Minggu, 19 Maret 2017

Reorientasi Reformasi Birokrasi Indonesia di Era Globalisasi

Pendahuluan
Birokrasi sebagai lembaga pemerintahan dan administrasi tertua dalam sejajarah, memiliki peran penting dalam pengelolaan pemerintahan disetiap peradaban, baik itu di Cina, Mesir, maupun Romawi, bahkan hingga kini di era globalisasi. Seiring dengan prosesnya, birokrasi menjadi rentan akan penyalahgunaan, sehingga timbul banyak patologi yang membuatnya perlu diperbaharui. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme menjadi permasalahan klasik dalam birokrasi, selain itu, tidak efektif dan efisiennya kinerja dari birokrasi menyebabkan berbagai macam permasalahan terkait dengan aspek pelayanan publik, begitupun dengan pengelolaan anggaran. Dengan demikian, muncullah konsep baru dalam tata kelola pemerintahan, melalui ‘reformasi birokrasi’ yang bertujuan untuk mewujudkan konsep good governance.
            Firtz Morstein berpendapat bahwa “setengah dari kata birokrasi berasal dari kata burrus, dalam bahasa Latin berarti sebuah warna gelap dan sedih. Dengan demikian, tersirat makna sebaik-baiknya tata kelola birokrasi dalam suatu pemerintahan, maka akan senantiasa memiliki kekurangan dalam pelaksanaannya. Selain itu, Riggs berpendapat bahwa birokrasi dapat dilihat dari tiga aspek, salah satunya adalah birokrasi sebagai sifat atau perilaku pemerintahan yang buruk (patologis), seperti rigid, mahal, korup,dst.[1] Begitu pun dengan Indonesia, sebagai negara yang menggunakan birokrasi dalam proses pemerintahannya, memiliki begitu banyak kekurangan dalam pengelolaannya. Selain itu, keterikatannya dengan IMF menjadikannya menerapkan sistem baru dalam teta kelola birokrasi, melalui reformasi birokrasi yang diharapkan dapat mewujudkan pemerintahan yang baik.
            Reformasi birokrasi di Indonesia senantiasa mengandung unsur kepentingan di dalamnya, namun sejatinya sebagai lembaga pemerintahan yang rentan akan berbagai macam kepentingan, maka bukan hal aneh bila terjadi politisasi birokrasi. Oleh karena itu, selayaknya kita mencoba memahami arah orientasi dari reformasi birokrasi yang telah dicanangkan oleh pemerintah, bahkan di beberapa negara berkembang. Jika, terdapat indikasi yang kuat akan keberpihakan pada segilintir golongaan, maka hendaknya Indonesia melakukan reorientasi dari reformasi birokrasi itu sendiri. Melalui program-program yang sesuai dengan amanah UUD 1945 untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
            Selain itu, pada era globalisasi, birokrasi memiliki tantangan lain dalam prosesnya, sehingga dituntut untuk lebih baik dari sebelumnya. Begitu pun dengan birokrasi di Indonesia. Disamping menyelesaikan permasalahan klasik dalam ruang lingkup birokrasinya, Indonesia dituntut untuk menyikapi arus globalisasi yang begitu deras, sehingga birokrasi di Indonesia dapat memainkan peran yang signifikan dalam memajukan negara. Dengan demikian, selayaknya kita reorientasi kembali reformasi birokrasi di Indonesia, sehingga dapat menjadi lembaga pemerintahan yang menjalankan peran dan fungsinya dengan efektif dan efisien.
Tinjauan Pustaka
Memahami permasalahan reorientasi reformasi birokrasi di Indonesia, maka hendaknya kita pahami konsep birokrasi terlebih dahulu. Melalui pemaknaan, perbedaan perspektif, serta konsep birokrasi ideal. Dengan demikian, pembahasan dan analisis akan berlandaskan pada konsep birokrasi yang jelas.
Memaknai Birokrasi
Secara etimologis, kata bureaucratie diperoleh melalui kombinasi bureau dan kratein dalam bahasa Yunani yang berarti tipe atau bentuk peratutan. Kata ini dibuat oleh Vincentt de Gournay (Menteri Perdagangan Perancis pada abad ke-18) yang berkeinginan untuk menjadikan kata ini sebagai cara untuk menggambarkan pemerintahan dengan sistem administrasi di dalamnya.
B. Guy Peters berpendapat bahwa birokrasi merupakan organisasi dengan struktur kewenangan yang pyramidal, menggunakan penerapan aturan yang universal dan impersonal untuk memilihara struktur dan menekankan pada aspek administrasi yang nondiscreationary[2].
Selain itu, Ferrel berpendapat bahwa birokrasi adalah organisasi-organisasi berskala besar yang umum ditemui pada sektor publik maupun privat dalam masyarakat modern, dengan demikian birokrasi dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu : Sektor Privat (korporasi, NGO, dll) dan Sektor Publik (pemerintah pusat, pemerintah daerah, organisasi departemen, dll).[3]
Pandangan Terhadap Birokrasi
Farazman menjelaskan beragam perspektif birokrasi ke dalam tiga aspek, yaitu :
Pertama, memandang birokrasi secara positif sebagai mesin pemerintah : sebuah sistem yang penting dan esensial untum mengorganisasikan dan mejalankan urusan pemerintahan, sebagai bentuk terbaik untuk efektivitas, ketertiban dan stabilitas, serta sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah yang tidak tergantikan. Imparsialitas birokrasi dalam penerapan hukum, pengambilan keputusan dan kinerja yang professional, stabilitas dan keberlanjutan melawan berbagai ketidaktertiban, dan daya tahan keahliannya serta kapasitasnya yang luas untuk menyelenggarakan tugas berskal besar, yang tentunya tidak dapat dilakukan oleh organisasi lain.
Kedua, memandang birokrasi secara negarif : kaku, lambat, patologis, disfungsional, penghalang, penekan, tidak manusiawi dan membebani kehidupan sosial manusia.  Timbul banyak kritik bahwa birokrasi tidak demokratis dan tidak akuntabel kepada para pemilih. Sehingga, terdapat opini untuk membubarkan birokrasi dan privatisasi fungsi-fungsi pemerintahan melalui privatisasi dengan skala besar, marketisasi, komersialisasi, contracting dan outsurcing.
Ketiga, memandang birokrasi lebih realias dan seimbang : birokrasi sebagai sebuah institusi pemerintahan dan administrasi publik, dengan karakteristik positid di satu sisi dan karakteristik negatif di sisi lainnya. [4]
Birokrasi dipandang baik ketika secara berimbang melakukan pemberian layanan untuk kepentingan publik yang luas, bebas dari korupsi, penekanan-penekanan dan kekakuan. Birokrasi dipandang buruk  jika hanya melayani kepentingan kelompok tertentu saja, bertentanfan dengan kepentinfan masyarakat yang lebih luas.
Konsep Birokrasi Ideal
Konsepsi birokrasi ideal menurut Max Weber :
1.      Aparat secara personal bebas dan hanya diatur berkenaan dengan tugas resminya.
2.      Aparat diorganisasikan dalam sebuah posisi hirarkis yang jelas.
3.      Setiap posisi memiliki kompetensi yang jelas dalam makna hukum peraturan yang jelas.
4.      Jabatan diisi dengan hubungan kontrak yang bebas. Karenanya terdapat ptoses seleksi yang bebas.
5.      Kandidat diseleksi berdasarkan kualifikasi teknis. Mereka diangkat tidak dipilih.
6.      Aparat dibayar dengan sistem penggajian yang pasti dan hak pensiun. Skala penggajian didasarkan pada tingkat hirarki, ditambah dengan besaran tanggungjawab dan permintaan status sosial pemegang jabatan.
7.      Karir dalam birokrasi merupakan karir satu-satunya atau paling tidak merupakan karir yang paling utama.
8.      Karena merupakan karir, terdapat sistem promosi berdasarkan senioritas atau capaian, atau keduanya, prestasi. Promosi bergantung pada penilaian atasan.
9.      Pekerjaan resmi terpisah sama sekali dari kepemilikan saran administrasi dan penyalah gunaan posisinya.
10.  Seorang aparat dikenai aturan disiplin dan pengawasan yang ketat dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
Selain itu, terdapat konsepsi birokrasi menurut Hegel, yaitu :
1.      Memiliki sebuah pembagian fungsional berdasarkan tugas-tugas berbeda.
2.      Cabang-cabang yang terbagi daiatur dalam prinsip hirarkis.
3.      Jabatan terpisah dari pemegang jabatan : tidak ada ikatan diantara keduanya.
4.      Karena aktifitas birokrasi sudah diformulasi dengan jelas, maka birokrat tidak perlu jenius. Kriteria rekrutmen berdasarkan kemampuan melalui pengujian, bukan karena status atau kelahiran.
5.      Birokrasi modern cenderung menghilangkan stratifikasi sosial, karena bakat dan kemampuan menjadi kriteria utama dalam rekrutmen. Birokrasi ini merupakan organisasi administrasi yang paling tepat dalam masyarakat egaliter.
6.      Birokrat dibayar melalui sistem pembayaran yang pasti dalam rangka menjaga independensi dai pengaruh luar.
7.      Keuntungan utama dari sebuah birokrasi yang tersentralisasi adalah kesederhanaan, kecepatan, dan efisiensi dalam menangani berbagai urusan pemerintahan.[5]
Pembahasan
Reorientasi birokrasi pada era globalisasi
Terjadinya pergeseran yang fundamental terhadap prinsip dan orientasi ekonomi yang bertumpu pada Keynesian Economic Theory[6]. John Maynard Keynes mengajarkan akan dorongan pertumbuhan ekonomi harus diciptakan melalui permintaan yang efektif, karena akan mendorong terbentuknya penawaran, dan pada akhirnya menciptakan peluang kerja, hal tersebut yang berfungsi dengan baik dalam kerangka ekonomi tertutup. Selanjutnya, mitos ekonomi tertutup telah mengalami erosi dan tergantikan dengan wawasan ekonomi terbuka. Melalui pembangunan satu dunia, dan pemanfaatan sumber-sumber global makin mendominasi pemikiran para cendikiawan. Maka dengan demikian tebentuk lah beberapa organisasi internasional, seperti halnya World Trade Organization (WTO) serte muncul kesepakatan-kesepakatan regional, seperti halnya Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) bertumpu pada konsep ekonomi terbuka yang diwujudkan melalui liberalisasi ekonomi.
            Secara umum, terdapat empat prinsip mengenai hal yang disepakati dalam asosiasi tersebut, yaitu sebagai berikut :
1.      Prinsip cross-border supply. Prinsip ini mengandung arti pemasok jasa asing bebas untuk menjual jasanya di negara tuan rumah.
2.      Prinsip consumtion abroad. Dalam hal ini pemakai jasa di negara tuan rumah bebas membeli jasa dari pemasok asing.
3.      Prinsip commercial presence. Berdasar pada prinsip ini, pemodal asing boleh memiliki saham sampai 100 persen.
4.      Prinsip presence of natural person. Artinya pemasok jasa asing bebas untuk mengirimkan tenaga kerjanya untuk bekerja di negara tuan rumah.[7]
Pola-pola tersebut menggambarkan persaingan ekonomi yang lebih kompleks dalam konteks global. Konsekuensi mendasar dari perjanjian internasional tersebut, tiada lain akan berdampak horinzontal maupun vertikal. Arus globalisasi akan semakin intens, khususnya dalam sektor ekonomi. Sehingga birokrasi harus mengantisipasi tantangan ini, sehingga diperlukan reformasi yang diperlukan, agara dapat tetap fungsional ditengah persaingan ekonomi yang semakin ketat.
State of The Art Birokrasi Indonesia
Pada masa pemerintahan orde baru telah mencanangkan sistem ekonomi terbuka menggantikan sistem ekonomi terpimpin yang menjadi ciri utama orde lama. Namun dalam prosesnya, upaya sistem ekonomi terbuka mengalami involusi ang disebabkan oleh soso bureaucratic polity yang amat dominan. Prinsip market driven yang seharusnya mewarnai sistem ekonomi terbuka, terbayangi oleh rule driven. Birokrasi dan dinamika perkembangan ekonomi terbelenggu oleh rule of thumb. Distorsi mekanisme pasar terjadi melalui proteksi, lisensi, Fasilitasi, dan sebagainya. Kreativitas dan daya inovasi birokrasi terbelenggu oleh petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis serta sentralisme hubungan pusat dan daerah. Sehingga dengan demikian memberikan kesempatan terjadinya kolusi dan korupsi, sehingga menjadikan birokrasi di Indonesia menjadi birokrasi yang tidak efisien dan memiliki anggaran biaya yang tinggi. Dengan demikian, secara normatif hendaknya birokrasi dirancang untuk menyikapi era globalisasi dan regionalisasi yang kini semakin intens.[8]
Sosok Birokrasi dalam Era Globalisasi
Agar dapat melakukan kombinasi dari berbagai fungsi yang tekanannya bervariasi antara negara satu dan lainnya, secara umum terdapat beberapa fungsi birokrasi, yaitu :
1.      Fungsi instrumental, yaitu menjabarkan perundang-undangan dan kebijakan publik ke dalam kegiatan-kegiatan rutin untuk memproduksi jasa, pelayanan, komoditas, atau mewujudkan situasi tertentu.
2.      Fungsi politik, yaitu memberi input berupa saran, informasi, visi dan profesionalisme untuk mempengaruhi sosok penentu kebijakan.
3.      Fungsi katalis public interest, yaitu mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan publik serta mengintegrasikan atau mencukupkannya dalam kebijakan dan keputusan pemerintah.
4.      Fungsi enterpreneurial, yaitu memberi inspirasi bagi kegiatan-kegiatan inovatif dan non-rutin, mengaktifkan sumber-sumber potensial yang idle, dan menciptakan resource mix yang optimal untuk mencapai tujuan.
Pada umumnya, fungsi instrumental lebih mewarnai pelaksanaan birokrasi di Indonesia. Rambu-rambu petunjuk pelaksanaan dan petunjuk tknis seringkali diinterpretasikan secara sempit dan tegar sehingga margin of manuverinf untuk menyesuaikan dengan variasi kontenstual serta kekhususan lokal menjadi terbatas. Kecenderungan ini diperparah dengan sikap mendulukan keselamatan jabatan atau safety-first philosophy sehingga menimbulkan birokrasi dalam arti patologis sebagaimana digambarkan oleh Harold J. Laski bahwa birokrat hanya mau bertindak dengan berpegang pada perintah atasan atau peraturan untuk mempertahankan keselamatan jabatan. Mereka menjadi tidak tanggap dan tidak peka terhadap perubahan yang terjadi.
Dalam menghadapai tantangan globalisasi dan regionalisasi yang mensyaratkan liberalisasi ekonomi, penekanan pada fungsi instrumental menjadi tidak cukup. Fungsi enterpreneurial haruslah lebih dijiwai dalam pelaksanaan fungsi birokrasi. Para ahli menggambarkan karakteristik dari etos enterpreneurial sebagai berikut :
1.      Kejelian untuk melihat peluang dalam mendapatkan keuntungan.[9]
2.  Selalu mencari perubahan, merespon pada perubahan dan mengeksploitasinya sebagai peluang.[10]
3.      Kemampuan untuk mengalihkan sumber dari kegiatan berproduktivitas rendah ke kegiatan yang produktivitas tinggi.[11]
Dengan demikian wujud birokrasi yang diperlukan dalam era globalisasi adalah enterpreneurial bureaucracy. Hal ini dikarenakan beberapa faktor, yaitu sebagai berikut :
1.      Sensitif dan responsif terhadap peluang-peluang dan tantangan baru yang timbul sebagai akibat dari liberalisasi perdagangan,
2.  Tidak terpaku pada kegiatan-kegiatan yang terkait dengan fungsi instrumental, tetapi mampu melakukan terobosan melalui pemikiran yang kreatif dan inovatif,
3.      Mempunyai wawasan yang futuristik dan sistemik,
4.      Mampu memperhitungkan resiko dan meminimumkannya,
5.      Jeli akan sumber-sumber baru yang potensial,
6.      Mampu mengkombinasikan sumber menjadi resource mix yang mempunyai produktivitas tinggi,
7.      Mampu mengoptimalkan sumber yang tersedia dengan menggeser sumber dari kegiatan yang berproduktivitas rendah menuju kegiatan yang berproduktivitas tinggi.[12]
Kesimpulan
birokrasi adalah organisasi-organisasi berskala besar yang umum ditemui pada sektor publik maupun privat dalam masyarakat modern.
Farazman menjelaskan beragam perspektif birokrasi ke dalam tiga aspek, yaitu : Pertama, memandang birokrasi secara positif sebagai mesin pemerintah. Kedua, memandang birokrasi secara negarif. Ketiga, memandang birokrasi lebih realias dan seimbang
Secara umum, terdapat empat prinsip mengenai hal yang disepakati dalam asosiasi tersebut, yaitu sebagai berikut: Prinsip cross-border supply, Prinsip consumtion abroad, Prinsip commercial presence, Prinsip presence of natural person.
Agar dapat melakukan kombinasi dari berbagai fungsi yang tekanannya bervariasi antara negara satu dan lainnya, secara umum terdapat beberapa fungsi birokrasi, yaitu : Fungsi instrumental, Fungsi politik, Fungsi katalis public interest, Fungsi enterpreneurial
Para ahli menggambarkan karakteristik dari etos enterpreneurial sebagai berikut : Kejelian untuk melihat peluang dalam mendapatkan keuntungan. Selalu mencari perubahan, merespon pada perubahan dan mengeksploitasinya sebagai peluang. Kemampuan untuk mengalihkan sumber dari kegiatan berproduktivitas rendah ke kegiatan yang produktivitas tinggi.

