Era
demokratisasi sebagai penopang demokrasi liberal menjadikan civil society
sebagai salah satu media penyokong demokrasi global. Melalui perannya sebagai
ruang publik dalam mempertegas hak individu, serta sebagai fasilitas bagi
pembangunan lembaga demokrasi, sehingga menjauhkan sistem pemerintahan yang
otoriter, selain itu civil society mamainkan peran sebagai penjaga demokrasi
sehingga demokrasi menjadi landasan utama dalam sistem pemerintahan, dengan
demikian transparansi terkait kinerja pemerintah akan lebih dituntut melalui
adanya civil society.
Pada umumnya, civil society
diartikan sebagai masyarakat yang beradab (civility), sehingga idealnya civil
society terdiri dari orang-orang yang tidak melanggar hukum, selain itu,
orientasi dari organisasinya pun
berlandaskan pada aturan-aturan yang tentunya berpacu pada pembangunan
masyarakat yang lebih baik. Menurut Ernest Gellner civil society adalah “ruang
ketiga” diantara masyarakat dan negara, yang selalu mencoba memberikan pengaruh
politik tanpa harus ikut dalam proses pemilihan umum (Hall, 1995) . Perannya sebagai
mediator antara masyarakat dan pemerintah, menjadikan civil society memiliki
tempat tersendiri dalam tatanan sosial kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Pengaruh politik dihasilkan melalui advokasi kebijakan-kebijakan yang
ditetapkan pemerintah, hal ini bertujuan untuk menyampaikan aspirasi rakyat
kepada pemerintah, sehingga pemerintah dapat menyesuaikan kebijakan sesuai
dengan kondisi masyarakat.
Idealnya, civil society menjadi
mediator yang netral, dalam arti, terlepas dari kepentingan elit, sehingga
benar-benar menyampaikan apa yang masyarakat butuhkan dan mengkritisi kebijakan
pemerintah agar lebih pro terhadap kesejahteraan rakyat. Namun, dalam
prakteknya civil society tidak bisa bersih dari kepentingan elit politik,
khususnya pemerintah. Meskipun dampak yang dihasilkan bersifat positif maupun
negatif bagi keberlangsungan pemerintahan dan kehidupan bermasyarakat.
Kepentingan yang bermain dalam ranah civil society menyebabkan peran ideal
civil society menjadi terganggu. Sehingga, peran utama civil society sebagai
penyokong demokrasi menjadi kebalikannya, civil society dalam tatanan praktis
dapat dikatakan menegakkan demokrasi atau bahkan meruntuhkan demkrasi itu sendiri.
Terkait dengan gencarnya
demokratisasi dalam tatanan global, maka dari itu, civil society berkembang dan
memiliki peran tersendiri di Indonesia. Secara historis, nilai-nilai
terbentuknya sivil society sudah ada dalam kebiasaan masyarakat Indonesia pada kesehariannya,
sepertihalnya budaya gotong royong. Seiring dengan prosesnya, muncullah
voluntary organization seperti NU, Muahammadiyah, SI, dsb. Kelompok-kelompok
tersebut mulai mempromosikan hal-hal yang terkait dengan orientasinya. Setelah
itu, lahirlah organisasi-organisasi non-government yang memiliki fokus pada
pengembangan dan pemberdayaan masyarakat, seperti halnya women’s groupd, health
care organizations, worker associations, dsb. Kemudian timbullah
gerakan-gerakan yang pro terhadap demokrasi, seperti halnya kelompok-kelompok
mahasiswa pada tahun 1998 untuk memperjuangkan reformasi (Uften, 2009) .
Pada prosesnya perkembangan civil
society di Indonesia, memiliki beberapa hambatan, yang ditandai munculnya
konflik dan gerakan-gerakan yang bertentangan dengan nilai-nilai demokratis,
seperti halnya pada masa orde baru yang menimbulkan kerusuhan anti-kristen di
Pasuruan, kemudian di era reformasi terdapat konflik agama di Maluku, dan
munculnya organisasi-organisasi ekstremis, hal ini dikarenakan eforia kebebasan
pasca reformasi yang tidak dapat diorganisir dengan baik oleh pemerintah,
sehingga menimbulkan gerakan-gerakan teror.
Masa desentralisasi, membawa
pengaruh positif pada perkembangan civil society di Indonesia, khususnya di
tingkat lokal. Situasi politik yang ada pada masa itu masih didominasi oleh
keputusan-keputusan elit yang tertutup dalam penentuan kebijakan, baik
ditingkat daerah maupun lokal. Sehingga masyarakat tidak memiliki akses yang
baik dalam memperoleh informasi terkait transparansi, akuntabilitas, dan
efektivitas kinerja pemerintah. Seiring kebebasan politik dan berpendapat bagi
seluruh masyarakat Indonesia, civil society mengambil peran yang cukup
signifikan. Sehingga, tak jarang ditemukan kandidat legislatif maupun eksekutif
yang sebelumnya merupakan aktivis civil society. Hal ini dikarenakan kerjasama
antar partai dan civil society demi meraih suara masyarakat pada pemilu.
Melalui fenomena civil society yang
ada di Indonesia pada saat ini, dapat kita simpulkan bahwa civil society
merupakan suatu wadah bagi masyarakat yang dipandang fokus pada suatu bidang
permasalahan dalam masyarakat, sehingga melalui perkumpulan tersebut dapat menghasilkan
program-program atau solusi bagi permasalahan yang ada di masyarakat. Oleh
karena itu, civil society melakukan advokasi dan bekerjasama dengan pemerintah.
Secara teoritis melalui pendapat Ernest Gellner, jelas kini civil society
mengalami pergeseran makna, peran-perannya yang ditujukan untuk menunjang demokrasi
senantias disertai oleh muatan-muatan politis yang dapat dibuktikan melalui
aktivis-ativisnya yang ikut serta bergabung dengan partai politik dan mengikuti
pemilu. Padahal jelas, secara definitif dikatakan bahwa civil society idealnya
berperan memberikan pengaruh politik terhadap kebijakan, namun tidak ikut serta
dalam kontestasi pemilihan umum, baik itu untuk legislatif maupun eksekutif.
Dengan demikian, pemaknaan civil society
akan senantiasa dinamis dalam prosesnya.
Daftar Pustaka :
Hall, j. A. (1995). Civil Society : Theory,
History, Comparison. Cambridge: Polity Press.
Uften, M. B. (2009). Democratization
in Post-Suharto Indonesia. London: Routledge.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar