I.
Multikulturalisme
Suatu
sistem kepercayaan, nilai, norma, bahasa, pakaian, bahkan tradisi keluarga
menjadi sebuah kesan umum bagi identitas suatu individu. Pada umumnya setiap
orang beranggapan bahwa semua hal yang terkait dengan kebiasaan ataupun budaya
pada umumnya menjadi suatu hal yang harus dihargai, dalam konsep liberal
demokrasi hal ini diberikan penempatan khusus dikarenakan penghormatan akan
sebuah kepercayaan dan gaya hidup menjadi sebuah keharusan. Semenjak tahun 1960
konsep ini mulai ramai dibicarakan, hal ini dicanangkan agar satu sama lain
dapat saling memahami dalam berbagai perbedaan, demikianlah seringkali konsep
yang bernamakan multikulturalisme ini dibahas.
Seperti halnya kasus penerapan
larangan penggunaan simbol keagamaan di sekolah oleh legislator Prancis, dengan
asas tradisi negara mereka yang sekuler menjadikan hal ini sebagai analisis
bagi kita, apakah hal tersebut merupakan sebuah kebijakan yang menjunjung
tinggi konsep kesetaraan atau bahkan menjadi sebuah kebijakan yang
diskriminatif, yaitu saat para wanita muslimah dilarang menggunakan hijab ke
sekolah.
Oleh karena itu, perlu kita pahami
pemaknaan multikulturalisme itu seperti apa. Karena multikulturalisme bukan
hanya menjadi kajian dari ilmu sosial politik, melainkan dari ilmu humaniora
bahkan ilmu alam. Berikut pemaknaan multikulturalisme menjadi beberapa aspek,
yaitu : pertama, multikulturalisme sebagai suatu sikap. Kedua,
multikulturalisme sebagai alat pembuat kebijakan publik. Ketiga, multikulturalisme
sebagai sebuah aspek design dari suatu institusi. Keempat, multikulturalisme
dan justifikasi moral.
Budaya, Ras, Etnis, dan Agama merupakan
keempat hal yang sering menjadi pembahasan bahkan perdebatan dalam pembahasan
multikulturalisme. Tak jarang antara salah satu hal tersebut dapat
bersinggungan sehingga bukan menjadi permasalahan yang sederhana untuk
menyelesaikannya. Meskipun secara sosial konsep multikulturalisme dapat menjadi
acuan untuk mencegah konflik dan perecahan. Akan tetapi penting bagi kita untuk
menganalisis kasus dalam kaca mata politik, sehingga jelas segala macam bentuk
pemaknaan multikultur itu memiliki arti yang mendalam, khususnya tujuan yang
digapai dari pemaknaan tersebut. Sehingga pemahaman kita terhadap sebuah konsep
multi kultur menjadi sebuah identitas politik dalam memahami keaadaan di
sekitar kita.
Terdapat empat teori
multikulturalisme, pembahasannya dikategorikan melalui konseptualisasi
identitas manusia, implikasi teori terhadap kebebasan seseorang, dan implikasi
teori terhadap kesetaraan. Maka, dengan demikian terdapat 4 jenis teori
multikulturalisme, yaitu : teori
multikulturalisme sebagai hybridity oleh Jeremi Waldron, teori hak untuk anggota kebudayaan oleh
Will Kymlicka , teori perbedaan
konstitusional oleh James Tully, teori
konsensus saling melengkapi oleh John Rawls.
Multikulturalisme kembali menegaskan
nilai yang ada dalam kebebasan dan kesetaraan, akan tetapi keduanya dalam
konteks liberal merupakan upaya pemahaman ekspresi sesorang dalam tekanan suatu
budaya. Sehingga budaya tersebut dapat menghargai setiap ekspresi dari
perseorangan.
II.
Fundamentalisme
Para
politisi dan media seringkali berbicara mengenai fundamentalisme, khususnya
tentang fundamentalisme yang bertentangan denganliberalisme dan demokrasi.
sehingga penting bagi kita untuk mengetahui apa dan bagaimana fundamentalisme
itu, entah dari sisi ideologi maupun agama, keduanya memiliki ciri khas yang
unik untuk dikaji.
Fundamentalisme menjadi sebuah
kontroversi tersendiri, saat interpretasinya menuai berbagai argumentasi dan
perdebatan. Sehingga dalam hal ini dapat kita fahami bahwa fundamentalisme itu
adalah sebuah lebel atau konsep, dalam artian jika diartikan lebel, maka
fundamentalis memiliki penetapan tersendiri terhadap suatu fenomena, dan
penempatannya pun jelas memiliki batasan tersendiri, sedangkan jika diartikan
sebagai suatu konsep, maka masih ada korelasi antara fenomena yang dikaji
dengan kerangka berfikir dasarnya. Hal ini berkibatkan timbulnya sikap yang
tidak toleran terhadap sesama, dikarenakan ada anggapan bahwa pemikiran dan
pemahaman yang dianut lebih benar dibandingkan orang lain.
Tak hanyas sebatas ideologi
konseptual atau lebel semata, akan tetapi hal ini pun menuai berbagai
perdebatan dari sisi pemahaman agama. Seringkali para fundamentalis mengklaim
kebenaran sepihak dan memprovokasi perpecahan antar sesama agama maupun yang
berbeda agama. Lalu, apa sebenarnya pemahaman yang fundamental dan
fundamentalisme, secara sederhana faham
fundamentalisme menekankan kita pada hal-hal yang bersifat fundamental atau
pokok, sehingga jika dipahami dalam konteks agama, maka pemahaman yang
benar-benar berasaskan pada kitab suci lah yang benar.
Sekilas terlihat bahwasanya
fundamentalisme menjadi sebuah kerangka lebel semata, akan tetapi sebenarnya
lebih dari itu. Meskipun hal ini relatif sebagai konsep dari agama-agama,
ideologi-ideologi, tidak mempermasalahkan apakah itu sekuler, tetap
memungkinkan terdapat fundamentalis didalamnya. Fundamentalisme bukan tentang pentingnya
suatu pernyataan kepercayaan. Fundamentalis memanfaatkan mereka yang menyatakan
kepercayaan untuk mendukung hal-hal yang bersifat dogmatik, sehingga dapat
menjadi militan dan keras dalam sikapnya.
Para fundamentalis memiliki sebuah
perasaan yang bertentangan ke arah modernitas. Dalam suatu kesempatan mereka
menentang hal ini, dikarenakan meraka tak ingin memanfaatkan situasi tersebut. Sehingga para fundamentalis hanya mengerti sebagaian dari dunia modern.
Fundamentalisme terkategorikan menjadi dua, yaitu yang murni fundamentalis, dan
yang terkontaminasi oleh faham fundamentalis. Hal ini menekankan penolakan
terhadap sebuah diskusi dan perdebatan, dan mengutamakan kekerasan sebagai
satu-satunya jalan dalam menanggapi suatu konflik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar