Rabu, 15 Maret 2017

Konstruktivisme vs Diskursus

I.                   Konstruktivisme
Berbicara mengenai konstruktivisme, tak luput dari pemikiran seorang filsuf yang bernama Derrida yang sangat berpengaruh dan kritis terhadap pemikiran barat, usahanya merupakan analisis pergerakan (untuk menekankan ketidaksetujuan antara satu sama lain) yang membentuk satu kekuatan yang telah memfokuskan pada permasalahan stuktur , bahasa dan pengaruh kumulatif, bahkan ketidak setujuan telah menjadi satu dorongan yang kuat terhadap suatu gaya pemikiran tertentu. Derrida menganalisis ketidakmungkinan dalam mengkonstruksi suatu sistem teoritis yang bertalian serta memadai. Sejatinya karya Derrida menjelaskan perhatiaanya terhadap segala sesuatu di dalam bahasa dan tekstualitas yang menolak serta memperluas ringkasan umum. Pada situasi paradoks, banyak orang yang cenderung menghilangkan segala macam pemikiran, dengan asumsi tentunya ada suatu pemecahan non-paradoks yang sangat bagus atas segala permasalahan. Akan tetapi, penggunaan bahasa dan pemikiran melibatkan kita berada di dalam paradoksis yangtidak dapat di ubah, yang tak dapat kita tinggalkan tetapi bisa ditekan.
            Proses pemahaman konstruktivisme dapat kita awali melalui pemahaman terhadap realitas. Pada hakikatnya, realistas tersusun dari rangkaian keadaan yang hadir.  Keadaan ini adalah hal yang bersifat mendasar. Keadaan tak dapat berperan sebagai pemberian, kerena hal tersebut bergantung pada beberapa hal. Misalnya, melesatnya anak panah. Jika kita dapat fokus pada rangkaian keadaan yang merupakan sebuah paradoks, pada waktu tertentu anak panah tersebut terdapat dalam waktu khusus, sehingga anak panah tersebut tidak pernah bergerak. Namun kita bersikeras bahwa anak panah tersebut bergerak dari awal peluncurannya hingga akhir. Jika kita memahami keaadaan ini, realitasnya anak panah tersebut tidak pernah bergerak. Bagaimanapun pergerakan tersebut merupakan hasil dari realitas fundamental dalam dunia kita. Hanya dapat dibayangkan ketika keadaan hadir, yang ditandai jejak-jejak silam dan yang akan datang. Sehingga terdapat pengertian krusial bahwa keadaan yang tak hadir menjadi bagian dari keadaan yang hadir. Pergerakan anak panah merupakan keadaan yang sudah kompleks serta differensial, yang melibatkan jejak-jeka tidak sekarang dalam  sekarang. Hal ini menjadikan kita diliputi oleh metafisika kehadiran, yang sepertinya menawarkan kita pada pilihan keadaan yang hadir dan tidak hadir. Hal ini melibatkan identifikasi unsur-unsur, istilah-istilah, fungsi-fungsi, dan perbedaan.
            Kejadian-kejadian yang bergantung pada perbedaan, merupakan produk dari kejadian yang terfokus pada keutamaan perbedaan pada keadaan tersebut. Hal ini merupakan sebuah struktur dan pergerakan yang tak dapat dibayangkan, dengan dasar pertentangan kehadiran atau ketidak hadiran. Difference merupakan permainan sistematik dari perbedaan, ataupun jejak-jejak perbedaan, dan spacing dengan unsur-unsur yang mengacu ke satu sama lainnya. Spacing ini merupakan produksi baik pasif maupun aktif mengindikasikan kebingbangan  ini dalam hubungan keaktifan ataupun kepasifan, hal ini merupakan indikasi bahwa yang tak dapat diperintah atau diatur oleh pertentangan itu, dari jarak atau interval, yang tanpa istilah-istilah ‘full’ tidak dapat menandai dan tidak dapat berfungsi. Hal ini merupakan bentuk dari paradoks yang mengharuskan kita untuk menyelidiki lebih lanjut. Khususnya paradks yang bersifat linguistik, mengenai perbedaan susunan kata namun memiliki makna terjemah sama.
