BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Demokrasi
yang kini kian didengungkan di berbagai negara, khususnya di negara ketiga.
Memiliki tujuan khusus sebagai pola untuk mencapai kesejahteraan. Seiring
dengan prosesnya, partai politik dan pemilihan umum menjadi esensi utama
penopang demokrasi. Melalui partai politik yang dimaknai sebagai lembaga formal
untuk meraih kekuasaan, serta pemilihan umum sebagai ajang kontestasi dari
partai politik dan masyarakat untuk menentukan jabatan politis yang memiliki
pengaruh besar terhadap arah kebijakan yang ditetapkan dalam satu teritorial
kekuasaan. Dengan demikian, partai politik dan pemilihan umum merupakan
instrumen penting dalam proses demokrasi, sehingga segala bentuk atau pola yang
ditetapkan dalam partai politik maupun pemilihan umum akan mempengaruhi nilai-nilai
dari demokrasi itu sendiri. Oleh karena itu, segala bentuk permasalahan yang
terjadi dalam ruang lingkup partai politik dan pemilihan umum, akan menghambat
tujuan utama demokrasi dalam mencapai kesejahteraan.
Demokrasi yang menghendaki adanya asas
partisipasi dalam prosesnya, antara lain diwujudkan melalui partai politik
sebagai peserta pemilihan umum, dan masyarakat sebagai pemilih dalam pemilihan
umum. Melalui pola tersebut, dapat kita pahami makna dari demokrasi, bahwa
kekuasaan atau mandat rakyat dihasilkan melalui proses pemilihan umum dan melahirkan
keterwakilan politik sebagai representasi dari demokrasi. peran strategis
partai politik dalam demokrasi, menjadikannya sebagai instrumen penting dalam
negara demokrasi. Hal ini dikarenakan partai politik merupakan organisasi yang
sangat berkaitan dengan pemilihan umum, serta peran dan tujuannya adalah
memenangkan pemilihan umum dan mengelola kekuasaan yang diperolehnya setelah
memenangkan ajang kontestasi tersebut.
Sebagaimana Carl J. Friedrich berpendapat bahwa Partai Politik merupakan sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan.[1] Besarnya peran partai
politik, khususnya pemenang pemilihan umum dalam menentukan arah kebijakan
nasional maupun di tingkat lokal. Sehingga, partai politik berlomba untuk
meraih suara yang sebesar-besarnya melalui berbagai cara dan aturan organisasi yang
telah ditetapkan. Oleh karena itu, setiap partai politik berupaya dengan sebaik
mungkin mempersiapkan program-program yang berimplikasi pada perolehan suara
dalam ajang kontestasi pemilihan umum. Dengan demikian, maka diperlukan situasi
yang dinamis namun tetap stabil bagi setiap partai politik, agar senantiasa
memiliki peran dalam setiap momentum politik nasional maupun lokal.
Stabilitas organisasi partai politik sangatlah penting untuk
dipertahankan, hal ini dikarenakan potensi konflik yang besar akan terjadi bila
terdapat persinggungan dan ego yang tinggi di setiap kader kandidat pimpinan
partai politik. Hal ini, akan memiliki pengaruh terhadap proses politik yang
terjadi dalam pemerintahan. Khususnya bila konflik itu terdapat dalam ruang
lingkup partai politik pemenang pemilu di tingkat nasional maupun daerah.
Karena jika terjadi konflik yang cukup krusial, dapat mengakibatkan semakin
lemahnya fungsi partai politik yang menurut menurut Roy
C. Macridis digambarkan
dalam beberapa fungsi, yaitu : Representasi (perwakilan),
konversi dan agregasi; Integrasi (partisipasi,
sosialisasi, mobilisasi); Persuasi, represi, rekrutmen (pengangkatan
tenaga-tenaga baru), dan pemilihan pemimpin, pertimbangan-pertimbangan dan
perumusan kebijaksanaan serta kontrol terhadap pemerintah.[2]
Seperti halnya, Partai Golongan Karya yang saat ini memiliki konflik
internal terkait permasalahan posisi Ketua Umum dan kepengurusannya di DPP
(Dewan Pimpinan Pusat) Partai Golkar.[3]
Hal ini, berimplikasi pada situasi politik kepengurusan Partai Golkar di
tingkat daerah, khususnya di Jawa Barat. Selain itu, Dewan Pimpinan Daerah
Golkar Jabar memiliki permasalahan lain, terkait dengan ketua DPD Golkar Jabar
yang terjaring kasus korupsi. Sehingga, permasalahan yang ada di pusat dan
daerah, masing-masing memiliki pengaruh terhadap kondisi internal Partai Golkar
Jabar, sehingga menyebabkan situasi yang stagnan bahkan kemunduran yang
signifikan disisi kinerja pengurus partai.
1.2. Identifikasi
Masalah
Strategisnya
peran partai politik dalam menentukan kebijakan nasional maupun lokal
menjadikan lembaga ini perlu berkontestasi dalam ajang pemilihan umum, demi
mendapatkan legitimasi yang sah sebagai pemegang jabatan politik, bila dapat
menjadi pemenang pemilu. Akan tetapi, dalam prosesnya stabilitas politik
internal partai sangatlah penting untuk dijaga, karena hal ini akan berakibat
pada partisipasi suatu partai politik dalam pemilihan umum. Bila terjadi
konflik internal partai, maka keikutsertaan partai politik tidak akan
sepenuhnya totalitas, apalagi dalam nuansa kontestasi yang sangat ketat,
sehingga soliditas partai sangatlah diperlukan untuk memenangkan pemilihan umum
tersebut.
Partai Golkar merupakan salah satu
partai besar di Indonesia, sudah tidak asing lagi bila partai ini menjadi
penguasa di negeri ini. Akan tetapi, melihat peta politik yang semakin
kompleks, ditengah terbentuknya koalisi indoneia hebat dan koalisi merah putih,
serta kondisi politik yang semakin dinamis, akankah partai ini dapat terus
menjaga eksistensinya dalam kancah politik nasional? Hal ini akan semakin
menjadi problema di tengah situasi konflik internal partai golkar di tingkat
pusat dan permasalahan lain partai golkar di tingkat daerah, khususnya peran
dan sikap dari Dewan Pimpinan Daerah Golkar Jabar. Oleh karena itu, penulis
mencoba menelaah lebih dalam terkait permasalahan yang ada dalam ruang lingkup
Dewan Pimpinan Daerah Golongan Karya Jawa Barat. Maka dari itu,demi tersusunnya
makalah yang sistematis dan kerangka acuan dalam proses pembahasan, maka
penulis rumuskan beberapa pertanyaan berikut :
1.
Apa yang dimaksud dengan partai politik ?
2.
Bagaimana idealnya partai politik dalam menjalankan peran dan fungsinya?
3.
Bagaimanakah sejarah terbentuknya partai golongan karya?
4.
Bagaimana capaian peran dan fungsi partai golkar sebagai partai politik?
5.
Mengapa terjadi konflik antara Abu Rizal Bakrie dan Agung Laksono,
sehingga kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat Golongan Karya diperebutkan oleh
mereka?
6.
Bagaimana dampaknya terhadap situasi politik Dewan Pimpinan Daerah Golongan
Karya Jawa barat?
7.
Apa yang menjadi permasalahan krusial DPD Golkar Jabar di tahun 2015?
8.
Bagaimana dampak dari Konflik DPP dan permasalahan internal DPD Golkar
Jabar terhadap kinerja pengurus partai?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Partai politik dapat
dijelaskan melalui dua aspek, yaitu aspek karakteristik dan aspek definitif.
Aspek karakteristik dikategorikan dalam lima ciri fundamental, yaitu :
1.
Berwujud
kelompok-kelompok masyarakat yang beridentitas (they are groups of people-whom
labels, are generally applied by both themselves and others).
2.
Terdiri dari
beberapa orang yang terorganisasi, yang dengan sengaja bertindak untuk mencapai
tujuan partai (some of people are organized, that is they deliberately act
together to achieve party goals).
3.
Pengakuan dari
masyarakat akan legitimasi partai politik berupa hak-hak untuk
mengorganisasikan dan mengembangkan diri mereka (the larger society rocognizes
as legitimate the rights of parties to organize and promote their causes).
4.
Diantara beberapa
tujuannya adalah mengembangkan aktivitas-aktivitas, partai bekerja melalui
mekanisme “pemerintahan yang mencerminkan pilihan rakyat” (in some of their
goal-promoting activities, parties work through the mechanisms of
representative government).
5.
Aktivitas inti
partai politik adalah menyeleksi kandidat unruk jabatan publik (a key activity
of parties is thus selecting candidates for elective public office).[4]
Lain halnya,
pendapat Lapalombara dan Weiner yang dikutip oleh Miriam Budiardjo, bahwa
partai politik adalah organisasi yang memiliki kegiatan berkesinambungan,
dengan kata lain, masa periode hidupnya tidak bergantung pada masa jabatan atau
masa hidup para pemimpinnya. Selain itu, menjadi organisai yang terbuk dan
permanen, tidak hanya berada di tingkat pusat, melainkan di tingkat lokal pun
memilki eksistensi yang jelas. Partai pemimpin di tingkat pusat dan lokal
memiliki keinginan kuat untuk mencarid an mempertahankan kekuasaan dalam rangka
membuat keputusan politik secara sendiri maupun berkoalisi dengan partai lain,
dan melakukan kegiatan mencari dukungan dari para pemilih melalui pemilihan
umum atau cara-cara lain untuk mendapatkan dukungan umum.[5]
Dengan demikian,
umumnya terdapat beberapa ciri pokok yang menggambarkan karakteristik dari
partai politi, yaitu :
1.
Berakar dalam
masyarakat lokal
2.
Melakukan kegiatan
secara terus menerus/berkesinambungan
3.
Berusaha
memperoleh dan mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan
4.
Ikut serta dalam
pemilihan umum
5. Ideologi sebagai identitas pemersatu dan sebagai
tujuan perjuangan partai[6]
Sementara dari
aspek definisi, terdapat pola yang dinamis dalam proses pemaknaannya, sehingga
definisi dari partai politik kini kian terus berkembang dan memiliki berbagai
keragaman makna. Akan tetapi, berikut kita coba pahami definisi partai politik
dari berbagai tokoh.
1.
Leon D. Epstein :
“political party is any group, however
loosely aorganized, seeking to elect government officeholders under a given
label.” (partai politik adalah setiap kelompok-kelompok, meskipun
terorganisasi secara sederhana, yang bertujuan mendapatkan jabatan publik dalam
pemerintahan, dengan identitas-identitas tertentu).[7]
2.
R. H. Soltau
mendefinisikan pratai politik sebagai berikut : “ A group of citizens more or less organized, who act as a political unit
and who, by the use of their voting power, aim to control the government and
carry out their general politicies.” (sekelompok warga negara yang sedikit
banyak teroganisasi, yang bertindak sebagai kesatuan politik dan memanfaatkan
kekuasaannya untuk memiliki-bertujuan menguasai pemerintahan dan melaksanakan
kebiksanaan umum mereka).[8]
3.
Alan Ware
mendefinisikan partai politik pada tiga kategori,“pertama, partai politik
sebagai institusi yang membawa rakyat secara bersama-sama dalam mencapai
kekuasaan di dalam negara. Partai melihat arti kegunaan legitimasi di dalam
mengejar tujuan akhir partai. Mereka merasa yakin dapat mengikuti pemilihan
umum dalam proses pengejawantanan program dan tujuan partai. Kedua, patai
sebafai lembafa yang mencari perwakilan kepentingan di dalam sebuah masyarakat.
Ketiga, partai politik adalah sekelompok orang atau masyarakat yang memiliki
kesamaan keyakinan (atau ideologi), nilai dan perilaku.”[9]
4. UU Partai Politik: “Partai Politik adalah organisasi
politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara
sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan
kepentingan anggota, masyarakat, bangsa, dan negara melalui pemilihan umum.”[10]
Berbagai macam
definisi partai politik, memahamkan kita pada suatu kondisi yang terus dinamis,
namun dapat kita pahami bahwa partai politik sebagai sekumpulan warga negara
yang teroganisir dan berupaya untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan
sesuai dengan ideologi atau asas perjuangannya masing-masing, berkontestasi
dalam pemilihan umum, demi mendapatkan legitimasi publik untuk mengirimkan
kader-kadernya sebagai pejabat publik dalam ruang lingkup pemerintahan.
Lalu, setelah
memahami konsep dan pemaknaan dari partai politik, hendaknya kita pahami peran
dan fungsi idealnya seperti apa. Seperti
halnya, Ramlan Subakti yang menggambarkan beberapa peran dan fungsi ideal
partai politik, yaitu sebagai berikut :
1.
Sosialisasi
politik : proses pemebentukan sikap dan orientasi politik masyarakat, melalui
hal ini masyarakat memperoleh sikap dan
orintasi terhadap kehidupan politik yang berlangsung dalam masyarakat.[11] Proses ini dilakukukan
secara berkesinambungan diperoleh melalui pendidikan formal, nonformal. Dari segi metode penyampaian pesan,
sosialisasi politik dibagi menjadi dua bagian, yakni pendidikan politik dan
indoktrinasi politik.
2.
Rekruitmen politik
ialah seleksi dan pemilihan atau seleksi dan pengangkatan seseorang atau
sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peranan dalam sistem politik pada
umumnya dan pemerintahan pada khususnya. Fungsi ini semakin terlihat bila
partai politik merupakan partai tunggal seperti dalam sistem politik totaliter,
atau manakala partai itu merupakan partai mayoritas dalam badan perwakilan
rakyat, sehingga berwenang membentuk pemerintahan dalam sistem politik
demokrasi.
3.
Partisipasi
politik ialah kegiatan warga negara dalam mempengaruhi proses pemebuatan
pelaksanaan kebijakan, serta ikur serta menentukan pemimpin pemerintahan. Dalam
hal ini, partai politik berfungsi untuk mendorong dan membuka kesemparan, serta
mengajak masyarakat untuk menggunakan partai politik sebagai saluran kegiatan
mempengaruhi proses politik.
4.
Pemadu
kepentingan, fungsi ini merupakan salah satu fungsi utama partai politik
sebelum mencari dan mempertahankan kekuasaan. Fungsi ini menjadi sangat
fundamental dalam sistem politik demokrasi. karena dalam sistem politik
totaliter, kepentingan dianggap seragam maka partai politik dalam sistem ini
kurang melaksanakan fungsi pemadu kepentingan.
5.
Komunikasi politik
ialah proses penyampaian informasi mengenai politik dari pemerintah kepada
masyarakt dan dari masyarakat kepada pemerintah. Dalam hal ini, partai politik
berfungsi sebafai komunikator politik yang tidak hanya menyampaikan segala
keputusan dan penjelasan pemerintah kepada masyarakat sebagaimana diperankan
oleh partai politik di negara totaliter tetapi juga menyampaikan aspirasi dan
kepentingan berbagai kelompok masyarakat kepada pemerintah.
6.
Pengendalian
konflik, partai politik sebagai salah satu lembaga demokrasi berfungsi untuk
mengendalikan konflik melalui cara berdialog dengan pihak-pihak yang
berkonflik, menampung dan memadukan berbagai aspirasi dan kepentingan dari
pihak-pihak yang berkonflik dan membawa permasalahan ke dalam musyawarah badan
perwakilan rakyat untuk mendapatkan penyelesaian berupa keputusan politik.
7. Kontrol politik ialah kegiatan untuk menunjukan
kesalahan, kelemahan dan penyimpangan dalam isi suatu kebijakan atau dalam
pelaksanaan kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah. Dalam
melakukan sesuatu kontrol politik atau penfawasan harus ada tolak ukur yang
jelas sehingga kegiatan itu bersifat relatif objektif.[12]
Beberapa fungsi
ideal partai politik menggambarkan perannya dalam membangun kehidupan politik
suatu negara. Peran dan fungsinya yang strategis, dikarenakan partai politik
sebagai lembaga formal politik yang berkontestasi dalam pemilihan umum dan senantiasa
membangun pola komunikasi, baik dikalangan pemerintah maupun masyarakat.
Sehingga partai politik memiliki peran yang begitu besar dalam proses politik.
Namun dewasa ini, terdengar celoteh melemahnya peran dan fungsi partai politik
di Indonesia. Selain itu, rasa ‘percaya’ masyarakat kepada partai politik pun
begitu mengurang, maka tak heran angka partisipasi dalam pemilihan umum di
Indonesia yang terkini belum mencapai 80%. Dengan demikian, posisi dan peran
yang strategisnya pun tidak bisa dioptimalkan, karena rasa ‘percaya’ masyarakat
yang kian memudar.
Indonesia sebagai
negara yang menganut sistem multi partai dalam proses politiknya, mengalami
dilema tersendiri, saat peran strategis partai tidak begitu dilihat oleh
masyarakat pada umumnya, melainkan stigma yang terbangun adalah money politics
yang senantiasa identik dengan kegiatan partai politik. Selain itu, oknum-oknum
politisi yang terkena hukuman, baik itu kasus korupsi atau hal lainnya,
menjadikan masyarakat cenderung berprasangka buruk pada hal-hal yang berbau
politik. Indonesia yang memiliki keberagaman budaya ditengah-tengah
masyarakatnya, mengadopsi sistem multi partai yang tentunya dipandang relevan
situasi dan kondisinya saat ini, hal ini seharusnya menjadi jembatan besar bagi
masyarakat untuk bisa menyalurkan aspirasinya, yang tentunya diakomodir oleh
partai politik sebagai lembaga penyalur kepentingan masyarakat pada umumnya.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Deskripsi/Uraiam Rinci dan Detil
Pada
tahun 2014, tercatat 15 Partai Politik yang telah terdaftar untuk berkontestasi
pada ajang Pemilihan Umum 2014. Salah satunya adalah Partai Golongan Karya
(Golkar), yang menjadi salah satu kontestan terkuat untuk memperoleh suara
masyarakat pada pemilihan umum 2014. Partai yang memiliki No urut ke lima ini,
menduduki peringkat kedua setelah PDIP dengan memperoleh suara sebanyak 14,75
%.[13]
Partai yang menyokong masa pemerintahan Orde Baru ini, selalu menjadi partai
pemenang dalam masa pemerintahan Orde Baru, sehingga masa 32 tahun kepemimpinan
Presiden Soeharto dapat ditopang dengan baik, hingga timbul masa reformasi pada
tahun 1998. Oleh karena itu, eksistensi Partai Golkar di kancah nasional tidak
dapat diragukan lagi, meski masa reformasi telah bergulir, partai ini selalu
dikategorikan sebagai partai besar yang memiliki begitu banyak pengalaman.
Partai Golkar bermula pada tahun 1964
dengan berdirinya Sekber Golkar di masa akhir pemerintahan Presiden Soekarno.