Daftar Pustaka
Prokopenko, Joseph dan Igor Pavin (Eds).1991. Enterpreneurship Development In Public Enterprise. Geneve: International Labour Office
Kirzner, I.M. 1973. Competition and Enterpreneurship. Chicago: University of Chicago.
Drucker, Peter F. 1985. Innovation and Enterpreneurship: Practices and Principles. London: Heinemann.
Ndraha (mengutip Riggs 1971; Gibson, Ivancevisch dan Donnelly 1974; Kramer 1977)  mengemukakan tiga makna birokrasi.  Ndraha, Taliziduhu. 2003, Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru), Rineka Cipta, Jakarta
Shaw,  Carl K. Y.  1992, Hegel's Theory of Modern Bureaucracy, in  The American Political Science Review, Vol. 86, No. 2 (Jun., 1992), pp. 381-389
Farazmand, Ali, 2009. ‘Bureaucracy, Administration, and Politics: An Introduction’, in Bureaucracy and Administration, edn A.  Farazmand, CRC Press, Taylor & Francis Group, Boca Raton.
Heady, Ferrel. 1992, ‘Bureaucracies’, Encyclopedia of Government and Politics, eds M. Hawkesworth & M. Kogan, Routledge, London & New York, pp. 304-315.
Miftah Toha, Agus D. 1999. Menyoal Birokrasi Publik. Jakarta: Balai Pustaka




