga ia dikategorikan koruptor padahal tidak korupsi sama sekali. Dengan demikian, wawasan akan tata kelola pemerintahan haruslah dimiliki oleh setiap politisi, selain itu dukungan norma serta agama akan senantiasa memiliki pengaruh positif terhadap perilaku politisi. Hal ini dapat direalisasikan melalui pola rekruitmen partai politik yang baik, serta kaderisasi partai yang tentunya bertujuan untuk membentuk insan unggul yang dapat memimpin negeri ini ke arah yang lebih baik.










DAFTAR PUSTAKA     
Budiardjo, Miriam. 2013. Dasar-Dasar Ilmu Politik (edisi Revisi, Cetakab Ketiga). Gramedia, JakartaAmal, Ichlasul. 1988. Teori-Teori Mutakhir Partai Politik. PT Tiara Wacana, Yogyakarta.
Austin Ranney, Governing: An Introduction to Political Science, New Jersey : Prntice-Hall International, Inc, 1990.
A. Sahid Gatara, Ilmu Politik : Memahami dan Menerapkan, Pustaka Setia:Bandung.
Michael G. Roskin (et al.), Political Science: An Introduction, New Jersey: Prentice Hall Inc.
Undang-Undang Partai Politik No. 31 Thun 2002.
Charles F. Adrain. 1988. Political Change in The Third World. Boston: Unwin Heyman.
Ramlan Subakti,1992,  Memahami Ilmu Politik, Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
http://partaigolkar.or.id/golkar/sejarah-partai-golongan-karya/ diakses pada tanggal 13 Juni 2015
Keputusan dewan pimpinan pusat partai golongan karya, nomor : KEP-134/DPP/GOLKAR/X/2011




[1] Budiardjo, Miriam. 2013. Dasar-Dasar Ilmu Politik (edisi Revisi, Cetakab Ketiga). Gramedia, Jakarta
[2] Amal, Ichlasul. 1988. Teori-Teori Mutakhir Partai Politik. PT Tiara Wacana, Yogyakarta. Hlm 27
[3] http://www.tempo.co/topik/masalah/546/konflik-partai-golkar diakses pada tanggal 06 Juni 2015, pukul 11:45 am
[4] Austin Ranney, Governing: An Introduction to Political Science, New Jersey : Prntice-Hall International, Inc, 1990, Hlm. 223.
[5] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004, hlm. 114-115.
[6] A. A. Sahid Gatara, Ilmu Politik : Memahami dan Menerapkan, Pustaka Setia:Bandung., hlm. 191
[7] Michael G. Roskin (et al.), Political Science: An Introduction, New Jersey: Prentice Hall Inc., hlm. 202.
[8] Miriam Budiardjo, Op cit., hlm. 160-161.
[9] A. A. Sahid Gatara, op cit., hlm. 192-193
[10] Undang-Undang Partai Politik No. 31 Thun 2002.
[11] Bandingkan dengan Charles F. Adrain. 1988. Political Change in The Third World. Boston: Unwin Heyman. Hlm. 6-21.
[12] Ramlan Subakti,1992,  Memahami Ilmu Politik, Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia., hlm 117-121.
[13]http://nasional.kompas.com/read/2014/05/09/2357075/Disahkan.KPU.Ini.Perolehan.Suara.Pemilu.Legislatif.2014
[14] http://partaigolkar.or.id/golkar/sejarah-partai-golongan-karya/ diakses pada tanggal 13 Juni 2015
[15] ibid
[16] ibid
[17] ibid
[18] ibid
[20] Keputusan dewan pimpinan pusat partai golongan karya, nomor : KEP-134/DPP/GOLKAR/X/2011
[21] Diskusi bersama Wakil Ketua I bidang Organisasi, yaitu Bapak Budiman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Lowell Barrington, Comparative Politics Structures and Choices (Australia: Wadsworth, 2013), 227-257. & Peter Calvert, Comparative Politics: An Introduction (Harlow: Pearson, 2002), 297-320.

Bagaimanakah menghubungkan elite dan massa dalam proses politik? Literatur kali ini membahas dan mengeksplorasi konsep-konsep mengenai el...