Sekber Golkar didirikan oleh golongan militer, khususnya perwira Angkatan Darat
( seperti Letkol Suhardiman dari SOKSI) menghimpun berpuluh-puluh organisasi
pemuda, wanita, sarjana, buruh, tani, dan nelayan dalam Sekretariat Bersama
GOLONGAN KARYA (Sekber Golkar). Sekber
Golkar didirikan pada tanggal 20 Oktober 1964. Sekber Golkar ini lahir karena
rongrongan dari PKI beserta ormasnya dalam kehidupan politik baik di dalam
maupun di luar Front Nasional yang makin meningkat. Sekber Golkar ini merupakan
wadah dari golongan fungsional/golongan karya murni yang tidak berada dibawah
pengaruh politik tertentu. Terpilih sebagai Ketua Pertama Sekber Golkar adalah
Brigadir Jenderal (Brigjen) Djuhartono sebelum digantikan Mayor Jenderal
(Mayjen) Suprapto Sukowati lewat Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) I, Bulan
Desember Tahun 1965. Jumlah
anggota Sekber Golkar ini bertambah dengan pesat, karena golongan fungsional
lain yang menjadi anggota Sekber Golkar dalam Front Nasional menyadari bahwa
perjuangan dari organisasi fungsional Sekber Golkar adalah untuk menegakkan
Pancasila dan UUD 1945. Semula anggotanya berjumlah 61 organisasi yang kemudian
berkembang hingga mencapai 291 organisasi. Organisasi-organisasi yang terhimpun
ke dalam Sekber GOLKAR ini kemudian dikelompokkan berdasarkan kekaryaannya ke
dalam 7 (tujuh) Kelompok Induk Organisasi (KINO), yaitu:
- Koperasi
Serbaguna Gotong Royong (KOSGORO)
- Sentral
Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI)
- Musyawarah
Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR)
- Organisasi
Profesi
- Ormas
Pertahanan Keamanan (HANKAM)
- Gerakan Karya
Rakyat Indonesia (GAKARI)
- Gerakan
Pembangunan untuk menghadapi Pemilu 1971
Ke-
7 (tujuh) KINO yang merupakan kekuatan inti dari Sekber GOLKAR tersebut, mengeluarkan
keputusan bersama pada tanggal 4 Februari 1970 untuk ikut menjadi peserta
Pemilu melalui satu nama dan tanda gambar yaitu Golongan Karya (GOLKAR). Logo
dan nama ini, sejak Pemilu 1971, tetap dipertahankan sampai sekarang.[14]
Pada
Pemilu 1971 ini, Sekber GOLKAR ikut serta menjadi salah satu kontestan. Pihak
parpol memandang remeh keikutsertaan GOLKAR sebagai kontestan Pemilu. Mereka
meragukan kemampuan komunikasi politik GOLKAR kepada grassroot level. NU, PNI
dan Parmusi yang mewakili kebesaran dan kejayaan masa lampau sangat yakin
keluar sebagai pemenang. Mereka tidak menyadari kalau perpecahan dan kericuhan
internal mereka telah membuat tokoh-tokohnya berpindah ke GOLKAR. Hasilnya di
luar dugaan. GOLKAR sukses besar dan berhasil menang dengan 34.348.673 suara
atau 62,79 % dari total perolehan suara. Perolehan suaranya pun cukup merata di
seluruh propinsi, berbeda dengan parpol yang berpegang kepada basis tradisional.
NU hanya menang di Jawa Timur dan Kalimantan Selatan, Partai Katholik di Nusa
Tenggara Timur, PNI di Jawa Tengah, Parmusi di Sumatera Barat dan Aceh.
Sedangkan Murba tidak memperoleh suara signifikan sehingga tidak memperoleh
kursi DPR. Kemudian, sesuai ketentuan dalam ketetapan MPRS mengenai perlunya
penataan kembali kehidupan politik Indonesia, pada tanggal 17 Juli 1971 Sekber
GOLKAR mengubah dirinya menjadi GOLKAR.[15]
GOLKAR
menyatakan diri bukan parpol karena terminologi ini mengandung pengertian dan
pengutamaan politik dengan mengesampingkan pembangunan dan karya. September
1973, GOLKAR menyelenggarakan Musyawarah Nasional (Munas) I di Surabaya. Mayjen
Amir Murtono terpilih sebagai Ketua Umum. Konsolidasi GOLKAR pun mulai berjalan
seiring dibentuknya wadah-wadah profesi, seperti Himpunan Kerukunan Tani
Indonesia (HKTI), Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) dan Federasi Buruh
Seluruh Indonesia (FBSI). Setelah Peristiwa G30S maka Sekber Golkar, dengan
dukungan sepenuhnya dari Soeharto sebagai pimpinan militer, melancarkan
aksi-aksinya untuk melumpuhkan mula-mula kekuatan PKI, kemudian juga kekuatan
Bung Karno. Pada dasarnya Golkar dan TNI-AD merupakan tulang punggung rezim
militer Orde Baru. [16]
Semua
politik Orde Baru diciptakan dan kemudian dilaksanakan oleh pimpinan militer
dan Golkar. Selama puluhan tahun Orde Baru berkuasa, jabatan-jabatan dalam
struktur eksekutif, legislatif dan yudikatif, hampir semuanya diduduki oleh
kader-kader Golkar. Keluarga besar Golongan Karya sebagai jaringan konstituen,
dibina sejak awal Orde Baru melalui suatu pengaturan informal yaitu jalur A
untuk lingkungan militer, jalur B untuk lingkungan birokrasi dan jalur G untuk
lingkungan sipil di luar birokrasi. Pemuka ketiga jalur terebut melakukan
fungsi pengendalian terhadap Golkar lewat Dewan Pembina yang mempunyai peran strategis.
Jadi Pimpinan Pemilu dalam pemilu Golkar yang berlambang beringin ini selalu
tampil sebagai pemenang. Kemenangan Golkar selalu diukir dalam pemilu di tahun
1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. [17]
Arus
reformasi bergulir. Tuntutan mundur Presiden Soeharto menggema di mana-mana.
Soeharto akhirnya berhasil dilengserkan oleh gerakan mahasiswa. Hal ini
kemudian berimbas pada Golkar. Karena Soeharto adalah penasehat partai, maka
Golkar juga dituntut untuk dibubarkan. Saat itu Golkar dicerca di mana-mana. Akbar
Tandjung yang terpilih sebagai ketua umum di era ini kemudian mati-matian
mempertahankan partai. Di bawah kepemimpinan Akbar, Golkar berubah wujud
menjadi Partai Golkar. Saat itu Golkar juga mengusung citra sebagai Golkar
baru. Upaya Akbar tak sia-sia, dia berhasil mempertahankan Golkar dari serangan
eksternal dan krisis citra, inilah yang membuat Akbar menjadi ketua umum Golkar
yang cukup legendaris. Partai Golkar kemudian ikut dalam Pemilu 1999,
berkompetisi bersama partai-partai baru di era multipartai. Pada pemilu pertama
di Era Reformasi ini Partai Golkar mengalami penurunan suara di peringkat ke
dua di bawah PDIP dengan. Namun pada pemilu berikutnya Golkar kembali unggul.
Pada pemilu legislatif 2004 Golkar menjadi pemenang pemilu legislatif dengan 24.480.757
suara atau 21,58% suara sah.[18]
Pada
pemilu legislatif 2009, suara Partai Golkar kembali turun ke posisi dua.