[1] Ndraha (mengutip Riggs 1971; Gibson, Ivancevisch dan Donnelly 1974; Kramer 1977)  mengemukakan tiga makna birokrasi.  Ndraha, Taliziduhu. 2003, Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru), Rineka Cipta, Jakarta
[2] nondiscreationary: aparat hanya melaksanakan aturan yang sudah ditetapkan tanpa adanya kesempatan untuk melakukan improvisasi atas peraturan tersebut
[3] Heady, Ferrel. 1992, ‘Bureaucracies’, Encyclopedia of Government and Politics, eds M. Hawkesworth & M. Kogan, Routledge, London & New York, pp. 304-315.
[4] Farazmand, Ali, 2009. ‘Bureaucracy, Administration, and Politics: An Introduction’, in Bureaucracy and Administration, edn A.  Farazmand, CRC Press, Taylor & Francis Group, Boca Raton.
[5] Shaw,  Carl K. Y.  1992, Hegel's Theory of Modern Bureaucracy, in  The American Political Science Review, Vol. 86, No. 2 (Jun., 1992), pp. 381-389
[6] Mengajarkan model ekonomi tertutup dan kedaulatan negara secara absolut terdesak oleh wawasan ekonomi baru yang menggariskan sistem ekonomi terbuka.
[7] Miftah Toha, Agus D. 1999. Menyoal Birokrasi Publik. Jakarta: Balai Pustaka
[8] Ibid
[9] Kirzner, I.M. 1973. Competition and Enterpreneurship. Chicago: University of Chicago.
[10] Drucker, Peter F. 1985. Innovation and Enterpreneurship: Practices and Principles. London: Heinemann.
[11] ibid
[12] Prokopenko, Joseph dan Igor Pavin (Eds).1991. Enterpreneurship Development In Public Enterprise. Geneve: International Labour Office