II.                Diskursus
Pandangan foucault terhadap sejarah, tidak seperti sejarawan yang berupaya menelusuri alur keniscayaann sejarah, foucault justru memisahkan masa lalu dan masa kini. Dengan menunjukan keasingan masa lalu, ia merelavitisasi dan memangkas legitimasi masa kini. Praktik asing digali dengan cara analisis dari masa kini dan bergerak mundur menuju masa lalu sehingga perbedaan itu ditemukan, kemudian bergerak kembali menuju masa depan. Oleh karena itu, negativitasnya dalam kaitan masa kini meledakkan ‘rasionalitas’ fenomena yang diterima begitu saja. Ketika teknologi kekuasaan masa lalu diuraikan secara rinci, asumsi-asumsi yang memandang masa lalu ‘irasional’ akan runtuh.
            Sepanjang hidupnya Foucault tertarik pada apa yang biasa diabaikan oleh penalaran. Seperti halnya, kegilaan, kebetulan, diskontinuitas. Ia yakin teks-teks sastra dapat memberi ruang bicara bagi ‘yang lain’. Foucault membalik cara pandang umum pola hubungan dan kekuasaan. Sementara pada umumnya kita beranggapan bahwa pengetahuan memberikan kekuasaan untuk melakukan sesuatu yang tidak bisa kita lakukan tanpa pengetahuan itu. Sementara Foucault mengatakan, bahwa pengetahuan adalah kekuasaan untuk menguasai yang lain, kekuasaan untuk mendefinisikan yang lain. Menurutnya pengetahuan tidak lagi membebaskan dan menjadi mode pengawasan, peraturan dan disiplin.
            Foucault menghawatirkan produktivitas dan efisiensi organisasi instrumental-rasional yang dilihat webr dalam sistem birokrasi modern dan organisasi proses kerja kapitalis. Kekuasaan tidak dapat dipahami sebagai milik sekelompok orang atau individu, harus dilihat menurut penjelasan. Weber tentang transisi dominasi ‘tradisional’ menjadi ‘rasional-legal’. Dengan kata lain, kekuasaan di masa modern tidak bergantung pada kecakapan dan kewibawaan individu, tetapi dilaksanakan melalui mesin administrasi impersonal yang bekerja melalui peraturan-peraturan yang abstrak.
            Foucault bertujuan untuk mengkritik cara masayarakat modern untuk mengontrol dan mendisiplinkan anggota-anggotanya dengan mendukung klaim dan praktik pengetahuan ilmu manusia (kedokteran, psikiatri, psikologi, sosiologi, dll). Ilmu manusia teleh menerapkan norma-norma tertentu dan norma tersebut di reproduksi dan dilegitimasi secara terus-menerus melalui praktik para guru, pekerja sosial, dokter, polisi, dll. Ilmu-ilmu manusia menjadi subjek studi dan subjek negara. Terjadi ekspansi dan kontrol sosial yang dirasionalkan secara terus-menerus.

Foucault beranggapan bahwa kekuasaan  bukanlah kepemilikan atau kemampuan. Kekuasaan bukanlah sesuatu yang tunduk pada kepentingan ekonomi. Bahwasanya pola hubungan kekuasaan tidak bersal dari penguasa atau negara. Kekuasaan tidak dapat dikonseptualisasikan sebagai milik individu atau kelas. Kekuasaan bukanlah komoditas yang dapat diperoleh atau diraih. Kekuasaan bersifat jaringan, menyebar luas kemana-mana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Lowell Barrington, Comparative Politics Structures and Choices (Australia: Wadsworth, 2013), 227-257. & Peter Calvert, Comparative Politics: An Introduction (Harlow: Pearson, 2002), 297-320.

Bagaimanakah menghubungkan elite dan massa dalam proses politik? Literatur kali ini membahas dan mengeksplorasi konsep-konsep mengenai el...