Pemenang pemilu dipegang oleh Partai Demokrat. Kemudian, Munas VIII di
Pekanbaru menjadikan Aburizal Bakrie terpilih sebagai ketua umum menggantikan
Jusuf Kalla. Sebagai pimpinan baru partai beringin, Aburizal bertekad akan
kembali membawa Golkar memenangkan pemilu, namun pada pemilu 2014 Partai Golkar
kembali menduduki posisi dua dibawah PDIP sebagai pemenang pemilu. Selain tidak
berhasil meraih target Partai Golkar sebagai pemenang pemilu 2014, pada masa
kepemimpinan ARB terjadi konflik di tingkat DPP Partai Golkar, hal ini tiada
lain disebabkan perseteruan kekuasaan antara kubu Munas Bali yang dipelopori
Abu Rizal Bakri dan Munas Ancol yang dipelopori Agung Laksono.
Indra
Jaya Piliang seorang tim ahli dari kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi
berpendapat ada beberapa hal atau kronologis yang menyebabkan konflik di DPP
Golkar terjadi, yaitu :
Pertama,
pemberian mandat kepada Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie dalam
Rapimnas VI Partai Golkar di Jakarta. Mandat itu berisi dua opsi, yakni (1)
menetapkan ARB sebagai Calon Presiden atau Calon Wakil Presiden Partai Golkar,
dan (2) memberikan mandat penuh kepada ARB untuk menjalin komunikasi dan
koalisi dengan partai politik manapun. Fakta politik yang terjadi, ARB tidak
menjadi Capres atau Cawapres, melainkan mengusung pasangan Capres Prabowo
Subianto dan Cawapres Hatta Rajasa. Padahal, dalam pemahaman yang berbeda,
mandat penuh hanya diberikan dalam konteks ARB sebagai Capres atau Cawapres,
bukan malah membawa Partai Golkar untuk mengusung pasangan Capres dari non
kader dan partai politik lain.
Kedua,
upaya Partai Golkar mengusung Prabowo-Hatta ternyata tidak diikuti oleh semua
pengurus, fungsionaris dan kader Partai Golkar. Secara terbuka, atau tertutup,
beberapa pengurus, fungsionaris dan kader mendukung pasangan Jokowi-JK.
Keberadaan JK sebagai mantan Ketua Umum Partai Golkar menjadi alasan utama
dibalik dukungan itu. Di sinilah drama dimulai. Janji yang diucapkan ARB untuk
tidak memecat kader seperti itu, ternyata dilanggar. Padahal, berkali-kali ARB
mengatakan bahwa pengurus atau fungsionaris yang bersangkutan cukup meletakkan
jabatan, selama Pilpres berlangsung. Proses inilah yang bermuara kepada
pemecatan tiga orang kader Partai Golkar dari keanggotaan partai, yakni Agus
Gumiwang Kartasasmita, Nusron Wahid dan Poempida Hidayatullah.
Ketiga,
masalah baru kemudian muncul, yakni waktu pelaksanaan Munas Partai Golkar.
Kader-kader senior yang terlibat dalam Munas Riau, mengingatkan soal perbedaan
antara Anggaran Dasar Partai Golkar dengan rekomendasi Munas. Sesuai dengan
amanat pasal 30 Anggaran Dasar Partai Golkar, Munas adalah pemegang kekuasaan
tertinggi partai yang diadakan sekali dalam 5 (lima) tahun. Mengingat Munas
Riau 2009 berakhir pada tanggal 08 Oktober 2009, berarti Munas Partai Golkar
dilaksanakan selambat-lambatnya tanggal 08 Oktober 2014. Hanya saja, ada
rekomendasi Munas Riau yang menyebutkan perpanjangan waktu kepengurusan, sampai
tahun 2015. Upaya untuk mendesak agar Munas Partai Golkar disesuaikan dengan AD
Partai Golkar dilakukan.
Keempat,
bukannya malah berupaya memberikan penjelasan yang memadai menyangkut perbedaan
tafsiran antara penganut AD Partai Golkar versus rekomendasi Munas Riau, DPP
Partai Golkar dibawah ARB malahan memberikan sanksi kepada pengurus DPP Partai
Golkar yang mendesak Munas dilaksanakan sesuai dengan AD Partai Golkar.
Sejumlah pengurus dicopot atau digeser dari jabatannya. Bahkan, muncul ucapan,
“Apa mereka yang menghendaki Munas Oktober 2014 itu tidak ingat Surat Keputusan
sebagai Dewan Pengurus DPP Partai Golkar?” Konflik ini bisa diselesaikan, walau
tetap saja sejumlah pengurus DPP Partai Golkar hilang dalam struktur DPP Partai
Golkar, nyaris tanpa komunikasi politik yang cukup.
Kelima,
situasi baru muncul, akibat voting menyangkut UU tentang Pemilihan Langsung
Kepala Daerah di DPR RI. Sebelas anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golkar
ternyata mendukung opsi pemilihan langsung kepala daerah. Sanksi kemudian
datang dengan cepat, yakni pencopotan dari jabatan struktural di dalam tubuh
Partai Golkar. Konflik baru ini masih terbatas, tidak meluas. Kalangan elite
Partai Golkar malah semakin giat melakukan konsolidasi untuk menghadapi Munas
pada bulan Januari 2015. Kandidat-kandidat Ketua Umum Partai Golkar
bermunculan, antara lain Agung Laksono, MS Hidayat, Airlangga Hartarto, Priyo
Budi Santoso, Hadjriyanto Thohari, Zainuddin Amali dan Agus Gumiwang.
Kandidat-kandidat yang bersaing itu melakukan konsolidasi secara diam-diam atau
terang-terangan.
Keenam,
konflik baru muncul, akibat pergerakan di lapangan. Atas nama DPP Partai Golkar,
terjadi penggalangan politik untuk mengusung ARB sebagai Calon Ketua Umum
Partai Golkar untuk kedua kalinya. Gerakan itu melibatkan DPD-DPD I Partai
Golkar. Pertemuan-pertemuan tertutup diadakan, baik di Jakarta, maupun di
masing-masing pulau atau provinsi. Masalahnya, antara gerakan politik dengan
ucapan berseberangan. Hal inilah yang memicu desas-desus politik yang sulit
dikendalikan. Desas-desus itu bertambah runyam, ketika kandidat Ketua Umum
Partai Golkar diluar ARB dibatasi pergerakannya. Bahkan, atas nama revitalisasi
kepengurusan, sejumlah pengurus Partai Golkar di daerah-daerah digeser atau
dicopot dari jabatannya, mengulangi pola yang terjadi dalam tubuh DPP
Partai Golkar.