Reformasi Birokrasi dan Penanganan Korupsi

Permasalahan seputar sosio politik yang begitu ramai dibicarakan pada masa ini adalah permasalahan yang terkait dengan aspek pelayanan publik. Hal ini dikarenakan proses demokratisasi, yaitu kekuasaan dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat, dengan demikian rakyat lah yang paling berkuasa, sehingga rakyat menentukan pemimpin mereka agar dapat membawa mereka pada kehidupan yang lebih baik. Oleh karena itu, pemimpin terpilih memiliki tanggungjawab besar kepada rakyat, dengan demikian selayaknya pemimpin tersebut memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat.
            Birokrasi sebagai bagaian dari pemerintah yang memiliki peran besar dalam proses implementasi kebijakan, menghadirkan berbagai macam persoalan. Sehingga tak jarang timbul anggapan ‘jelek’ terhadap birokrasi. Timbul kecenderungan bahwa masyarakat tidak menginginkan untuk berlarut-larut dalam alur birokrasi, karena hal itu sering dianggap sebagai suatu yang rumit dan membosankan. Dengan demikian, hal ini menjadi permasalahan serius, yang semestinya segera ditangani oleh pemerintah. Karena birokrasi tentunya sangat dekat dengan masyarakat, melalui fungsinya sebagai perantara dari kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh elit eksekutif maupun legislatif yang dipilih langsung oleh rakyat. Jika birokrasi dapat diatur dengan baik, maka proses pelayanan publik pun dapat terealisasikan dengan baik.
            Permasalahan-permsalahan seputar birokrasi, menghadirkan suatu konsep terkait dengan pembaharuan akan hal itu. Segala bentuk evaluasi dan solusi dicanangkan untuk merealisasikan efektivitas dan efisiensi dari suatu kebijakan yang ditetapkan, hal ini disebut ‘reformasi birokrasi’. Konsep ini mengupayakan perbaikan terhadap hal-hal yang dipandang tidak baik dalam proses implementasinya, selain itu hal ini bertujuan untuk meminimalisir hal-hal yang dianggap tidak efektif dan efisien dalam proses realisasainya. Dengan demikian, adanya reformasi birokrasi menjadikan pelayanan publik lebih mudah diakses oleh masyarakat. Sehingga kesan birokrasi yang rumit itu dapat diminimalisir, melalui sistem yang dapat diakses secara cepat oleh masyarakat.
            Posisi birokrasi yang sangat strategis, menjadikannya cenderung rawan untuk dipolitisasi. Meskipun segala pola kehidupan ini dekat dengan aspek politis, akan tetapi idealnya dalam konteks birokrasi, seharusnya dapat berjalan dengan asas profesionalitas melalui aturan-aturan yang telah ditetapkan. Hal ini dikarenakan, birokrasi merupakan aparatur-aparatur pemerintahan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Jika birokrasi memiliki peran dominan, bahkan terlalu politis, maka tidak menutup kemungkinan, orientasi para birokrat pun akan berubah, yang semestinya membangun langkah progresif melalui asas profesionalitas, bisa jadi berubah dengan hal-hal yang lebih bersifat pragmatis. Sehingga, tujuan utama adanya aparatur pemerintahan bisa terbengkalai, dan pelayanan publik pun akan semakin buruk.
            Situasi politis yang ada dalam ranah birokrasi, menjadikannya dekat dengan potologi birokrasi. Peran strategis yang dimilikinya seringkali menimbulkan permasalahan, khususnya permasalahan yang terkait dengan korupsi. Hal ini bisa dicontohkan melalui ilustrasi berikut : birokrasi sebagai bagian dari pemerintah yang memiliki fungsi untuk mengimplementasikan kebijakan, otomatis menggunakan anggaran yang telah ditetapkan, sehingga jika tidak terdapat pengawasan yang baik dan integritas birokrat, maka akan bermunculan oknum-oknum birokrat yang bermain dengan anggaran tersebut, sehingga terjadilah korupsi. Selain itu, posisi strategis birokrasi yang mengelola perizinan atau prosedur administratif, seringkali terbuai dengan upaya licik oknum masyarakat, pengusaha, atau investor, sehingga hal itu menjadikannya lupa, karena imbalan atau sogokan yang ditawarkan kepadanya, maka dari itu tanpa integritas, profesionalitas, serta pengawasan akan lahir praktek-praktek korupsi dengan segala macam bentuknya.
            Korupsi merupakan permasalahan yang sangat krusial, khususnya di Indonesia. Akibat dari korupsi, dana yang seharusnya digunakan untuk kepentingan orang banyak, hanya digunakan oleh segelintir orang atau bahkan oknum perorangan. Sehingga korupsi jelas sangat merugikan negara. Oleh karena itu, perlu dibuat upaya-upaya penanganan korupsi yang mumpuni. Melacak dan mencegah hal-hal yang berpotensi menimbulkan korupsi diberbagai instrumen kehidupan manusia, khusunya dalam ranah pemerintahan, karena anggaran yang dimiliki pemerintah salah satunya bersumber dari pajak, oleh karena itu, pajak semestinya dioptimalkan untuk kepentingan masyarakat luas dan pemerintah bertanggungjawab untuk mengelola dana tersebut agar dapat kembali ke masyarakat melalui pelayanan yang baik dan fasilitas-fasilitas publik yang baik pula.
Korupsi sangat berkaitan dengan ranah birokrasi, karena beberapa praktek korupsi seringkali melibatkan birokrat didalamnya. Dengan demikian, salah satu upaya untuk menangani permasalahan korupsi adalah melalui reformasi birokrasi. Hal ini dikarenakan reformasi birokrasi menghendaki sistem yang efektif dan efisien, serta memuat nilai akuntabilitas dan transparansi dalam proses pelaksanaannya. Oleh karena itu, adanya reformasi birokrasi dapat meminimalisir potensi korupsi bermunculan, khususnya dari korupsi yang timbul melalui interaksi masyarakat, investor, politisi dan birokrat.

            

Sabtu, 18 Maret 2017

Peran Birokrasi dalam Proses Kebijakan

Pada umumnya, seringkali kita tidak menyadari bahwa ada salah satu elemen penting dalam proses pemerintahan. Perhatian kita, seringkali difokuskan pada kondisi elit politik, terutama kepada aktor-aktor politik yang berkarir melalui proses pemilihan umum. Permasalahan negara atau daerah yang timbul saat ini, seringkali kita kaji melalui aspek efektivitas dan efisiensi dari suatu kebijakan. Namun, dalam kasus ini, birokrasi seringkali ada ketika masyarakat berinteraksi dengannya, akan tetapi sejatinya, birokrasi memiliki peran penting dalam proses kebijakan, khususnya dalam ranah implementasi, karena sebenarnya birokrasi menjadi salah satu eksekutor penting dari kebijakan-kebijakan pemerintah yang ditetapkan.
            Dengan demikian, birokrasi merupakan hal yang sangat penting dalam tata kelola pemerintahan, khususnya dalam proses kebijakan. Hal ini dapat kita pahami lebih dalam dengan kasus berikut, perbaikan jalan, pembangunan fasilitas publik, pengelolaan fasilitas publik, penyaluran dana bantuan, penarikan pajak, dan hal lainnya yang terkait dengan proses pemerintahan memerlukan birokrat sebagai eksekutor kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Oleh karena itu, dekatnya birokrasi dengan masyarakat, serta pentingnya birokrasi dalam proses kebijakan, terutama dalam hal implementasinya, menjadikan birokrasi menjadi elemen penting yang harus dikaji, karena tidak menutup kemungkinan adanya permasalahan krusial yang ada dalam ranah birokrasi, sehingga mengganggu proses kebijakan.
            Umumnya, konsep trias politika (legislatif, eksekutif, yudikatif) yang banyak digunakan oleh berbagai negara di dunia dapat berjalan dengan baik apabila aparatur-aparaturnya, terlebih yang fokus dalam persoalan administratif, dapat melakukan tugas dan fungsinya dengan baik sesuai dengan visi dan misi yang dicanangkan dalam suatu lembaga pemerintahan. Baik itu unsur legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, ketiganya membutuhkan tenaga administratif yang mumpuni, sehingga dengan demikian birokrasi sudah menjadi bagian penting didalamnya, maka dari itu, birokrasi memiliki peran strategis yang dapat menentukan efektivitas dan efisiensi dari program-program yang dicanangkan pemerintah.
            Elit politik atau pejabat pemerintahan tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik tanpa bantuan dari aparatur-aparatur yang memang khusus dipersiapkan untuk melaksanakan tugas tertentu. Pejabat publik mungkin enggan mengurusi permasalahan yang bersifat teknis, khususnya terkait permasalahan prosedural atau administratif, sehingga para pejabat cenderung lebih terfokus pada hal-hal yang bersifat umum. Maka dari itu, dalam prosesnya birokrat cenderung menafsirkan sendiri terkait dengan kebijakan yang ditetapkan. Itulah gambaran sederhana pengaruh birokrat dalam proses kebijakan. Selebihnya, birokrat dapat mempengaruhi elit demi kepentingan mereka.
            Era industrialisasi dan kemajuan ilmu pengetahuan yang signifikan, mengharuskan pemerintah untuk terus mengevaluasi profesionalisme birokrasi. Sebab, pembangunan baik secara mental maupun fisik dipengaruhi oleh kualitas aparatur-aparatur birokrasi. Seperti halnya, pelayanan publik yang prima dapat mempermudah masyarakat dalam mengakses hal tersebut, termasuk persoalan izin untuk mengembangkan usaha, atau membangun sebuah industri, atau bahkan perizinan lainnya yang berhubungan dengan pengembangan kualitas individu dan masyarakat pada umumnya.
            Birokrasi memiliki pengaruh besar pada proses pembuatan kebijakan. Perlunya, mencermati dan memberikan masukan terhadap aturan-atuan yang akan mereka lanksanakan, menjadi salah satu pertimbangan besar bagi legislatif dalam menentukan undang-undang. Anggapan akan birokrat yang memiliki segudang pengalaman, menjadikan hal itu sebagai pengaruh yang signifikan dalam perumusan kebijakan. Sehingga, dengan landasan pengalaman, birokrat membangun argumentasi yang dapat mempengaruhi keputusan politik, khususnya dalam menentukan kebijakan.
            Sebagai salah satu instrumen penting dalam penyelenggaraan pemerintahan, kita tidak bisa memandang sebelah mata terkait peran dan fungsi dari birokrasi. Sistem pemerintahan harus diiringi dengan administrasi publik yang baik, hal ini harus disertai dengan pelayanan publik yang baik, yang tentunya dilakukan oleh para birokrat. Idealnya birokrat diposisikan sebagai golongan yang netral bertugas sesuai dengan apa yang ditetapkan. Akan tetapi kehidupan senantiasa dinamis, pengaruh dari luar maupun dari dalam senantiasa menimbulkan hal-hal yang bersifat ‘politisasi’. Oleh karena itu, birokrasi menjadi salah satu potensi besar adanya politisasi di dalamnya, entah melalui birokrat yang mencoba mempolitisisasi hal itu atau politisi yang mencoba mempolitisasi birokrasi.
            Meskipun birokrasi menuai banyak kritik dan kecaman dari berbagai elemen, namun sampai saat ini birokrasi masih eksis karena belum ada hal lain yang bisa menggantikan perannya. Birokrasi lahir dari program-program yang dibuat oleh pemerintah, sehingga untuk menunjang program tersebut dibutuhkan sumber daya yang benar-benar mumpuni, adanya pengkhususan bidang-bidang yang sesuai dengan kompetensi dari birokrat itu sendiri. Namun seringkali, jika program berhasil terealisasikan dengan baik, maka peran birokrasi sering dilupakan, melainkan politisi yang mengajukan program tersebut mengklaim kesuksesannya sendiri. Akan tetapi, jika program yang dicanangkan berjalan kurang baik, maka seringkali politisi menyalahkan birokrat dalam prosesnya.
            Demokrasi memberikan pengaruh besar terhadap birokrasi. Pejabat terpilih merupakan representasi dari suara rakyat, yaitu rakyat yang memilihnya sehingga ia bisa mewakili mereka untuk memimpin suatu lembaga atau institusi. Birokrasi yang memiliki garis hierarki yang jelas dan tegas, menekankan bahwa ketaatan dan loyalitas terhadap pemimpin institusi sangatlah diperlukan. Lalu, yang menjadi permasalahan adalah ketika pemimpin terpilih atau birokrat tidak dapat sinkron dalam menyikapi suatu persoalan. Ketentuan akan kepatuhan terhadap pemimpin terpilih memang harus dilakukan, akan tetapi hal-hal yang bersifat keluar dari konteks yang seharusnya dapat ditolak oleh birokrat, meski karirnya terancam. Begitupun bila pemimpin terpilih tidak dapat mengorganisir birokrat, hal ini juga dapat menyebabkan terhambatnya progress dari program-program yang telah dicanangkan. Sehingga dengan demikian, perlu adanya kerjasama antara pemimpin terpilih dengan birokrat, perlu dibangun komunikasi yang baik, agar dapat sinergis.
            Keluh kesah masyarakat terkait kebijakan pemerintah, seringkali diungkapkan pada birokrat atau bahkan seringkali emosi masyarakat jatuh pada birokrat karena sebagai eksekutor dari pelaksanaan kebijakan, dan tentunya yang dekat dengan masyarakat. Seperti halnya, ketika biaya pajak, listrik atau air ditaikan, maka masyarakat cenderung memarahi petugas. Dengan demikian, sudah menjadi keharusan birokrat diisi oleh orang yang seharusnya, atau yang sesuai dengan bidangnya. Selain itu, pelayanan publik yang prima dapat membantu meredakan emosi masyarakat. Dengan demikian, selayaknya birokrasi menjadi media edukasi sekaligus sosialisasi bagi pemerintah. Sehingga perannya begitu besar dalam proses kebijakan.
            Berbagai permasalahan terkait birokrasi, politik, dan pemerintahan memahamkan kita akan kondisi yang begitu kompleks, khususnya dalam ranah administrasi publik, dimana peran politik, pemerintahan, dan birokrasi sangat memberikan pengaruh yang signifikan terkait dengan orientasi yang ada di dalamnya. Birokrasi, jelas memiliki peran dalam proses kebijakan, bak dari segi perumusan, pelaksanaan, bahkan hingga tingkat evaluasi. Sebagai golongan profesional dan berpengalaman, birokrasi memiliki kedudukan tersendiri dalam ranah eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Peranannya sangatlah berpengaruh dalam menentukan goals dari apa yang pemerintah canangkan. Sebagai eksekutor utama dalam pelaksanaan kebijakan, pemerintah perlu terus memperbaiki kualitas birokrasinya, khususnya meningkatkan profesionalitas para birokrat, sehingga mereka dapat menjalankan peran dan fungsinya dengan baik.


Politik Birokrasi

Pada dasarnya birokrasi ada sebagai instrumen dari proses administratif dalam proses implementasi kebijakan. Keberadaanya yang strategis dalam proses pemerintahan, menjadikannya sebuah kelas tersendiri, sehingga terdapat beberapa asumsi bahwa birokrasi dapat membangun kepentingannya sendiri. Oleh karena itu, kajian birokrasi itu sendiri dapat kita fahami melalui administrasi atau birokrasi politik.
            Birokrasi di desain sebagai aparat publik yang diangkat oleh negara semenjak abad ke 18. Kehadirannya diasumsikan sebagai lembaga yang netral secara politik, dan tidak memiliki kekuasaan serta tanpa kepentingan. Karena adanya mitos terhadap dikotomi antara administrasi dan politik, maka birokrasi dipandang netral secara politik karena hanya mengimplementasikan kebijakan publik.
            Terjadinya dikotomi antra administrasi dan politik di amerika, menjadikan aparat publiki terbagi ke dalam dua kategori, yaitu: pertama, careerist adalah aparat publik yang memiliki masa kerja yang panjang. Sehingga dianggap memiliki netralitas politik dan diasumsikan sebagai birokrat sesungguhnya. Kedua transients adalah aparat publik yang hanya memiliki msa kerja yang pendek, atau sering disebut aparat politik yang diangkat, dan karenanya tidak dianggap birokrat. Pandangan netralitas ini, diasumsikan melalui kaca mata politik yang sempit, karena politik orientasinya selalu identik dengan partai politik. padahal sebagaian besar aktivitas politik itu adalah non-partisan, yang melibatkan tindakan-tindakan dalam mempengaruhi alokasi suatu sumber daya.
            Birokrat dengan kategori careerist, sangat memiliki kepentingan untuk menjaga kelangsungan karirnya, dibandingkan dengan birokrat yang memiliki masa kerja yang pendek yaitu kategori transient. Oleh karena itu, birokrat yang memiliki masa kerja panjang, lebih memiliki peluang untuk memainkan politik birokrasi, karena ia berorientasi pada kelangsungan karirnya dalam suatu institusi birokrasi, walaupun umumnya seringkali diasumsikan netral.
            Kajian kontemporer menjelaskan bahwa birokrasi senantiasa memiliki orientasi yang bersifat administratif dan politis. Farazman berpendapat bahwa kinerja administratif birokrasi berhubungan dengan kekuasaan politik yang dimilikinya. Sehingga, efektivitas proses birokrasi dapat tercapai optimal bila kekuasaan pilitik yang dimilkinya seimbang dengan institusi lainnya diluar birokrasi. Oleh karena itu, dengan asas kedaulatan rakyat, maka akan semakin banyak lembaga-lembaga yang mengawasi birokrasi. Dan tentunya dengan demikian birokrasi senantiasa akan semakin memilki sikap politis terhadap lembaga-lembaga lainnya.
Political Influence on The Bureaucracy : The Bureaucracy Speaks, karya Scott R. Furlong, merupakan sebuah jurnal yang membahas pengaruh politik terhadap birokrasi, melalui survei yang dilakukan di Amerika Serikat, dan perpedoman pada dua pertanyaan pokok, yaitu : Institusi apa saja yang mempengaruhi birokrasi? Lalu, bagaimana cara institusi tersebut mempengaruhinya? Riset ini menguji persepsi aparat publik dari lima institusi, yaitu : Kongres, Presiden, Pengadilan, Interest Group, dan General Public. Setelah diidentifikasi melalui mekanisme yang digunakannya, ternyata hasilnya birokrasi melayani banyak institusi.
            Terdapat dua aliran pemikiran dalam birokrasi, yaitu : Pertama, birokrasi dipandang sebagai institusi yang otonom, yaitu sebagai institusi yang independen. Kedua, institusi diluar birokrasi memiliki pengaruh yang signifikan, sehingga sulit bagi birokrasi untuk bisa otonom, karena dipengaruhi oleh institusi lain yang memuat kepentingan. Pemahaman ini mengisyaratkan kita pada pepatah “tidak ada sahabat selamanya, begitupun tidak ada musuh selamanya, yang ada hanya kepentingan”. Sehingga, perlu kita cermati aparat publik bergerak atas mandat siapa?
            Kongres dan Birokrasi. Keduanya memiliki keterkaitan yang sangat signifikan, khususnya dalam kebijakan publik. Pada tahapan pra pembuatan, implementasi, hingga evaluasi terdapat interaksi aktif antara kedua lembaga tersebut, satu sama lainnya saling membicarakan prosedur yang digunakan. Kongres memiliki kewenangan penuh untuk menentukan aturan perundang-undangan, interpelasi/ hak angket, dan seringkali menggunakan ruang dengar pendapat. Selain itu, kongres juga melakukan fungsi pengawasan dan advokasi, sehingga memiliki peran yang sangat besar dalam birokrasi.
            Presiden dan Birokrasi. Presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan jelas memiliki peran yang begitu besar dalam birokrasi, seperti halnya pengelolaan dan penentuan anggaran, reorganisasi yang bersifat struktural maupun fungsional, dapat menunjuk atau memerintah aparatur publik. Dengan demikian, presiden melalui kewenangannya dapat dengan mudah mengintervensi birokrasi. Sehingga pengaruh yang ditimbulkannya akan sangat signifikan.
            Pengadilan dan Birokrasi. Birokrasi yang membutuhkan aturan prosedur dan keputusan hukum, akan sangat bergantung pada institusi pengadilan. Sehingga perlu adanya relasi yang baik antara birokrat publik dan pengadilan, jika tidak, pengadilan dapat menentukan keputusan yang mungkin akan merugikan birokrat. Oleh karena itu, institusi pengadilan memiliki peran yang begitu besar secara hukum.
            Interst Group, General Public dan Birokrasi. Seperti halnya capture theory, yang mengisyaratkan penguasaan suatu hal oleh pihak tertentu. Hal ini sangat berkaitan dengan relasi ketiga institusi tersebut, para pemilik modal, industri, atau kelompok kepentingan yang membutuhkan kerja sama dengan birokrasi akan memiliki pengaruh tersendiri. Bisa jadi, birokrasi dipermainkan oleh berbagai macam titipan yang dilakukan oleh para pemiliki modal untuk lebih menguntungkan bisnis mereka. Sehingga dalam proses kebijakan akan memilki pengaruh tersendiri institusi-institusi yang tergolong pada interest group atau general public.
            Pengaruh dari setiap institusi memiliki perbedaan dan ciri khasnya masing-masing. Akan tetapi, melalui riset ini telah diidentifikasi bahwa parlemen atau kongres dan presiden memiliki pengaruh yang paling signifikan dalam birokrasi. Karena kewenangannya yang berpengaruh besar pada berjalannya proses birokrasi dan aparatur publik. Institusi-institusi lain tetap memiliki pengaruh, walaupun tidak terlalu besar.
            Hasil riset tersebut memahamkan kita akan suatu fenomen, bahwa birokrasi senantiasa memiliki kepentingannya sendiri. Meskipun memang terdapat beberapa institusi yang berpengaruh disekitarnya. Akan tetapi, keberadaannya sebagai suatu kelas tersendiri menjadikannya untuk lebih partisipatif dalam proses pembuatan kebijakan. Sehingga birokrasi dikatakan memiliki kepentingan dalam hal ini, dan harus menjalin relasi dengan beberapa institusi di sekitarnya demi memakmurkan birokrasi itu sendiri.

            

Lowell Barrington, Comparative Politics Structures and Choices (Australia: Wadsworth, 2013), 227-257. & Peter Calvert, Comparative Politics: An Introduction (Harlow: Pearson, 2002), 297-320.

Bagaimanakah menghubungkan elite dan massa dalam proses politik? Literatur kali ini membahas dan mengeksplorasi konsep-konsep mengenai el...