Rabu, 15 Maret 2017

Multikulturalisme vs Fundamentalisme

I.                   Multikulturalisme
Suatu sistem kepercayaan, nilai, norma, bahasa, pakaian, bahkan tradisi keluarga menjadi sebuah kesan umum bagi identitas suatu individu. Pada umumnya setiap orang beranggapan bahwa semua hal yang terkait dengan kebiasaan ataupun budaya pada umumnya menjadi suatu hal yang harus dihargai, dalam konsep liberal demokrasi hal ini diberikan penempatan khusus dikarenakan penghormatan akan sebuah kepercayaan dan gaya hidup menjadi sebuah keharusan. Semenjak tahun 1960 konsep ini mulai ramai dibicarakan, hal ini dicanangkan agar satu sama lain dapat saling memahami dalam berbagai perbedaan, demikianlah seringkali konsep yang bernamakan multikulturalisme ini dibahas.
            Seperti halnya kasus penerapan larangan penggunaan simbol keagamaan di sekolah oleh legislator Prancis, dengan asas tradisi negara mereka yang sekuler menjadikan hal ini sebagai analisis bagi kita, apakah hal tersebut merupakan sebuah kebijakan yang menjunjung tinggi konsep kesetaraan atau bahkan menjadi sebuah kebijakan yang diskriminatif, yaitu saat para wanita muslimah dilarang menggunakan hijab ke sekolah.
            Oleh karena itu, perlu kita pahami pemaknaan multikulturalisme itu seperti apa. Karena multikulturalisme bukan hanya menjadi kajian dari ilmu sosial politik, melainkan dari ilmu humaniora bahkan ilmu alam. Berikut pemaknaan multikulturalisme menjadi beberapa aspek, yaitu : pertama, multikulturalisme sebagai suatu sikap. Kedua, multikulturalisme sebagai alat pembuat kebijakan publik. Ketiga, multikulturalisme sebagai sebuah aspek design dari suatu institusi. Keempat, multikulturalisme dan justifikasi moral.
            Budaya, Ras, Etnis, dan Agama merupakan keempat hal yang sering menjadi pembahasan bahkan perdebatan dalam pembahasan multikulturalisme. Tak jarang antara salah satu hal tersebut dapat bersinggungan sehingga bukan menjadi permasalahan yang sederhana untuk menyelesaikannya. Meskipun secara sosial konsep multikulturalisme dapat menjadi acuan untuk mencegah konflik dan perecahan. Akan tetapi penting bagi kita untuk menganalisis kasus dalam kaca mata politik, sehingga jelas segala macam bentuk pemaknaan multikultur itu memiliki arti yang mendalam, khususnya tujuan yang digapai dari pemaknaan tersebut. Sehingga pemahaman kita terhadap sebuah konsep multi kultur menjadi sebuah identitas politik dalam memahami keaadaan di sekitar kita.
           Terdapat empat teori multikulturalisme, pembahasannya dikategorikan melalui konseptualisasi identitas manusia, implikasi teori terhadap kebebasan seseorang, dan implikasi teori terhadap kesetaraan. Maka, dengan demikian terdapat 4 jenis teori multikulturalisme, yaitu : teori multikulturalisme sebagai hybridity oleh Jeremi Waldron, teori hak untuk anggota kebudayaan oleh Will Kymlicka , teori perbedaan konstitusional oleh James Tully, teori konsensus saling melengkapi oleh John Rawls.
            Multikulturalisme kembali menegaskan nilai yang ada dalam kebebasan dan kesetaraan, akan tetapi keduanya dalam konteks liberal merupakan upaya pemahaman ekspresi sesorang dalam tekanan suatu budaya. Sehingga budaya tersebut dapat menghargai setiap ekspresi dari perseorangan.
II.                Fundamentalisme
Para politisi dan media seringkali berbicara mengenai fundamentalisme, khususnya tentang fundamentalisme yang bertentangan denganliberalisme dan demokrasi. sehingga penting bagi kita untuk mengetahui apa dan bagaimana fundamentalisme itu, entah dari sisi ideologi maupun agama, keduanya memiliki ciri khas yang unik untuk dikaji.
            Fundamentalisme menjadi sebuah kontroversi tersendiri, saat interpretasinya menuai berbagai argumentasi dan perdebatan. Sehingga dalam hal ini dapat kita fahami bahwa fundamentalisme itu adalah sebuah lebel atau konsep, dalam artian jika diartikan lebel, maka fundamentalis memiliki penetapan tersendiri terhadap suatu fenomena, dan penempatannya pun jelas memiliki batasan tersendiri, sedangkan jika diartikan sebagai suatu konsep, maka masih ada korelasi antara fenomena yang dikaji dengan kerangka berfikir dasarnya. Hal ini berkibatkan timbulnya sikap yang tidak toleran terhadap sesama, dikarenakan ada anggapan bahwa pemikiran dan pemahaman yang dianut lebih benar dibandingkan orang lain.
            Tak hanyas sebatas ideologi konseptual atau lebel semata, akan tetapi hal ini pun menuai berbagai perdebatan dari sisi pemahaman agama. Seringkali para fundamentalis mengklaim kebenaran sepihak dan memprovokasi perpecahan antar sesama agama maupun yang berbeda agama. Lalu, apa sebenarnya pemahaman yang fundamental dan fundamentalisme,  secara sederhana faham fundamentalisme menekankan kita pada hal-hal yang bersifat fundamental atau pokok, sehingga jika dipahami dalam konteks agama, maka pemahaman yang benar-benar berasaskan pada kitab suci lah yang benar.
            Sekilas terlihat bahwasanya fundamentalisme menjadi sebuah kerangka lebel semata, akan tetapi sebenarnya lebih dari itu. Meskipun hal ini relatif sebagai konsep dari agama-agama, ideologi-ideologi, tidak mempermasalahkan apakah itu sekuler, tetap memungkinkan terdapat fundamentalis didalamnya. Fundamentalisme bukan tentang pentingnya suatu pernyataan kepercayaan. Fundamentalis memanfaatkan mereka yang menyatakan kepercayaan untuk mendukung hal-hal yang bersifat dogmatik, sehingga dapat menjadi militan dan keras dalam sikapnya.
            Para fundamentalis memiliki sebuah perasaan yang bertentangan ke arah modernitas. Dalam suatu kesempatan mereka menentang hal ini, dikarenakan meraka tak ingin memanfaatkan situasi tersebut. Sehingga para fundamentalis hanya mengerti sebagaian dari dunia modern. Fundamentalisme terkategorikan menjadi dua, yaitu yang murni fundamentalis, dan yang terkontaminasi oleh faham fundamentalis. Hal ini menekankan penolakan terhadap sebuah diskusi dan perdebatan, dan mengutamakan kekerasan sebagai satu-satunya jalan dalam menanggapi suatu konflik.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Lowell Barrington, Comparative Politics Structures and Choices (Australia: Wadsworth, 2013), 227-257. & Peter Calvert, Comparative Politics: An Introduction (Harlow: Pearson, 2002), 297-320.

Bagaimanakah menghubungkan elite dan massa dalam proses politik? Literatur kali ini membahas dan mengeksplorasi konsep-konsep mengenai el...