Ketujuh,
masalah jegal-menjegal tentu sudah “biasa” di kalangan politisi, hanya saja
tercium upaya agar Munas Partai Golkar dilakukan tidak sesuai dengan jadwal
yang sudah “sama-sama dimaklumi”, yakni Januari 2015. Dalam keadaan semacam
itu, diadakan Rapat Pleno DPP Partai Golkar guna mencarikan jalan keluar. Rapat
Pleno memutuskan agar Rapimnas VII Partai Golkar sama sekali tidak membahas
agenda Munas Partai Golkar, melainkan hanya membahas isu-isu aktual. Sebelum
Rapat Pleno diadakan, sudah terjadi Rapat Koordinasi Partai Golkar dengan
menghadirkan DPD-DPD I di Bandung. Skenario tertutupnya adalah Munas dilakukan
sesegera mungkin, dengan tujuan memenangkan ARB sebagai Ketum. Namun, upaya itu
berhasil dipatahkan dalam Rapat Pleno DPP Partai Golkar. Walau demikian,
pergerakan politik terus dilakukan, yakni pertemuan informal antara DPD I
Partai Golkar dengan Nurdin Halid di Bali. Secara bersama-sama, mereka ingin
datang ke acara Rapimnas VII Partai Golkar di Yogyakarta, langsung dari Bali.
Kedelapan,
situasi menjadi matang, ketika Rapimnas VII Partai Golkar di Yogyakarta ternyata
membahas agenda Munas Partai Golkar. Jadwal Munas disepakati, yakni 30 November
– 2 Desember 2014. Tempat Munaspun ditetapkan, yakni Bandung, dengan opsi
Surabaya dan Bali. Para pengurus DPP Partai Golkar yang berbeda tafsiran
menyangkut kewenangan Rapimnas, sebagaimana diatur dalam AD-ART Partai Golkar,
sama sekali diabaikan.
Kesembilan,
konflik yang bersifat tertutup kemudian menjadi terbuka, diawali ketika
diadakan Rapat Pleno DPP Partai Golkar guna mengesahkan rancangan materi Munas
Partai Golkar. Walau mengusai penuh arena Rapimnas Partai Golkar yang
dikendalikan oleh DPD-DPD I Partai Golkar, ternyata mayoritas pengurus DPP
Partai Golkar semakin sulit dikendalikan. Kedatangan “AMPG” yang berpakaian
lengkap, baru dan berjalan rapi, ternyata mengundang sentimen baru. Dalam waktu
beberapa saat saja, muncul ratusan “AMPG” lagi, sehingga memicu konflik
terbuka. Rapat Pleno DPP Partai Golkar gagal dilaksanakan, terutama dalam
rangka mendengarkan paparan SC Munas, guna disahkan sebagai draft Munas Partai Golkar
pada masing-masing komisi. Upaya untuk menskor Rapat Pleno, ternyata berbuah
kepada perebutan palu. Ketua Umum Partai Golkar ARB dan Sekjen DPP Partai
Golkar Idrus Marham kemudia dipecat, karena dianggap tidak mampu melanjutkan
Rapat Pleno hingga selesai, sebagai syarat legal guna menuju arena Munas. Sejak
saat itulah, terbentuk Pejabat Sementara Ketua Umum Partai Golkar, lalu
Presidium Penyelamat Partai Golkar sebagai wadah politiknya. DPP Partai Golkar
dikuasai secara penuh.
Kesepuluh,
walau tidak berhasil mengendalikan DPP Partai Golkar, serta dalam status
pemecatan terhadap Ketua Umum dan Sekjen, Munas Partai Golkar tetap
diselenggarakan di Bali, pada tanggal November – 2 Desember 2014. Perbedaan
pendapat terjadi, termasuk di kalangan Presidium Penyelamat Partai Golkar.
Munas Partai Golkar di Bali dipantau dari dekat. Upaya islah yang coba
dilakukan oleh Dr Akbar Tandjung ternyata tidak berhasil. Sesuai dengan upaya
dan skenario yang sudah dilakukan sebelumnya, terjadi Laporan Pertanggungjawaban
Ketua Umum Partai Golkar yang sudah tidak lagi mewakili mandat yang dibawa dari
Rapat Pleno DPP Partai Golkar.
Kesebelas,
tanpa menunggu waktu lama sesuai dengan ketentuan yang ada dalam UU tentang
Partai Politik berkaitan dengan pendaftaran kepengurusan, DPP Partai Golkar
dengan pejabat sementara Ketua Umum Agung Laksono, melakukan Munas di Ancol
pada 6-8 Desember 2014. Kedua Munas melahirkan dua kepengurusan. Proses
pendaftaran kepada Kementerian Hukum dan HAM dilakukan pada hari yang sama, yakni
08 Desember 2014. Lalu, disinilah dimulai etape berikutnya menyangkut
keberadaan Partai Golkar ke depan.[19]
Permasalahan
yang timbul di partai golkar berimplikasi pada dewan pimpinan daerah partai
golkar, khususnya di daerah jawa barat. Timbul rasa saling curiga antar
pengurus, saat kepemimpinan pusat terbagi menjadi dua kubu yaitu antara kubu
ARB berdasarkan munas Bali, kubu AL berdasarkan munas Ancol. Dengan demikian,
kegiatan-kegiatan daerah mengalami hambatan yang cukup signifikan, khususnya di
tingkat provinsi yang garis koordinasinya sangat dekat dengan kepemimpinan
pusat. Dewan Pengurus Daerah Golkar Jabar seakan dikebiri oleh situasi pusat
yang memiliki dampak signifikan terhadap proses politik golkar jabar. Selain
itu, perebutan dukungan daerah menjadi hal yang sangat dihawatirkan oleh Dewan
Pimpinan Daerah Partai, sebab jika pergerakan ini begitu masif digencarkan oleh
kedua kubu, maka akan terjadi perpecahan besar di internal Partai Golkar.
Selain
itu, terdapat permasalahan lain yang menyebabkan kondisi DPD Golkar Jabar
mengalami kemunduran yang cukup signifikan. Terjeratnya kasus korupsi PLTU
Ketua DPD Golkar Jabar, menjadikan kepengurusan DPD Golkar Jabar benar-benar
terlihat fakum, sehingga mayoritas pengurus partai lebih memilih untuk
menantikan hasil dari keputusan hukum tersebut. Ditambah dengan transisi masa
kepemimpinan yang memasuki fase akhir dalam kepengurusan, sehingga semangat
akan berorganisasi dalam partai kian menurun. Permasalahan ini benar-benar
memberikan efek nyata pada kondisi aktual Partai Golkar Jawa Barat, selagi
kisruhnya kepemimpinan pusat serta penyelesaian kasus Ketua DPD Golkar Jabar,
maka peran dan fungsi Partai Golkar Jawa Barat akan semakin menurun. Hal ini,
dapat dibuktikan melalui kosongnya kegiatan partai dari hari ke hari, sedangkan
Visi dan Misi organisasi menuntut untuk terus disempurnakan dalah hal
aktualisasinya, serta minimnya pemberdayaan pengurus beserta staf sekretariat
DPD Golkar Jabar. Sehingga pengurus partai kian sedikit, serta staff
kesekretariatan sendiri mengalami kebingungan terhadap hal apa saja yang harus
mereka kerjakan. Dengan menurunnya peran pengurus dalam menjalankan
kewajibannya sebagai pengurus organisasi, maka dengan demikian peran dan aksi
strategis Partai Golkar Jawa Barat mengalami kemunduran yang signifikan.
3.2.Analisis
Umumnya
terdapat beberapa hal yang menjadikan kinerja pengurus partai golkar jabar
mengalami kemunduran yang signifikan, yaitu :
Pertama, kondisi kepengurusan
internal partai yang sebentar lagi akan mengalami pembaharuan, atau kondisi
kepengurusan yang memasuki fase akhir periode. Seiring dengan hampir habisnya
masa kepemimpinan Yance dalam membina dan mengarahkan Partai Golkar Jabar, maka
kepengurusan yang disahkan pada tahun 2011 ini,[20]
mengalami penurunan semangat beroganisasi. Sehingga terkesan hadirnya penantian
akan pembaharuan dari kepengurusan DPD Partai Golkar Jabar.
Kedua, konflik di tingkat pusat
memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap kondisi internal partai,
khususnya Partai Golkar Jabar. Terpecahnya kepemimpinan pusat, tentunya
berimplikasi pada kepemimpinan daerah, meskipun setiap daerah menyikapi untuk
menjaga keutuhan golkar, khususnya Jawa Barat mengambil sikap untuk senantiasa
menjunjung tinggi kepentingan organisasi, bukan kepentingan segelintir orang.
Sehingga, Partai Golkar Jabar tidak begitu concern dalam menyikapi permasalahan
pusat, namun berusaha keras menjaga keutuhan golkar dan terfokus menjaga
stabilitas politik di dalam internal partai, meskipun terdapat ke khawatiran
dan rasa saling curiga antara kader satu dan lainnya, akan penentuan sikap
personal terhadap situasi konflik ini.[21]
Bapak Drs. H. Iwa Sungkawa, SH, MH selaku Wakil Ketua Bidang Hukum dan
HAM memetakan permasalahan pusat berawal dari tujuan partai golkar yang gagal
dalam merealisasikan pemilihan umum daerah oleh DPRD yang ditangkis oleh Perpu
Presiden SBY yang menolak akan pelaksanaan pemilu oleh DPRD. Melalui desain
Koalisi Merah Putih, diharapkan partai Golkar dapat menjadi sendi-sendi
kepemimpinan daerah, setelah memutuskan untuk tidak mengajukan calon presiden
dari internal partai sendiri dan mengusung Prabowo-Hatta sebagai kandidat dalam
pemilihan presiden 2014. Namun, menurutnya hal yang paling krusial menimbulkan
konflik adalah agenda setting kepemimpinan ARB yang mengarah pada aklamasi dan
tidak mendorong kontestasi pemilihan ketua umum Golkar. Dengan demikian,
timbullah beberapa pihak yang merasa dirugikan oleh agenda setting tersebut,
maka muncullah munas Ancol yang lahir atas kekecewaan hasil-hasil dari munas
Bali.
Ketiga, terjeratnya kasus korupsi
PLTU ketua DPD Golkar Jabar. Status tersangka yang disandang Yance otomatis
membuatnya harus mengalami pemeriksaan intens dengan aparat terkait, sehingga
Yance untuk sementara waktu ditahan karena kasus yang menimpanya. Dengan
demikian, mandat kepemimpinan organisasi sementara waktu diberikan kepada Wakil
Ketua I Bidang Organisasi. Namun peran ketua yang memiliki pengaruh besar, akan
sangat berdampak karena kebijakan organisasi seutuhnya ada ditangannya. Mandat
sementara diberikan kepada Pa Budiman selaku Wakil Ketua I bidang Organisasi
sekaligus sebagai Insan yang dituakan karena umurnya yang telah menginjak 74
tahun, selain itu karena statusnya sebagai ketua MKGR Provinsi Jawa Barat.
Meskipun kepemimpinan sementara telah diestafetkan, namun tetap saja, pengaruh
Yance sangatlah besar di internal Partai Golkar Jawa Barat. Hal ini dibuktikan
dengan penolakan tegas pengurus partai atas apa yang diajukan oleh pihak DPP
Agung Laksono agar setiap provinsi mengadakan PLT sementara. Begitu pun dengan
cabang-cabang di Jawa Barat yang masih mengakui Yance sebagai Ketua DPD Golkar
Jabar.[22]
Keempat, biaya politik yang tinggi,
seiring dengan terjadinya konflik di tingkat pusat, serta ditahannya ketua DPD
Golkar Jabar. Maka pendapatan organisasi pun senantiasa mengurang, dengan
demikian program-program tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya, karena
membutuhkan biaya yang tinggi untuk merealisasaikannya. Selain itu, terdapat
guyonan “Ada uang program jalan, tak ada uang orang pada ngilang”. Umumnya
setiap orang yang berkesempatan menjadi ketua, memiliki kekayaan diatas
rata-rata sehingga ia dapat membantu keuangan organisasi, maka dari itu,
sumbangan dari anggota DPRD yang masih menjabat serta iuran kader golkar
mungkin hanya mencukupi biaya oprasional sekretariat saja. Dengan demikian
peran serta ketua dalam membantu finansial organisasi menjadikannya memilki pengaruh
yang begitu besar, terhadap kelangsungan organisasi.
Umumnya terdapat empat faktor tersebut yang menyebabkan menurunnya peran
dan fungsi, khususnya kinerja pengurus maupun staf Partai Golkar, Khususnya DPD
Jawa Barat.
BAB IV
PENUTUP
4.1. Simpulan
partai politik sebagai kumpulan
warga negara yang teroganisir dan berupaya untuk memperoleh dan mempertahankan
kekuasaan sesuai dengan ideologi atau asas perjuangannya masing-masing,
berkontestasi dalam pemilihan umum, demi mendapatkan legitimasi publik untuk
mengirimkan kader-kadernya sebagai pejabat publik dalam ruang lingkup
pemerintahan. Dengan demikian hendaknya melakukan tugas dan fungsinya dalam
Sosialisasi politik, Rekruitmen politik, Partisipasi politik, Pemadu
kepentingan, Komunikasi politik, Pengendalian
konflik, Kontrol politik.
Partai Golkar sebagai salah satu partai politik terbesar
di Indonesia memiliki eksistensi yang tidak diragukan lagi di kancah nasional.
Namun kini, seiring dengan sejarahnya yang melegenda dalam tatanan politik
negeri partai golkar dihadapkan pada permasalahan yang cukup rumit, ketika
Dewan Pimpinan Pusat terbagi menjadi dua bagian. Dengan demikian, hal ini akan
membawa pengaruh pada konstelasi politik daerah, khususnya Jawa Barat. Berbagai
macam dinamika yang terjadi di internal DPD Golkar Jabar menggambarkan situasi
yang terus dinamis, terlebih masa fakumnya Golkar Jabar dikarenakan memasuki
masa transisi kepemimpinan, adanya konflik di tingkat pusat, serta penjatuhan
status tersangka kepada Ketua DPD Golkar Jabar. Hal tersebut memiliki dampak
yang cukup signifikan terhadap keberlangsungan dan proses politik Partai Golkar
khususnya di daerah Jawa Barat. Tiada lain, hal yang paling terasa adalah
menurunnya kinerja fungsionaris organisasi yang pada umumnya diakibatkan oleh beberapa
faktor tersebut.
4.2.Saran
Sebagai
Partai Politik yang matang secara pengalaman, hendaknya Partai Golkar dapat
memaksimalkan peran dan fungsi idealnya sebagai partai politik. Sehingga
permasalahan-permasalahan yang ada saat ini dapat diselesaikan dengan baik.
Permasalahan di tingkat pusat dapat diselesaikan melalui rekonsiliasi kedua
pihak untuk menjaga keutuhan partai golkar. Serta mengejar ketertinggalan atas
proses politik yang terjadi, karena adanya permasalahan internal yang sangat
krusial.
Setiap politisi partai hendaknya
lebih berhati-hati dalam menjalankan program-program pemerintahan, khususnya
dalam pembangunan yang tentunya senantia berkaitan dengan project dan anggaran
yang besar. Kasus penahanan Yance menjadi bukti bahwa tindak korupsi dapat
disadari maupun tidak, bisa jadi politisi tersebut sebagai koruptor atau bahkan
hanya menjadi alat untuk dipolitisasi sehingga ia dikategorikan koruptor
padahal tidak korupsi sama sekali. Dengan demikian, wawasan akan tata kelola
pemerintahan haruslah dimiliki oleh setiap politisi, selain itu dukungan norma
serta agama akan senantiasa memiliki pengaruh positif terhadap perilaku
politisi. Hal ini dapat direalisasikan melalui pola rekruitmen partai politik
yang baik, serta kaderisasi partai yang tentunya bertujuan untuk membentuk
insan unggul yang dapat memimpin negeri ini ke arah yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Budiardjo, Miriam. 2013. Dasar-Dasar Ilmu Politik
(edisi Revisi, Cetakab Ketiga). Gramedia, JakartaAmal, Ichlasul. 1988.
Teori-Teori Mutakhir Partai Politik. PT Tiara Wacana, Yogyakarta.
http://www.tempo.co/topik/masalah/546/konflik-partai-golkar
diakses pada tanggal 06 Juni 2015
Austin Ranney, Governing: An Introduction to Political Science, New Jersey : Prntice-Hall
International, Inc, 1990.
A. Sahid Gatara, Ilmu
Politik : Memahami dan Menerapkan, Pustaka Setia:Bandung.
Michael G. Roskin (et al.), Political Science: An Introduction, New Jersey: Prentice Hall Inc.
Undang-Undang Partai Politik No. 31 Thun 2002.
Charles F. Adrain. 1988. Political Change in The Third World. Boston: Unwin Heyman.
Ramlan Subakti,1992,
Memahami Ilmu Politik, Jakarta
: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
http://nasional.kompas.com/read/2014/05/09/2357075/Disahkan.KPU.Ini.Perolehan.Suara.Pemilu.Legislatif.2014
diakses pada tanggal 13 Juni 2015
http://partaigolkar.or.id/golkar/sejarah-partai-golongan-karya/
diakses pada tanggal 13 Juni 2015
Keputusan dewan pimpinan pusat partai golongan karya,
nomor : KEP-134/DPP/GOLKAR/X/2011
https://www.selasar.com/politik/penyebab-konflik-golkar
diakses pada tanggal 13 Juni 2015
[1] Budiardjo, Miriam.
2013. Dasar-Dasar Ilmu Politik (edisi Revisi, Cetakab Ketiga). Gramedia,
Jakarta
[2] Amal, Ichlasul.
1988. Teori-Teori Mutakhir Partai Politik. PT Tiara Wacana, Yogyakarta. Hlm 27
[3] http://www.tempo.co/topik/masalah/546/konflik-partai-golkar
diakses pada tanggal 06 Juni 2015, pukul 11:45 am
[4] Austin Ranney,
Governing: An Introduction to Political
Science, New Jersey : Prntice-Hall International, Inc, 1990, Hlm. 223.
[5] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2004, hlm. 114-115.
[6] A. A. Sahid Gatara,
Ilmu Politik : Memahami dan Menerapkan, Pustaka
Setia:Bandung., hlm. 191
[7] Michael G. Roskin
(et al.), Political Science: An
Introduction, New Jersey: Prentice Hall Inc., hlm. 202.
[8] Miriam Budiardjo, Op cit., hlm. 160-161.
[9] A. A. Sahid Gatara,
op cit., hlm. 192-193
[10] Undang-Undang
Partai Politik No. 31 Thun 2002.
[11] Bandingkan dengan
Charles F. Adrain. 1988. Political Change
in The Third World. Boston: Unwin Heyman. Hlm. 6-21.
[12] Ramlan
Subakti,1992, Memahami Ilmu Politik, Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana
Indonesia., hlm 117-121.
[13]http://nasional.kompas.com/read/2014/05/09/2357075/Disahkan.KPU.Ini.Perolehan.Suara.Pemilu.Legislatif.2014
[14] http://partaigolkar.or.id/golkar/sejarah-partai-golongan-karya/
diakses pada tanggal 13 Juni 2015
[15] ibid
[16] ibid
[17] ibid
[18] ibid
[20] Keputusan dewan
pimpinan pusat partai golongan karya, nomor : KEP-134/DPP/GOLKAR/X/2011
[21] Diskusi bersama
Wakil Ketua I bidang Organisasi, yaitu Bapak Budiman
[22] http://www.merdeka.com/politik/jadi-tersangka-korupsi-kepemimpinan-yance-tetap-diakui-golkar.html
diakses pada tanggal 13 Juni 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar